"Akhirnya aku bisa menangkapmu!"
"Tidak, kakak! Ini aku, Dylan!" Dylan berteriak sambil berusaha melepaskan dirinya dari banyak benang yang melilit.
"Heh, kau pikir aku akan percaya begitu saja? Aku tahu Oni itu bisa menyamar! Mungkin saja, kau itu adalah Oni yang sedang menyamar menjadi adikku!" Fely mendekat ke Dylan. Ia mengambil sebuah gunting, lalu memotong seutas benang utama yang keluar dari boneka yang menggantung di dekat Dylan.
Dylan pikir, Fely akan melepaskannya dari benang-benang itu. Tapi ternyata dia hanya melepaskan bonekanya. Sedangkan Dylan masih terikat oleh benang itu.
"Apa yang ada di pikiran kakakku, sih?!" Batin Dylan geram.
"Jelas-jelas ini adiknya sendiri yang sedang terjebak, tapi ia malah menganggap kalau diriku ini adalah Oni yang sedang menyamar. Yang benar saja, kakak!"
****
Chapter 9: [ Firasat Buruk. ]
****
"Yes! Sekarang, karena aku sudah menangkapmu, ini saatnya aku membunuhmu!" Fely mengambil gunting yang lebih besar lagi.
Lalu ia mengangkat tubuh Dylan dan meletakkannya di atas tempat tidur. Kemudian setelah itu, Fely duduk di atas lelaki itu. Dengan cepat, ia mengangkat tangan yang memegang gunting itu.
"Ka–kakak! Tunggu dulu! Apa yang kau lakukan?!" Dylan berteriak ketakutan.
Fely mengeluarkan senyum keji khasnya sendiri. Terlihat, wajahnya seketika menjadi menyeramkan. "Sopan sekali kamu memanggilku dengan nama 'kakak'? Oni jenis apa kau ini, haha...."
"Ikh! Kak Fely! Ini benar-benar aku! Aku Dylan Leviano! Masa kau tidak mengenalku?!" Sekali lagi Dylan berusaha untuk memberontak.
"Oh. Kalau kau ini benar-benar Dylan, coba tebak pertanyaan ini."
Seketika, wajah Dylab memelas. Ia malas menjawab semua pertanyaan yang akan kakaknya berikan padanya. Ia tahu. Pasti pertanyaannya aneh-aneh.
"Oke. Cepatlah!"
"Satu, tanggal berapa ulang tahunku? Ayo jawab!" Telunjuk Fely menyentuh kening Dylan. Lelaki itu pun langsung menggeleng cepat dan menjawab, "25 Agustus!"
"Benar!" Fely mendekatkan wajahnya ke hadapan Dylan. Senang sekali rasanya jika tanggal ulang tahunnya diketahui orang lain. "Baiklah, sekarang, pertanyaan ke dua! Apa yang kuinginkan untuk hadiah ulang tahunku?"
"Permintaanmu itu banyak."
"Salah satu saja. Yang paling aku inginkan!"
"Huh, sendok berbentuk dinosaurus."
Kak Fely menepuk-nepuk tangannya. "Wah! Kau benar sekali! Nah, sekarang yang terakhir!"
"Cepatlah! Aku mulai sesak napas, nih!"
"Pertanyaan ke tiga! Apa warna kaos yang kupakai ini?"
"Sepertinya itu pertanyaan yang mudah. Dia memakai kaos berwarna merah. Aku akan bebas dari sini!"
"Jawabannya adalah, warna merah, kan?"
"Kau salah! Kaos ku ini berwarna biru! Kau berarti bukan adikku. Sekarang, matilah!" Fely kembali mengangkat gunting besarnya ke atas. "Oni yang asli biasanya suka buta warna."
"Justru kau lah yang buta warna!" Dylan membentak sambil memberontak.
Tak lama, ia mengingat sesuatu kalau Fely itu benar-benar buta warna! Dia hanya tidak bisa membedakan mana merah dengan biru. Jadi, kalau benda yang berwarna biru, ia selalu menganggapnya kalau benda itu berwarna merah. Begitu pula dengan sebaliknya.
"Ah! Kenapa aku bisa melupakan hal itu?! Seharusnya, aku menjawab biru saja!"
Saat Fely mengayunkan guntingnya, Dylan hanya bisa pasrah. Dengan cepat, ia menutup mata dan membiarkan kesalah pahaman ini membunuhnya.
"Onee-chan! Jangan!"
Itu suara teriakkan Takana. Dylan dan kakaknya menengok ke samping. Tepatnya, menengok ke arah pintu kamar. Di sana, berdiri sosok gadis Jepang itu dengan raut wajah yang ketakutan.
