Pulang

[Tante Ratna tadi ngabarin, katanya Kak Nida di rumah sakit udah mau lahiran. Aku nemenin papa ke sana sekalian biar papa check up ya mas. Nanti sore aku pulang kok.]

[Iya. Kalian hati2 ya. Titip salam buat mereka yg di sana juga ya, yang]

Zaya segera mengetikkan balasan. [Iya nanti aku sampein.]

Dirinya tak tahu harus mengetik apa lagi.

"Sudah minta izin ke Afriz?" tanya Pak Hidup yang sudah siap dengan celana bahan kain dan kemeja kotak-kotaknya.

Zaya mengangguk. "Sudah, Pa. Ayo, berangkat."

Pak Hidup mengangguk sambil tersenyum. Lalu keluar rumah, mengikuti menantunya.

"Papa nggak apa-apa, kita naik angkot?" tanya Zaya memastikan, seusai ia mengunci pintu rumah yang hendak mereka tinggal. Ia khawatir kalau mertuanya ini keberatan diajak naik angkutan umum.

Mendengar pertanyaan Zaya, Pak Hidup justru kaget ditawari begitu. "Tidak apa-apa. Jangankan naik angkot. Jalan kaki saja Papa mau, kok," balasnya terkekeh, mempertegas ketidakberatannya menumpang kendaraan umum. "Papa tadinya khawatir kamu yang tak mau naik angkot. Tapi ternyata kamu yang berinisiatif mengajak, ya ayolah."

Zaya kini mengembuskan napas lega. Lalu berjalan menjauhi pekarangan rumah, kemudian menunggu angkutan.

[Berangkatnya gimana?]

[Ngangkot]

[Kenapa gak minta jemput supirnya nida aja?]

[Hmmm]

[Mas ga bakalan cemburu kok kalo supirnya nida yg jemput]

[Apaan sih mas. Ga jelas bgt]

Balasan dari Afriz hanya berisi emoji jari telunjuk. Di atasnya terdapat pesan yang tadi malam Zaya abaikan. [Jd pengen buru2 pulang biar bisa meluk]

[Mas genit]

[Gapapa sih. Kan genitin istri sendiri]

Kening Zaya berkerut aneh, mengira bahwa kepala suaminya itu terbentur sesuatu yang keras hingga otaknya sedikit bergeser. Kalau memang seperti itu, ia tak perlu repot-repot membalas.

Kini pandangannya beralih ke luar mobil angkutan. Dari posisinya kini ia dapat melihat lapisan aspal jalan raya. Bisa ia dapati asap mengepul dari kendaraan di depan mobil yang ia tumpangi.

Klakson-klakson dan suara mesin bermacam-macam benda besi yang melintas pun memenuhi indra pendengarannya. Semuanya begitu serabutan, bahkan ketika lampu merah lalu lintas di depan sana sedang menyala.

Lalu perhatian Zaya mengikuti ke mana arah pandang Faiz. Balita di pangkuannya ini menunjuk-nunjuk apa saja, termasuk pepohonan dan gedung-gedung yang tampak berlarian di sisi jalan. Laki-laki kecil itu menyaksikan ingar-bingar pusat kota kabupaten, memandang beringin-beringin besar yang memayungi beberapa sisi alun-alun di bawahnya, juga aktivitas manusia di sekitarnya.

Setelah itu Zaya memandang layar telepon pintar yang baru saja ia sentuh. Kemudian membuka dan membaca pesan balasan terakhir yang dikirimkan oleh suaminya.

[Ga dibales gapapa, kan cuma pesan. Yg penting nanti pelukanku dibales.]

Seusai membaca tulisan tersebut, Zaya keluar dari percakapan. Kemudian salah satu jemarinya menahan percakapannya dengan nomor laki-laki itu. Lalu menyentuh tiga titik di sudut kanan atas pada aplikasi Whatsapp yang saat ini ia gunakan.

Terakhir, ia menyentuh tulisan "Tandai pesan belum dibaca", agar ia terbebas dari rasa bingung harus menanggapi bagaimana.

Sebab, ia pun sudah sangat paham bahwa suaminya itu tak pernah main-main jika sudah menyatakan sesuatu. Hal tersebut membuatnya terus-terusan bertanya di dalam hati.

Kalau pembicaraan di aplikasi perpesanan saja sudah menjurus, nanti seandainya mereka bertemu, akan membahas apa, ya?

Jika nanti Afriz benar-benar memeluknya, ia harus membalas atau tidak, ya?

Setelah itu ia akan mengatakan apa? Atau justru selanjutnya akan terjadi apa-apa?

...***...

Zaya menengok ke sana kemari dengan gelisah. Setelah menemani ayah mertuanya mengecek kesehatan, ia memang tak memiliki kegiatan. Tadi Faiz pun sudah diajak ke rumah kakak ipar Nida yang memiliki anak kecil juga. Praktis, kini ia jadi canggung sendiri berada di tempat ini.

"Kamu pulang dulu saja, Ya. Kasihan kalau Afriz pulang tapi tidak ada orang di rumah," ujar Pak Hidup yang sedari tadi melihat menantunya hanya banyak diam.

Zaya melihat jam tangannya, dan mendapati bahwa jarum pendek benda tersebut belum sampai di angka dua. Hatinya gamang. Ia ingin pulang, tetapi mungkin setengah jam lagi supaya tak terlalu lama menunggu suaminya sampai di rumah.

"Sana, siap-siap. Biar sopir Tante yang antar," bujuk Bu Ratna, ibu mertua dari adik iparnya. "Memangnya tidak kangen, lebih dari tiga hari tidak ketemu suami?" lanjutnya, menggoda Zaya yang lambat memberi respons.

"Nah, itu," Pak Hidup tersenyum janggal saat mengatakan hal tersebut.

Entah, pria paruh baya itu sepertinya tahu banyak mengenai hubungan Afriz dan Zaya yang sebenarnya. Maka dirinya merasa perlu memberi kesempatan bagi suami-istri itu untuk membawa kemajuan dalam relasi keluarga kecil mereka.

"Kalau kamu mengkhawatirkan keadaan Nida, Nida dan bayinya yang baru lahir 'kan sudah jelas-jelas sehat. Jadi, kamu bisa mengabarkan ini kepada Afriz secara langsung nanti."

Akhirnya, dengan bujukan-bujukan yang terus dilancarkan, Zaya benar-benar bersedia pulang terlebih dahulu.

Sejak keluar dari rumah sakit, perempuan itu sibuk memikirkan tentang baju mana yang harus ia pakai, dan hal apa yang mesti ia bahas untuk membuka pembicaraan dengan laki-laki itu. Pikirannya riuh sendiri, ditambah jantungnya yang tak bisa diajak kompromi untuk berdetak normal-normal saja.

Bahkan saat ia sudah sampai di rumah dan mengucapkan terima kasih kepada sopir keluarga Bu Ratna, ia langsung sibuk memikirkan penampilannya.

Bisa saja nanti Afriz akan berkomentar mengenai wajahnya yang sedikit berminyak, dagunya yang berjerawat kecil, serta hidungnya yang bisa saja berkomedo.

Begitu menyadari kekhawatirannya yang mulai berlebihan, perempuan itu menggeleng-geleng untuk menepis semua kemungkinan tersebut. Ia harus tenang dan percaya diri. Ini bukan waktu yang tepat untuk merisaukan hal-hal tak penting seperti barusan. Karena ia bukan ABG lagi. Ia sudah punya suami.

Seusai membuka pintu rumah yang semula dikunci, Zaya mengambil air wudu dan salat zuhur. Setelah itu menuju dapur untuk memanaskan masakan yang sengaja ia siapkan tadi untuk suaminya. Merasa gerah setelah berkutat dengan kompor selama lebih dari seperempat jam, ia pun mandi.

...***...

Sementara di sisi lain, Afriz sudah memberitahu Zaya melalui aplikasi pesan bahwa dia sudah hampir sampai di halaman rumah. Tetapi tidak ada balasan.

Pikirnya, mungkin Zaya belum pulang. Langkahnya yang dipayungi bayangan pohon rambutan yang menimur, tampak mantap untuk sampai di tujuan agar bisa beristirahat.

"Ada orang di rumah?" gumamnya saat mendapati keadaan pintu yang tak dikunci.

Laki-laki itu mengucapkan salam, tetapi tak ada sahutan. Setelah mendapatkan tanggapan yang sama untuk ucapan serupa, dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu tanpa menguncinya. Kemudian pria itu meletakkan tas di ranjang, dan berbaring di sebelah benda tersebut.

Untuk beberapa saat hanya ada kelengangan.

Entah berapa lama Afriz berbaring sampai akhirnya terdengar pintu ruangan ini berderit. Dia yang hampir terlempar ke alam mimpi, merasa terganggu. Mata yang semula tertutup, kini terbuka, walau masih teriyip-iyip. Dia berusaha melihat sosok yang masuk ke ruangan ini secara jelas.

Lalu, mata pemuda itu dibuat tak berkedip ketika tatapannya menangkap pemandangan indah yang terpampang. Hingga timbullah desir aneh yang menjalari tubuhnya.

Laki-laki itu menelan ludah dengan susah payah. Dia tahu dan hafal jika Zaya sering ke kamar ini untuk mengambil pakaian. Tetapi tidak pernah dalam keadaan yang seperti ini.

Afriz yakin, Zaya tak sadar kalau sedang berada di ruangan yang sama dengan seorang lelaki dewasa.

Perempuan muda itu dengan santai berdiri membelakangi Afriz, menghadap lemari untuk mengambil pakaian dalam dan luar, dengan tubuh yang hanya berbalut sehelai handuk berwarna biru muda.

Sesekali Zaya agak menunduk atau membetulkan handuk yang di mata Afriz seperti akan melorot. Gerakan-gerakan yang pada dasarnya bukan kesengajaan untuk menggoda laki-laki yang keberadaannya belum disadarinya.

Ketidaksadaran Zaya itulah yang menimbulkan ketidaksabaran bagi Afriz yang baru pertama kali mendapati Zaya mempertontonkan keindahan tubuh yang membuatnya harus menahan napas.

Dengan selembar kain yang begitu terbatas, bagian-bagian tubuh dari belakang lutut hingga tumit Zaya terekspos begitu jelas.

Kain yang cukup tebal namun berukuran minim tersebut pun tak mampu menutupi bagian punggung atas perempuan itu secara sempurna, sekaligus membiarkan bahu pemakainya tak terlindungi.

Rambut hitam panjang yang dicepol ke atas, menyebabkan tengkuk pemilik tubuh itu tampak begitu jelas.

Ada dorongan kuat bagi Afriz untuk bangkit dan mendekat.

Terdapat tuntutan terhadap tangannya untuk sekadar menyentuh haknya.

Seakan ada undangan lewat hidungnya untuk menghirup aroma tubuh istrinya yang tengah menguarkan wangi sabun yang hanya seharga empat ribuan.

Ada perintah dari nalurinya sebagai laki-laki untuk menuntaskan tugasnya sebagai seorang suami, yang saat ini rasanya sangat sulit untuk tak dia amini.

...***...

Terpopuler

Comments

Indah_usi

Indah_usi

next secepatnya semangat ngetiknya dtunggu kelanjutan nya, baru baca skaranh,, smalem mau baca eh ktduran, jdi baru sempet skarang😁

2022-05-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!