NovelToon NovelToon

Keliru: Nyasar Di Hati Yang Benar

Sah!

Zaya mengikuti langkah ibunya, dengan kebaya putih dan jarit yang sudah melekat di tubuh, serta riasan yang sedikit berbeda dari biasanya. Membuatnya sedikit manglingi hanya karena lipstik merah muda dan bedak tipis yang telah menempel sempurna di bibir dan wajahnya.

Kepala perempuan itu tertutup hijab putih bersanggul. Bagian hidung pun sudah dimanipulasi sedemikian rupa supaya nampak lebih mancung. Kini ia melangkah pelan, mengingat betapa susah kakinya berjalan dengan high heels.

Wanita muda itu masih sempat tersenyum kepada orang-orang yang sudah menunggu kedatangannya, sebelum akhirnya ia duduk bersimpuh di sebelah laki-laki berjas hitam dan peci berwarna senada dengan aksen perak yang sudah lebih dahulu melakukan hal serupa.

Zaya tak berani membalas senyum tipis sosok di sampingnya itu, ketika tanpa sengaja tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat.

Seperti sebuah pepatah yang mengatakan bahwa laki-laki diciptakan bukan untuk saling beradu siapa yang lebih maju. Tetapi untuk saling membantu dalam doa penghulu.

Zaya merapalkan doa di dalam hati, bahwa semoga keputusan mereka untuk menerima ikatan dengan cara seperti ini adalah yang terbaik, walau tak bisa dikatakan waras-waras amat. Walau keraguan dalam dirinya pun masih mendominasi. Keraguan yang sedang diusahakan untuk enyah oleh sosok di sebelahnya, dengan cara mengucap kalimat sakral itu dengan satu tarikan napas.

"Sah!"

Tanpa sadar buliran bening itu meluncur dari mata Zaya, begitu kata tersebut menggema di selebar ruangan ini. Untuk beberapa saat matanya pun terpejam, seolah tak percaya bahwa statusnya kini sudah menjadi istri, yang ditegaskan oleh doa yang sedang dibacakan oleh penghulu.

Tak sampai tiga menit kemudian, ia beringsut menghadap ke arah sosok yang sudah sah menjadi suaminya, dengan debaran dada tanpa kira-kira. Ia terpaku karena terlalu gugup, saat lelaki di sampingnya itu meraih telapak tangan kanannya.

Getaran pada seluruh anggota tubuhnya pun kini semakin menggila saat sebuah cincin telah melingkar di jari manis. Telapak tangannya mendingin, kontras dengan tubuhnya yang kegerahan.

Dengan kekikukan yang luar biasa, wanita muda itu menyambut uluran tangan suaminya, dan mencium punggung tangan itu secara takzim. Lalu ia memaksakan bibirnya untuk membalas senyum dari sosok yang kini memiliki tanggung jawab penuh terhadapnya tersebut.

Momentum demi momentum itu tak luput dari jepretan kamera ponsel para saksi yang merangkap sebagai juru tangkap gambar. Bahkan, layaknya mempelai pria lain, Afriz diminta untuk mencium kening Zaya yang sedari tadi pipinya sudah merona menahan rasa kikuk.

Walau begitu, sang wanita tetap patuh. Zaya memejamkan matanya saat bibir tebal dan lembab itu mendarat di keningnya secara lembut.

Dan, pada waktu yang sama, gerimis di luar menyambut keluarga kecil mereka ini. Menjadi butiran-butiran air pertama yang juga menjatuhi pohon kopi, kayu albasia, mahoni, serta bebungaan selama kemarau yang lebih panjang dari biasanya. Tak lupa, jemuran warga yang belum kering pun ikut terbasahi.

Beberapa ibu berteriak, "Gombalanku!" sambil mulai berhamburan keluar dari rumah Pak Kuswin, tempat berlangsungnya ijab kabul pada pagi menjelang siang ini.

...***...

Walau diselenggarakan amat sederhana dan hanya diperuntukkan bagi keluarga masing-masing pihak dan tetangga terdekat, yang namanya acara pernikahan tetaplah melelahkan.

Hal itu tak dimungkiri oleh Zaya yang kini sedang duduk santai di tepi tempat tidurnya yang kini beralih fungsi menjadi ranjang pengantinnya.

Bunga-bunga yang menghias kasur nyatanya tak serta merta mengurangi rasa lelah yang ia rasakan karena acara hari ini, meski ia sudah mandi dan memijat-mijat badannya sendiri pula.

Bayang-bayang saat selesainya ijab kabul hingga acara foto bersama para anggota keluarga, tiba-tiba melipir ke benaknya. Terutama ketika Afriz mendaratkan kecupan singkat di keningnya tadi pagi, setelah tersenyum kepadanya dengan teramat manis dan nampak tulus. Membuat wajahnya lagi-lagi memerah untuk kesekian kalinya pada hari ini.

"Kenapa ingatnya yang itu sih, Ya? Kacau, nih." Ia menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir desiran aneh yang mendadak menjalar dan menguasai separuh fungsi otaknya.

Terdengar pintu kamar berderit. Zaya menoleh untuk mengetahui siapa yang datang ke area pribadinya ini, dan buru-buru memakai kerudung blong yang sering ia kenakan saat di rumah. Kalau ia tak ingat status sosok itu baginya sekarang, ia pasti sudah berteriak-teriak kencang.

Namun, yang ia lakukan saat ini adalah langsung beringsut untuk menghindari orang yang muncul tersebut. Sebab, untuk hitungan yang sudah entah keberapa, reaksi jantungnya yang mendadak aneh, sama sekali tak bisa diajak kompromi.

"Boleh masuk?"

Zaya hanya mengangguk sebagai tanda mempersilakan, kemudian memalingkan muka. Ia tak berani terang-terangan menatap suami sahnya, orang yang saat ini tengah berjalan ke arahnya itu. Ia hanya sanggup sesekali mencuri pandang, dengan harapan orang tersebut tak mencurigai apa yang dilakukannya kini.

Sikap Zaya makin waspada ketika pintu kamar terdengar sedang dikunci. Ia menelan ludah, saat Afriz mendekat. Pikirannya sudah mulai bercabang.

"Nanti tidur di sini, Pak?" tanya Zaya takut-takut, sambil merapikan lagi kerudung yang belum lama ini selesai ia kenakan.

Afriz yang baru saja membaringkan tubuh lelahnya, menoleh sambil menjawab, "Iya. Memangnya kenapa? Nggak boleh?"

Zaya menggeleng, dengan tatapan sembunyi-sembunyi yang masih tertuju pada lelaki yang tengah berbaring santai di sebelahnya tersebut. Ia menggigit bibir bawahnya, melampiaskan rasa gelisah karena tak mengerti akan menjawab apa. Lalu ia membiarkan hening menguasai kamar berpenerang 40 watt ini dengan rintik hujan yang menimpa genteng sebagai musik latar.

Ranjang bergerak, saat Afriz bangkit dari tidurannya. Dia menatap lekat istrinya. Kemudian laki-laki itu tersenyum. Setidaknya, dia merasa beruntung.

Untuk kesekian lamanya Afriz menatap Zaya, walau perempuan itu belum mau menatap ke arahnya, masih pula terkesan menghindar.

Melihat itu, Afriz seperti mendapati Zaya benar-benar tampak sebagai 'gadis' berusia 20 tahun yang masih lugu dan malu-malu seperti ini. Dia jadi gemas sendiri.

"Sini, deketan."

Mendengar perintah barusan, Zaya kini menggeser posisi duduknya. Walau masih terhitung jauh dengan keberadaan suaminya. "M-mau ngapain?"

"Cuma mau bilang sesuatu," jawab Afriz enteng. "Dengan kamu yang bersikap begini, berarti setan benar-benar berhasil bikin kamu menolak berdekatan dengan suami."

Zaya menelan ludah. "M-maksud Bapak?"

"Masih mau manggil 'Bapak'? Padahal kita sudah resmi jadi suami-istri, loh. Panggil 'Mas', kek. Atau 'Yang', gitu. Biar kedengarannya tuh agak manis, terus aku rasanya nggak kaya nikah sama dedek gemesh."

Tatapan Zaya yang semula khawatir, mendadak horor. Antara ngeri atau heran mendapati sebuah fakta. Bahwa ternyata sifat asli suaminya yang terpaut usia 8 tahun di atasnya itu seperti ini? Alay?

Afriz justru semakin gemas. "Masih malu-malu saja. Sini, deketan lagi."

Untuk kedua kalinya Zaya menggeser duduknya. Ini pun masih tak berarti apa-apa. Karena jarak keduanya masih menjadi penghalang. Terpaksa Afriz yang mengalah dan menggeser tubuhnya hingga benar-benar tak ada ruang bagi Zaya untuk menghindar lagi.

"Seharian ini saya belum gendong Faiz, Pak, eh, Mas. Boleh, nggak, saya nemuin dia sebentar?" Sangat jelas bahwa Zaya sangat gugup menghadapi situasi malam pertama ini.

Tetapi sebelum Zaya mengubah posisinya sekarang untuk mencari Faiz, Afriz sudah menahan terlebih dulu. Membuat wanita di depan matanya itu harus menelan ludah dengan susah payah.

Afriz menggeleng, melarang Zaya bergerak. Jangan bilang, dia tak membolehkan Zaya menemui Faiz?

Guyuran hujan di luar, serta hawa dingin hasil perpaduan antara suhu tiap tetes air langit dan udara perbukitan, seolah merestui apa yang akan Afriz lakukan sekarang.

...***...

Pindahan

Kabar pernikahan Zaya dan Afriz sudah beredar luas sejak sepuluh hari yang lalu. Tak ada yang menyangka kalau Zaya akan mendapatkan seorang lelaki bujangan, mapan, rupawan, dan tentu saja masuk ke kategori sebagai calon suami dan bagi ibu-ibu adalah menantu idaman.

Kebanyakan orang, utamanya ibu-ibu, menebak-nebak berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi. Terlebih, tanggal pernikahan sudah sangat dekat. Terhitung buru-buru dan menimbulkan kecurigaan, walau tak ada hal yang aneh sekalipun.

"Palingan hamil duluan, Bu, seperti yang anak pertama. Kita lihat saja, beberapa bulan lagi Zaya pasti melahirkan anak kedua."

"Bisa saja, ibu-ibu. Tapi yang saya heran, kok laki-lakinya mau ya, menikah dengan wanita yang sudah berputra? Padahal kita semua tahu sendiri, anaknya itu ndhak jelas siapa bapaknya."

"Atau jangan-jangan, laki-laki itu bapaknya Faiz? Makanya sekarang mau bertanggung jawab, dan nikahnya buru-buru."

"Ih, berarti perempuan dan laki-lakinya memang sama-sama ndhak bener, ya, Bu?"

"Ya begitulah, ibu-ibu semua. Seperti yang sudah sering saya katakan. Zaman sekarang ini jangan terlalu gampang percaya dengan penampilan orang. Kita kan tahu sendiri, sejak masih SMP, Zaya itu pakaiannya selalu tertutup dan sudah pakai kerudung rapat. Berangkat sekolahnya rajin, sorenya ngaji. Tapi, lihat? Ternyata aslinya seperti itu, kan?

"Saya ndhak mau mengumbar aib, ya. Tapi kalian sudah tahu sendiri, kan? Pulang-pulang dari kos kok bawa pulang bayi, ndhak jelas pula siapa bapaknya. Terus, apa gunanya sekolah tinggi-tinggi dan pintar ngaji, kalau kelakuannya ndhak bermoral begitu? Kalau saya sih sudah ndhak gumun dengan orang yang sok suci seperti itu, karena bukti nyatanya sudah ada di depan mata."

Begitulah selentingan-selentingan yang menghiasi kabar pernikahan keduanya sejak sepuluh hari yang lalu. Makin luas dan kian memperkeruh keadaan.

Padahal tak ada yang salah dengan masa lalu seseorang, termasuk masa lalu Zaya. Tak ada seorang pun yang menginginkan jalan hidup seperti itu. Tak ada. Dan Afriz tak memiliki hak untuk menghakimi wanita muda yang kini berstatus sebagai istrinya itu.

Waktu sepuluh hari untuk melakukan persiapan pernikahan, tentu terhitung begitu singkat, bahkan terburu-buru. Hal ini membuat Afriz tak mau membuang-buang waktu dengan menampung keluhan-keluhan Zaya tentang mulut para tetangga, yang menurutnya sama sekali tak penting untuk terlalu didengarkan apalagi dipikirkan.

Baginya, selama nanti mereka menjalani pernikahan ini sebagaimana mestinya, mulut-mulut usil itu akan bungkam dengan sendirinya.

"Kita yang menjalani, bukan mereka."

Begitu kata Afriz, sepuluh hari yang lalu. Meyakinkan Zaya sekaligus dirinya sendiri bahwa orang-orang itu tak memiliki urusan dengan keluarga kecil mereka nanti.

Ya, memang tak ada lagi waktu bagi dirinya dan Zaya untuk cengeng-cengengan, apalagi bersikap sok jual mahal. Lebih baik dia mempersiapkan mental untuk menghadapi kenyataan yang sebenarnya, belajar lebih mendalam lagi tentang agama, dan belajar lagi untuk memahami sesama.

Afriz memejamkan matanya. Berbagai kemungkinan baik hinggap di kepala, memberikan keyakinan kepadanya, bahwa keputusannya ini sudah sangat tepat.

...***...

Zaya mengecek benda-benda apa saja yang akan ia bawa ke rumah suaminya. Beberapa jenis barang milik Faiz, sudah dipastikan lengkap. Sementara barang yang akan ia bawa, tentu tak usah terlalu banyak. Bisa dibawa secara berkala. Sedangkan barang-barang suaminya, hitungannya tak seberapa, hanya tiga potong baju dan kaus, serta dua celana pendek.

Perempuan itu menoleh di tengah kegiatan beberesnya. Menatap pria yang sedang sibuk menuruti Faiz untuk berjalan, melompat, dan menangkap laron yang keluar dari persembunyian.

Afriz, laki-laki yang begitu pengertian kepadanya, serta menyayangi Faiz dengan amat tulus. Dibuktikan dengan peristiwa yang terjadi tadi malam, saat dirinya mengira kalau suaminya itu akan menuntut haknya sebagai suami setelah menahan gerakan Zaya untuk menemui Faiz.

"Biar saya saja yang bawa Faiz ke sini," kata laki-laki itu sebelum beranjak untuk mencari keberadaan Faiz. Perkataan yang mau tak mau membuat Zaya merasa sedikit lega.

Tak sampai sepuluh menit, pemuda itu membuka pintu kamar, dengan Faiz yang sudah berada di gendongan. Telunjuknya ditempelkan ke bibir, dengan maksud meminta Zaya untuk tak mengganggu tidur Faiz yang lelap di malam yang sudah semakin larut ini. Dan malam ini, Faiz tidur nyenyak di antara ibu dan ayah barunya.

"Tak harus malam ini, Ya. Belum waktunya. Faiz masih terlalu kecil kalau harus punya adik."

Zaya tersenyum sendiri mengingat itu. Hingga tanpa sadar, kini pandangannya mengikuti Afriz dan Faiz yang sedang asyik menangkap laron.

Wanita muda itu pun jadi teringat kenangan masa kecilnya, saat hujan turun deras setelah berlangsung kemarau panjang. Di mana ia suka sekali menangkap laron-laron yang muncul pada pagi harinya, untuk diberikan kepada lele yang dipelihara oleh ayahnya.

Zaya juga kerap membuat kerucut dari daun pisang sebagai corong, kemudian menancapkannya di sebelah lubang tempat keluarnya laron untuk mengumpulkan hewan terbang itu. Kerucut pisang tadi berfungsi sebagai lorong jebakan bagi laron.

Biasanya, kegiatan itu dibantu kincir yang terbuat dari laron yang ditusuk bagian perutnya. Kemudian membiarkan sayapnya terkepak-kepak untuk memancing laron-laron lainnya agar mau keluar dari persembunyian lalu masuk ke baskom yang sudah diisi dengan air.

Masih menyangkut laron. Dari desas-desus yang beredar, dulu ketika Zaya masih balita dan ia belum mengerti apa-apa, perempuan yang baru kemarin melangsungkan ijab kabul itu sering memakan hidup-hidup hewan berwarna cokelat itu, setelah memereteli sayapnya.

Melihat Zaya melakukan hal aneh tersebut, orang-orang dewasa dengan jailnya bertanya, "Rasanya laron mentah bagaimana, Ya?"

Kemudian Zaya menjawab, "Manis."

Kini wanita itu akan meninggalkan kenangan masa kecilnya dengan laron-laron. Pun harus meninggalkan rumah yang halamannya ditumbuhi bunga Desember yang sudah mekar sejak masih bulan November, untuk menuju ke tempat tinggal barunya.

Zaya akan memulai kehidupan baru di kediaman Afriz, rumah yang pernah ia datangi sekitar satu setengah bulan yang lalu, saat statusnya masih menjadi bawahan laki-laki itu.

Dan itu semua tentu akan terasa ... aneh.

Terlebih, ini baru permulaan. Zaya mengerti itu. Sikap manis Afriz kepadanya dan juga Faiz, tentu tak akan selamanya terjadi. Ia tak tahu apakah Afriz bisa tetap bersikap seperti itu atau berubah seiring berjalannya waktu?

Melihat Zaya yang seperti memikirkan sesuatu meski sudah siap untuk pergi, Afriz menyentuh bahu istrinya tersebut lalu mengulurkan tangan. "Ayo."

Zaya tak lantas membalas uluran tangan yang sudah jelas-jelas bertujuan untuk menuntunnya. Ia hanya menatap telapak tangan itu. Ada keraguan untuk menerima uluran tersebut.

Mengerti keadaan, Afriz kini beralih mengulurkan tangan kepada Faiz yang beberapa waktu yang lalu sudah dia serahkan kepada sang istri. Balita itu menoleh kepada Zaya sebentar, kemudian menerima ajakan itu secara sukarela.

Setelah Faiz berada dalam gendongannya, Afriz kembali mengulurkan tangannya kepada Zaya. Kali ini dia tak mau menunggu lama. Lelaki itu langsung meraih tangan istrinya tanpa menunggu persetujuan.

Memang harus seperti itu. Zaya harus sedikit 'dipaksa' untuk menerima ini semua. Sebab, Afriz mulai paham bahwa reaksi Zaya terhadapnya akan selalu sama: sangat lambat, dan tentunya menguji kesabarannya.

Kontras dengan reaksinya yang sangat lambat, mata Zaya kini berkedip cepat. Tak pernah menyangka ada sebuah tangan yang menariknya lembut, hingga membuatnya tak kuasa untuk berkutik.

Ia pun mengikuti langkah laki-laki di sampingnya, sambil sesekali memandang tautan tangan mereka. Sekaligus berharap agar suaminya ini tak mendengar detak jantungnya. Ia menelan ludah dengan susah payah.

Tak bisa dimungkiri, sebagai perempuan tanggung sepertinya, Zaya mudah luluh ketika mendapatkan perhatian-perhatian kecil dari mantan bosnya itu.

Terlebih dengan wajah yang sedap dipandang, membuat sosok itu mudah dikagumi. Tak ada alasan yang tepat bagi seorang Ihzaya Nurina untuk menolak pesona sesosok Afrizal Cipta Prasaja.

Kalau saja ....

Kalau saja tangan mereka tak saling bertaut ....

Kalau saja tangan mereka tak saling bertaut, sudah pasti Zaya akan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Atau ....

Kabur!

...***...

Surat Pindah

Terdengar suara motor bebek berhenti. Zaya sudah hafal dengan bunyi itu. Ia pun sudah hafal motor itu pasti diparkirkan di bawah pohon jambu di halaman rumah. Kebiasaan suaminya yang tak berubah selama hampir dua bulan mereka tinggal bersama.

Wanita muda itu melihat jam dinding, kemudian bangkit dari posisinya. Beruntung, tidur Faiz tak terusik gerakan kasur.

Pukul sepuluh lebih empat puluh enam menit, pada hari Jumat. Sudah tentu suaminya itu pulang lebih awal untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim di masjid sebagai agenda satu minggu sekali.

Afriz mengucap salam lalu dibalas oleh Zaya.

"Faiz mana?" tanya Afriz, begitu Zaya sampai di depannya untuk mencium tangannya.

"Baru aja tidur. Tadi badannya panas makanya rewel," jawab Zaya selepas mencium punggung tangan suaminya.

Laki-laki berkaus abu-abu itu tersentak kaget. "Tapi sekarang sudah tidak apa-apa, kan?"

"Udah nggak apa-apa, kok. Udah nggak panas juga."

"Syukurlah."

Kemudian, hening sebentar.

"Mas, tadi Pak RT pesen, nanti kita mesti minta stempel surat pengantar dari ketua RW," lapor Zaya.

"Siap."

"Terus, kalau udah, surat pengantar sama berkas-berkas persyaratannya dibawa ke kelurahan, sekalian ngisi formulir permohonan KK baru."

"Oke."

"Cuma, masalahnya ...."

"Apa?"

"Tadi aku telepon Bapak. Bapak bilang, surat keterangan pindah masih di rumah Bapak, karena baru jadi. Bapak kan baru sempet ngurusin, Mas. Belum lagi kan yang namanya di desa, ngurus dokumen-dokumen penting emang lebih lama daripada di kota."

Afriz mengangguk. Dia mengerti, untuk membuat satu surat pindah saja, ada banyak prosedur yang harus diikuti. Belum lagi laporan-laporan kepada pihak terkait. Masih pula harus mendatangi kantor disdukcapil setempat untuk meminta penerbitan surat pindah, yang mana tempatnya jauh, mencapai belasan bahkan puluhan kilometer.

Belum lagi, pernikahan mereka yang serba mendadak dan sebelumnya tanpa persiapan ke arah situ pun jelas memiliki andil. Jadi, tak mengherankan bila urusan pindah alamat ini agak rumit.

Itu pun belum selesai. Setelah ini, dia juga harus menguruskan surat pindah Zaya ke alamat baru sekaligus mengurus KK baru, yang tentunya memakan waktu tak sedikit.

Afriz terdiam sebentar, mencari solusi. "Tapi buku nikah kita ada, kan?"

Entah mengapa setiap kali teringat hal-hal yang berbau ia dan Afriz sudah menikah, pasti menimbulkan desiran aneh pada diri Zaya selama dua menuju tiga bulan belakangan ini. Konyol, memang. Akan tetapi, ia tak lupa untuk mengangguk.

"Ada kok, Mas. Aku nyimpen yang warna hijau tua. Mas juga nyimpen satu, kan, yang warna merah marun?"

"Iya, ya?" Afriz justru tak ingat. Mungkin karena saking banyaknya urusan, sampai-sampai dia agak lupa. "Nanti kita bicarakan lagi bagaimana kelanjutannya. Mas mau mandi dulu. Apa kamu mau sekalian ikut mandi, biar bisa lanjut ngobrol?" Godaan Afriz ini hanya dibalas decakan kesal nan malu-malu dari istrinya. "Mandi dulu, ya," pamitnya.

Tak sampai empat langkah kakinya menuju ke kamar mandi, Afriz kembali ke tempat Zaya berada. "Beneran, nggak mau ikutan mandi? Seger loh, kalau siang-siang gini mandi," godanya lagi.

"Sana, ah, Mas. Nanti ketinggalan Jumatannya," usir Zaya, sebelum godaan terhadapnya makin menjadi.

Setelah bayangan Afriz sudah tak nampak lagi, Zaya menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Dua bulan menjadi istri pemuda itu ternyata tidak baik bagi kesehatan jantungnya. Lebih baik ia menyiapkan baju koko, sarung, kopiah, serta sajadah sebelum suaminya itu selesai membersihkan badan.

Karena selain ini adalah tugasnya sebagai istri, walau sudah berusia menjelang 29 tahun, suaminya itu terlalu payah untuk menyiapkan barang-barangnya sendiri. Ternyata hanya fisiknya saja yang sudah dewasa, tetapi sikapnya justru kadang-kadang tak lebih dari seorang balita!

Selesai mandi, Afriz menuju ke kamarnya yang hanya berjarak lima meter dari kamar mandi. Berlilitkan handuk di pinggang, dia masih mendapati Zaya di kamarnya.

Lelaki itu berjalan pelan sambil tersenyum dengan wajah cerah, disertai tetesan air yang mengalir dari rambutnya yang basah. Sementara wanita muda yang sedang memunggunginya itu belum menyadari kedatangannya.

Hahaha. Afriz tertawa di dalam hati. Untuk pertama kalinya setelah beberapa Jumat berlalu berada di bawah atap yang sama, akhirnya dia memperoleh kesempatan agar bisa memperlihatkan tubuh berotot nan seksinya ini kepada Zaya.

Kini wanita muda itu menoleh ke arahnya, disusul pandangan terkejut dan pekikan kaget. Kemudian berbalik arah memunggunginya lagi.

Bukannya enyah, Afriz justru semakin memangkas jarak keduanya. "Sekalian dipakaikan, ya, Ya," pintanya, tepat di telinga Zaya.

Zaya tak kunjung berani menoleh. Ia justru menegang di tempat, begitu mendengar suara lelaki yang begitu dekat. Ia merasa terjebak berada dalam satu ruangan hanya berdua saja dengan sosok di belakangnya ini.

Kemudian Zaya berniat menggeser posisinya untuk lebih menjaga jarak. Namun, ia kalah cepat.

"Kenapa mau kabur, sih? Orang sudah sah, juga." Afriz menumpukan dagunya di bahu sang istri, lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang wanita di depannya itu. "Pakaikan, ya," pintanya sok manja.

Suara itu semakin dekat. Membuat bulu kuduk Zaya meremang seketika. "P-punya tangan, kan?"

"Punya. Terus?"

"Berarti bisa pakai sendiri."

"Ya sesekali kamu pakaikan juga tidak apa-apa padahal."

Zaya mengeluh di dalam hati. Berlama-lama di ruangan yang sama dengan Afriz, selalu saja membuatnya salah tingkah. Ia pun tak yakin bisa mempertahankan diri lebih lama, jika sudah seperti ini.

Apalagi kepala Afriz pun sudah tenggelam di leher Zaya yang tertutup kerudung. Hidung lelaki itu mulai mengendus, menggoda sang istri yang tak berani bergerak lantaran sudah salah tingkah sedari tadi.

Thung-thung. Blung-blung-blung.

Mendengar itu, Zaya menghela napas lega. Ia jadi punya alasan untuk lepas dari jerat pesona Afriz. "Udah bedug, Mas. Buruan pakai baju. Nanti telat, Jumatannya."

"Masih bedug pertama itu."

"Mas, ih."

"Kenapa?"

"Buruan pakai baju."

"Iya, Sayang," sahut Afriz, walau sebelumnya sempat menghela napas kecewa. Namun, tak lama setelahnya dia pun tersenyum. "Dilanjut nanti, ya?" sambungnya seraya melepaskan pelukannya terhadap Zaya.

"Nggak ada."

"Tadi katanya mau lanjut ngobrol soal surat pindah dan pembuatan KK baru. Lupa apa gimana, sih?"

Mendengar ledekan suaminya, Zaya berdecak sebal. Tentu saja malu karena ia sempat berpikir yang tidak-tidak. Mengira bahwa maksud Afriz, nanti suaminya itu akan melanjutkan kegiatan barusan, padahal bukan.

"Iiiiih. Tau, ah!" Lalu Zaya berlari ke luar kamar, meninggalkan laki-laki yang sedari tadi tak bosan-bosannya menguji dan menggodanya ini.

Afriz justru tertawa melihat ekspresi Zaya sebelum keluar dari kamar ini. "Duh, manis banget sih istriku."

Ya, sama-sama menerima pernikahan ini ternyata menyenangkan juga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!