"Takana?" Dylan bergumam.
"Takana, kau datang! Lihatlah. Aku sudah menangkap Oni buruan kita!" kata Fely berbangga diri.
Takana menggeleng cepat. "Itu bukan Oni! Itu Dylan-san!"
"Apa maksudmu? Apa kau ingin melindungi Oni ini?"
"Bukan seperti itu, Nee-chan! Dia itu benar-benar adikmu sendiri."
"Kak Natash Felyshia yang bodoh! Dari tadi aku sudah bilang kalau aku ini Dylan!" Dylan mengeluarkan suaranya lagi. Ia semakin kesal.
Fely tersentak. Ia menjatuhkan guntingnya. Lalu, segera turun dari atas tempat tidur. "Dia memang Dylan! Aku bisa tahu. Karena, sebenarnya, Oni tidak mengetahui nama panjangku! Jadi, kau benar-benar Dylan?!"
Dylan hanya diam saja dengan memasang raut wajah marah. Ia menatap tajam pada Fely. Lalu, tak lama kemudian, ia kembali membuka mulut. "Sudah bicaranya? Sekarang, lepaskan aku!"
Namun setelah Dylan berkata seperti itu, tiba-tiba saja Fely berteriak karena terkejut. Lalu dengan cepat, ia menempelkan telunjuk kanannya ke dahi Dylan. Lalu seketika, cahaya merah keluar dari jari-jari tangannya.
Setelah muncul cahaya itu, tiba-tiba saja Dylan merasa kepalanya sakit dan tubuhnya tidak bisa digerakkan. Seperti sedang lumpuh. Kepalanta benar-benar berat sekali. Lalu secara perlahan, pupil matanya membesar sampai menutupi seluruh warna putihnya. Tatapannya menjadi kosong dan gelap.
Dylan merasakan sakit yang luar biasa pada kepala. Ingin berteriak, tapi tidak bisa. Lalu, Fely menarik kembali tangannya dan seketika kesadaran Dylan langsung menghilang bersama dengan cahaya merah yang dikeluarkan Fely.
****
Keesokan harinya–
"Ugh, aduh..." Perlahan Dylan membuka mata dan memegang kepalanya yang sedikit pusing. Matanya tersentak kaget saat melihat ke sekitar. Ternyata, dirinya berada di kamar kakaknya sendiri.
Ia melirik ke kanan dan kiri. Lalu membesarkan mata dan berteriak karena terkejut. Ternyata, di samping kanannya ada Kak Fely yang sedang tertidur. Samping kiri juga ada Takana yang sedang tidur.
"Eh? Kakak sudah pulang?! Sejak kapan? Aku tidak tahu kalau kakak sudah pulang!"batin Dylan yang masih panik karena secara tak sadar, ia telah tidur dengan dua perempuan dalam satu kamar yang bukan miliknya. Seketika pikirannya langsung mengarah ke hal-hal yang menjijikkan. Tapi dengan cepat ia menggeleng untuk menghilangkan pemikirannya tersebut.
Karena suara teriakkannya tadi, telah membuat kedua perempuan itu terbangun dari tidurnya. Dengan cepat, Dylan pun merosot ke bawah tempat tidur. Lalu kembali berdiri dan berjalan ke arah pintu depan.
"Dylan-san, mau ke mana?" Dylan tersentak dan menghentikan langkah saat mendengar suara lembut gadis Jepang itu.
Dylan tidak menengok. Pada posisi yang tidak diubah, ia menjawab, "Aku ingin bersiap pergi ke sekolah!"
"Eh, iya. Aku juga ikut!"
"Ikut ngapain?"
"Mandi bareng!"
BRAK!
Secepatnya Dylab langsung berjalan keluar kamar kakanya, lalu membanting pintu kamar itu. "Anak Jepang itu sudah tidak waras, apa?!" gerutu Dylan dalam hati sambil berjalan cepat ke kamar mandi. "Aku dengannya mandi berdua?! Yang benar saja! Bodoh!"
****
"Dylan, ini sarapan untukmu!" Fely memberikan Dylan sebuah piring berisi nasi dan berbagai macam lauk pauk di dalamnya.
Dylan pun menerimanya. "Terima kasih, kak!"
Fely hanya tersenyum. Lalu, ia juga ikut duduk di bangku yang ada di seberang mejanya. Mereka berdua sarapan bersama di meja makan di dapur.
Lalu, tak lama kemudian, Takana datang dengan tergesa-gesa menghampiri mereka yang sedang makan. Fely baru saja ingin menyuap nasinya.
"A–aku terlambat!" Takana duduk di bangku yang ada di samping Dylan.
Dylan menggeser bangku yang ia duduki sedikit lebih menjauh dari Takana. Lalu, ia kembali melahap makanannya.
"Dylan? Apa Takana ini temanmu yang menginap di rumah kita?" tanya Fely yang ada di hadapan Dylan.
Dylan pun tersentak kaget. "Oh iya! Aku lupa dengan Takana. Kakak dan Takana kan baru saja bertemu."
"I–iya. Hanya untuk sementara, kok!" jawab Dylan, lalu kembali menyuap makannya.
"Oh. Mau selama apapun, Takana boleh, kok menginap di sini. Jadi ramai, deh, rumah ini!" Fely terkekeh.
Seketika, Takana tersenyum lebar. Ia menengok ke arah Dylan dan menunjukkan ekspresi kebahagiaannya itu. "Yes! Aku boleh menginap di sini?!"
Fely mengangguk. "Iya. Tidak masalah!"
"Terima kasih banyak!"
"Yaa..., jadi terlihat menyenangkan, ya?"
"Hm!" Takana mengangguk cepat, lalu ia kembali melahap makanannya.
"Menyenangkan apanya? Takana itu anak yang menyebalkan. Kakak sendiri pasti tidak akan betah dengan perilakunya!"
****
Saat di sekolah–
"Jadi, seperti inilah caranya mengucapkan kata di present tense dalam bahasa Inggris. Apa kalian mengerti?" tanya Bu Aprilia yang sedang menerangkan di depan papan tulis.
Semuanya hanya menjawab, "iya!"
Bu April tersenyum. Lalu, ia akan melanjutkan penjelasannya. Tapi sebelum beliau berbalik badan, ia melirik ke arah Dylan dan tersenyum.
Dylan yang sedang menopang dagu pun tersentak. Dengan cepat, ia mengangguk pelan untuk menjawab senyumannya itu. Setelah itu, Bu April kembali menjelaskan di papan tulis.
****
Bel istirahat–
Semua anak berjalan cepat ke luar kelas. Mereka semua pasti ingin jajan di kantin. Di kelas, hanya tinggal Dylan dengan Takana yang duduk di sampingnya. Tapi, di depan meja guru, masih ada Bu April yang sedang mengisi agenda.
Dylan sedang merapihkan mejanya. Lalu, tiba-tiba saja, Bu April memanggil namanya. Lelaki itu terkejut. Lalu, ia pun segera beranjak dari kursi dan berjalan menghampiri Bu April.
"Ada apa, Bu?" tanya Dylan setelah sampai di depan meja guru.
"Dylan, sebentar lagi kan Study Tour di kelas kita. Apa kamu sudah memutuskan untuk ikut atau tidak?" tanya Bu April.
"Hmm..., saya tidak tahu, Bu! Saya masih bingung. Apakah Study tour ini wajib?"
"Iya wajib sekali. Karena, semuanya akan ikut. Masa kau sendiri yang tidak ikut?"
"Yah..., habisnya, saya tidak yakin bisa ikut apa tidak."
Bu April beranjak dari tempatnya. Ia mendekat ke arah Dylan. "Pikirkan secepatnya. Ibu harap, kamu bisa ikut, ya!" Kemudian Bu April berbisik padanya. "Agar kita bisa bersama-sama perginya!"
Bu April tersenyum sambil menatap tajam ke arah Takana yang ada di belakang Dylan. Takana melihat matanya berubah menjadi warna kuning. Lalu, tanpa Dylan ssadari, Bu April sedikit menjilat ujung rambutnya. Takana yang melihat itu langsung terkejut.
Lalu setelah itu, Bu April pun melambai pada Dylan. Ia mengambil barang-barangnya yang ada di atas meja, lalu berjalan pergi meninggalkan kelas.
Dylan terdiam sejenak di depan meja guru. Matanya melirik ke atas vas bunga yang ada di sana.
"Bagaimana, ya? Sebenarnya, aku malas sekali ingin ikut. Tidak biasanya aku akan berpergian jauh seperti ini."
"Dylan-san!" Takana mengejutkanya. Seketika, Dylan pun langsung berbalik badan dan menatap anak itu.
"Ada apa?!"
"Dylan-san tidak jajan?"
"Tidak. Aku ingin menetap di kelas saja." Tapi tiba-tiba saja, niatnya untuk berdiam diri di kelas jadi diurungkan. "Tidak jadi, deh! Aku ingin berjalan-jalan di taman saja."
Dylan berjalan meninggalkan Takana ke luar kelas. Dari belakang, Takana pun mengikutinya.
****
Saat Dylab dan Takana sedang berjalan di koridor sekolah, tiba-tiba saja, ada seseorang yang sedang berlari melewati mereka. Seorang laki-laki. Dia berlari, tapi saat melewati Dylan, lelaki itu sempat melirik ke arahnya dan Dylan juga melirikkan matanya padanya.
Tapi tak lama setelah itu, Lelaki itu kembali berlari menjauh dari mereka berdua. Dylan merasa tidak asing dengan lelaki itu. Sepertinya, ia pernah melihat dirinya.
"Dylan-san, ada apa?" tanya Takana.
"Ah, tidak ada apa-apa." Dylan menggeleng cepat. "Mungkin, aku salah lihat." Lalu, setelah itu, Dylan pun kembali berjalan menyusuri jalan di koridor itu. Takana terus saja mengikutinya
Setelah Dylan pergi, dari balik tembok di pertigaan di pojok lorong sana, ada seseorang yang mengintip. Matanya melirik ke arahnya. Orang itu adalah Lelaki yang berpapasan dengan Dylan tadi. Lalu tak lama, lelaki itu pun pergi.
****
Kembali lagi ke kelas–
Seharusnya, sekarang adalah pelajaran Biologi yang diajar oleh guru lain. Tapi, kenapa saat ini, yang datang ke kelas kami adalah Bu April lagi? Apa dia jadi guru Biologi?
"Selamat siang anak-anak! Maaf, Ibu mengganggu waktu belajar kalian, tapi di sini Ibu ingin memberitahukan sesuatu. Ini sangat mendadak. Tapi tidak masalah."
Sepertinya, Bu April datang ke sini bukan untuk mengajar. Tapi ternyata dirinya ingin memberitahukan sesuatu pada anak-anak muridnya.
Bu April menengok ke samping kirinya. Ia melirik ke arah pintu kelas. "Ayo kamu yang di sana, silahkan masuk!"
Seketika, setelah Bu April mengatakan itu, datanglah seorang anak murid dari balik pintu. Dia adalah seorang lelaki yang Dylan temui tadi.
Kali ini, pakaiannya berbeda. Ia memakai kemeja putih dan alamamater berwarna biru tua. Terdapat lambang dari sekolah lain di almamaternya itu. Dylan sudah menduganya. Dia anak baru ternyata!
"Anak-anak, perkenalkan, dia namanya–"
"Irvan Maulana! Dari sekolah Harapan Bangsa 2." Nada bicaranya dingin sekali. Apalagi dengan tatapan matanya dan wajahnya tanpa ekspresi itu.
Semuanya hanya terdiam dan ada beberapa yang mengangguk. Lalu, murid baru itu berjalan mencari tempat duduk yang kosong untuknya. Seketika, semuanya langsung menundukkan kepalanya. "Eh, ada apa dengan mereka semua?!"
"Eh, kamu tahu, tidak?"
"Apa?"
Dylan mendengar dua anak perempuan yang ada di depannya mulai mengeluarkan gosippan mereka. Sepertinya, mereka berdua sedang membicarakan anak baru itu. Dylan ingin mendengarnya untuk mendapatkan informasi.
"Dia itu anak yang berbahaya!"
"Eh, benarkah? Darimana kau tahu?"
"Apa kau tidak mengenalnya? Dia pindah ke sini, bukan karena hal biasa. Dia pindah ke sini, karena ia dikeluarkan dari sekolah asalnya."
"Pantas saja mendadak sekali! Kenapa bisa seperti itu?"
"Karena, dia telah melakukan pembunuhan terhadap murid sekelasnya! Dia juga terkenal dengan kesadisannya dan keahliannya dalam bermain pisau."
"Eeehhh?! Membunuh katamu? Mengerikan sekali!"
"Dikeluarkan dari sekolah asalnya karena kasus pembunuhan yang sudah anak itu lakukan? Apa benar?" batin Dylan setelah mendengar pembicaraan itu.
Dylan sedikit melirikkan matanya ke arah anak baru itu. Anak itu hanya duduk tegak diam sambil menatap dengan tatapan kosong mengarah ke papan tulis. Tanpa ekspresi.
Kalau dilihat dari tampangnya, dia memang anak yang pendiam. "Masa dia bisa melakukan hal yang keji seperti itu? Aku jadi penasaran!"
Takana melirik ke arah Dylan. Dylan sendiri tidak menatapnya dan terus memandang anak baru itu.
Kemudian Takana juga ikut melirikkan matanya ke arah si anak baru. Seketika, Takana langsung terkejut. Dia pun mulai bergumam-gumam.
"Oni! Di sana ada Oni...."
"Oh tidak! Firasat buruk apa ini yang tiba-tiba muncul? Aku merasa akan ada hal yang buruk terjadi di kelas ini!"
*
*
*
To be Continued–
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments