CKIIIT... ****BRU*******K***!!
Dylan merasa tubuhnya terlempar ke udara. Terdengar suara beberapa orang yang teriak histeris dan suara benda jatuh yang sangat keras. Lebih tepatnya, itu suara benda yang menghantam sesuatu. Tubuh Dylan terdorong dengan cepat. Saat menyentuh aspal jalanan, seketika, pandangannya menjadi gelap.
Namun ia masih bisa menggerakkan seluruh tubuhnya, tapi tidak sepenuhnya. Lalu, ia merasa seperti ada yang mengangkat tubuhnya dan seketika rasa kehangatan mulai muncul. Dylan pun kembali membuka mata dan terkejut.
Sosok Takana berada di hadapannya!
Takana menatapnya dengan wajah yang penuh kesedihan. Dylan melihat mulutnya mengeluarkan sedikit darah dan kepalanya juga mulai mengalirkan darah merah itu.
Dengan bingung, Dylan menatap ke sekitar. Tak jauh dari tempatnya dan Takana saat ini, terlihat ada mobil truk yang sama sudah terguling di jalan. Lalu, banyaknya orang yang berkerumun di sekeliling kami.
Suara-suara orang-orang itu berbisik, berteriak dan ada juga yang sedang menelpon seseorang. Dylan bisa mendengarnya.
"Mereka selamat! Tidak bisa dipercaya."
"Cepat panggil ambulans!"
"Nak, kau baik-baik saja?"
Dylan tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Lalu ia kembali menatap Takana. Ia masih berekspresi wajah yang sama dan matanya masih terpaku padanya. "Dylan-san, kau baik-baik saja, kan?" tanya Takana. Suaranya terdengar lirih dan lembut sekali.
"I–iya." Jawabnya.
"Kau yakin? Tidak ada yang terluka, kan?" tanyanya lagi.
Dylan hanya mengangguk.
Darah yang ada di kepalanya itu mulai menetes. Darah itu terjatuh di atas pipi dan almamaternya.
"Keadaanya sedang terluka parah, tapi dirinya hanya menanyakan tentang keadaanku? Apa dia tidak memikirkan keadaan dirinya saat ini?" batinnya yang tiba-tiba merasa cemas dengan gadis itu.
"Ini menakjubkan! Aku tidak pernah melihat hal seperti ini."
Dylan kembali mendengar orang-orang yang ada di sekelilingnya mulai membicarakan sesuatu lagi.
"Aku juga. Truk itu melaju dengan sangat cepat dan mengenai mereka. Tapi, mereka masih bisa selamat!"
"Ya. Pada awalnya, yang seharusnya tertabrak itu adalah si cowok itu. Tapi tiba-tiba saja perempuan itu datang dengan cepat dan langsung memeluk cowok itu."
"Wow, kau sangat memperhatikan adegannya, ya?"
"Iya begitu. Ini keajaiban dari Tuhan yang masih membiarkan mereka hidup di dunia."
Dylan yang heran pun kembali memikirkannya dalam hati."'Perempuan itu datang dan langsung memeluk cowok itu'? Apa yang dimaksud 'cowok itu' adalah aku, dan 'perempuan itu' adalah Takana. Apakah...
"Takana yang sudah menyelamatkanku?"
Takana menggerakkan tangannya. Dia membantu Dylan berdiri kembali setelah memastikan keadaannya.
"Aw!" Dylan mendadak mendesis setelah berdiri. Sekarang ia tidak bisa berdiri. Kakinya terkilir dan rasanya sakit sekali jika digerakkan.
"Ah, Dylan-san, maafkan aku!" Takana kembali menurunkan tubuhnya.
"Aduh ... tidak apa-apa."
Ambulans pun datang. Semua polisi mengevakuasi tempat kejadian. Secara perlahan, Dylan dibopong masuk ke dalam Ambulans bersama dengan Takana juga.
Bersama, mereka berdua menuju ke rumah sakit. Sepertinya, Takana lah yang mendapatkan luka terparah dibanting Dylan.
****
"Kau baik-baik saja? Apa ada yang sakit?" tanya seorang perawat yang ada di dalam Ambulans.
"Tidak apa-apa. Kakiku hanya terkilir sedikit."
"Tidak boleh seperti itu. Terkilir, juga berbahaya. Harus segera diobati. Dan lihatlah, kakimu juga berdarah. Kalau begitu, akan saya berikan obat."
"Ah! Tidak perlu!" Dylan menolaknya. "Lebih baik, anda mengobati tem... eh, maksudku, perempuan itu saja!"
Perawat itu menengok ke arah Takana. Takana pun tersentak. Lalu tanpa berkata apa-apa, perawat itu membersihkan bekas darah yang ada di kepala Takana, lalu mengobati lukanya dan membalut kepala Takana dengan perban.
****
Chapter 5: [ Cerita Takana ]
****
"Dylan-san? Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Takana. Nada bicaranya terdengar cemas.
"Kenapa kau terus bertanya seperti itu? Kenapa kau tidak mengkhawatirkan keadaanmu saja."
"Hmm..., Watashi wa anata no hogo Yujin desu!"
Huh, lagi-lagi kata-kata itu. Dylan lupa ingin mencari terjemahan dari kata-kata yang selalu diucapkan Takana itu. Pokoknya, malam ini, ia tidak boleh lupa untuk mencari arti dari kata-kata itu.
Dylan dan Takana sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah mendapatkan pengobatan. Benar-benar hari yang sangat mengejutkan dan membingungkan. Mereka sudah tertabrak mobil truk besar yang melaju sangat cepat, tapi kenapa masih bisa selamat?
"Dylan-san, apa kita tidak ke sekolah?" tanya Takana mengejutkan Dylan. Gadis itu terlalu dekat menatap wajahnya. Dylan pun langsung menjauhkan wajah manis gadis itu.
"Jauhkan wajahmu dariku!" Dylan melirik ke arah arlojinya. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 9. "Huh, mau sekolah? Pergi saja sana sendiri. Aku mau pulang!"
Sepertinya setelah mengetahui dirinya terlambat, Dylan jadi mengurungkan niatnya untuk ke sekolah.
"Tapi Dylan-san, bolos sekolah itu tidak baik, lho!" Takana kembali mengejarnya.
Dylan semakin geram. Tapi iq akan berusaha untuk bersabar. Ia pun kembali berbalik badan dan menghadap ke Takana.
"Ta-ka-na-san, dengar ya? Ini sudah jam 9. Sedangkan, masuk sekolah itu jam 7. Kita sudah terlambat. Percuma saja kita ke sekolah saat ini. Sekarang, jangan ganggu aku. Aku ingin pulang!" katanya dengan ujung nada bicara yang sedikit membentak.
"Ah, baiklah aku ikut!"
"Lagi-lagi, aku harus membawa perempuan ini ke rumahku." Keluh Dylan dalam hati. Kalau seandainya ia bisa, sekarang juga mungkin ia akan menyingkirkan Takana untuk tidak dekat dengannya lagi. Tapi ia sadar kalau tindakan itu terlalu kriminal.
TRING!
Dylan merasakan getaran di dalam saku celana. Ianmerogoh ke dalamnya, ternyata ponselnya yang bergetar. Bukan karena ada telpon masuk, tapi ada kiriman pesan dari Bu Aprilia yang merupakan wali kelas Dylan.
Dylan, tadi kamu kenapa tidak masuk sekolah? Ibu sangat mengkhawatirkanmu.
"Hm? Sudah lama sekali Bu April tidak mengirim pesan padaku." Gumamnya sambil mengetik beberapa huruf di layar ponsel untuk membalas.
Memangnya kenapa, Bu?
TRING!
Tidak apa-apa. Ibu sedikit terkejut saja. Baru kali ini kamu dapat alpha di absenmu.
Dylan tidak menjawab Bu April. Ia pun kembali berjalan menuju ke rumah. Tapi, tiba-tiba saja, ponselnya kembali berbunyi. Itu Bu April lagi yang mengirim pesan.
Oh iya, Ibu ingin memberitahumu satu hal lagi. Tadi, saat kamu tidak masuk, di kelas ada pengumuman. Tanggal 21 Agustus akan diadakan Study tour. Ibu harap, kamu bisa ikut!
Dylan tidak suka berpergian jauh. Apalagi bersama dengan teman-teman kelas yang menyebalkan. Tadinya ia memutuskan untuk tidak ikut. Tapi, sepertinya Bu April sangat mengharapkannya untuk ikut bersama.
"Huh, apa boleh buat...."
Baiklah, akan aku usahakan.
TRING!
Syukurlah. Terima kasih.
Dylan tidak membalasnya lagi. Lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Setelah itu, ia kembali berjalan. Takana tetap mengikutinya dari belakang.
****
Saat sampai di rumah-
Mereka langsung menuju ke ruang tamu. Meletakan tas ke sofa, lalu berjalan ke dapur. Dylan duduk di atas kursi dan Takana dia duduk di bawah. Lelaki itu menengok ke arahnya dan bertanya, "Kenapa kau tidak duduk di atas kursi di sana?"
Takana menggeleng. "Tidak. Karena aku sudah terbiasa. Aku lebih suka duduk di lantai."
Dylan lupa. Biasanya, orang Jepang selalu duduk di lantai. Kadang, yang ia ketahui, penduduk Jepang jarang menggunakan kursi sebagai alat untuk bersantai maupun makan bersama. Karena merasa tidak sopan kalau Dylan sendiri yang duduk di atas, ia pun langsung turun dan duduk di lantai seperti Takana. Hanya saja, ia duduk lebih jauh 2 meter saja darinya.
"Dylan-san, kenapa jauh-jauh?" tanya Takana.
"Suka-suka aku, lah," Dylan sengaja mengajak Takana ke dapur karena, ada satu hal yang ingin ia tanyakan padanya. Sekalian ngemil makanan yang diambil dari dalam kulkas. Tapi sepertinya, ruangan itu terlalu gelap dan hawanya agak sedikit engap. Kalau begitu, Dylan akan memindahkan pembicaraannya ke tempat yang lebih baik.
"Takana, ikut aku!"
"Hai!"
Dylan mengajak Takana ke luar teras halaman belakang. Di tempat itu, angin dari luar berhembus. Menambah kesegaran dan ketenangan. Ditambah beberapa tanaman milik Ibunya yang tertata rapih di halaman. Tanaman itu mengeluarkan oksigen yang baik untuk tubuh.
"Wah, ternyata Dylan-san juga mempunyai En-gawa." Ujar Takana.
(En-gawa adalah koridor luar rumah yang menyerupai beranda di sekitar jendela terbuka. Biasanya menghadap ke arah taman pada rumah tradisional Jepang.)
"Eh, En-gawa?" Dylan terkejut. "Ini bukan En-gawa seperti di Jepang. Ini hanya teras belakang rumah yang biasa digunakan untuk duduk santai saat sedang bosan." Jelasnya.
Takana mengangguk paham. "Hmm..., rumahmu sedikit berbeda. Di dalam tidak ada Kotatsu-nya, dan apa ini jendela? Kenapa transparan? Apa di sini tidak ada Shoji dan Fusuma? Dan apa–"
"Diam Takana!" bentak Dylan tiba-tiba. Gadis itu terlalu banyak bicara dan ia merasa risih mendengarnya. "Dengar, ya! Ini rumahku dan bukan rumahmu. Ini Indonesia dan bukan Jepang. Jadi, tolong perhatikan lebih detail lagi, ya? Rumah Indonesia tidak seperti di Jepang. Dinding dan pintu tidak seperti Shoji dan Fusuma dan di ruang televisi di sana, kau tidak perlu Kotatsu. Iklim di Indonesia ini lumayan hangat, tidak dingin seperti di Jepang. Apa kau mengerti?" Jelas Dylan.
"O–oke." Jawab Takana pelan.
"Huh, baiklah, sekarang duduk di sini."
"Eh, aku boleh duduk di sampingmu?!"
"Agak jauh sedikit!"
Takana pun duduk di sampingnya. Dylan masih merasa risih dengannya. Lalu, ia pun meminta Takana untuk bergeser lebih jauh lagi dan lagi, dan lagi. Hanya berjarak 1 setengah meter saja (mungkin).
"Dylan-san, suaraku kedengaran tidak?" teriak Takana.
"Ikh, tidak usah teriak-teriak woy! Kau tidak terlalu jauh!" bentak Dylan. Gadis itu dianggap menyebalkan. Tapi, Dylan berusaha untuk bersabar dalam menghadapinya. "Jadi, Takana? Aku ingin bertanya satu hal padamu."
"Apa?"
"Kenapa kau bisa terlibat dalam kecelakaan tadi? Padahal, seharusnya aku yang tertabrak mobil itu."
"Hmm...," Takana memandang langit sambil berpikir. Lalu tak lama kemudian, ia kembali menatap Dylan dengan tersenyum. "Watashi wa anata no hogo Yujin desu!"
Dylan mulai geram. "Jawab yang benar, Takanaaaa!"
"WATASHI WA ANATA NO HOGO YUJIN DESU!"
"YANG BENAR!"
"WATASHI WA ANATA NO HOGO YUJIN DESU!"
"YANG BENAR TAKANA!"
"WATASHI WA ANATA NO HOGO YUJIN DESU!"
"JANGAN BERCANDA WOY!"
"WATASHI WA ANATA NO HOGO YUJIN DESU!"
"JANGAN BERISIK WOY! ANAK SAYA LAGI TIDUR! JANGAN BERISIK!"
Kami berdua pun tersentak dan seketika langsung diam begitu seorang tetangga rumahnya meneriaki mereka yang berisik. Dylan menatap dingin pada Takana dan Takana menatap polos dengan mata biru besarnya ke arahnya.
"Watashi wa anata no hogo Yujin desu!" bisik Takana.
"Sudahlah, diam!"
"Watashi wa anata no hogo Yujin desu!"
"Dylan berisik, berisik. Dylan berisik, Kwak!"
Sepertinya saat ini, Coki lah yang mulai berisik dan mengoceh tidak jelas. Takana menengok ke arah kandang burung kakaktua nya yang sangkarnya digantungkan di depan pintu. Gadis itu menatap Coki, lalu melompat-lompat sambil tertawa.
"Burung! Burung! Aku suka. Akan aku beri nama Kiki-san!" ujar Takana.
"Hey, namanya Coki, tahu!" bentak Dylan.
"Coki? Huu..., jelek! Hmm.. bagaimana kalau Neko saja. Karena agar sama seperti yang ada di bajuku. 'Nyan Neko'."
"Apa? Neko itu kucing, tahu!"
"Ya sudah kalau begitu, nanti kapan-kapan, aku akan mengubah gambar Neko di bajuku menjadi gambar burung kakak tua agar bisa sama seperti Neko-san!"
"Haduh...."
****
Malam harinya-
Mereka berdua sedang berada di dalam kamar. Dylan sedang menonton Anime di komputer. Sedangkan Takana sedang bermain dengan Dakimakura miliknya sambil duduk diam di atas kasur kecilnya. Lalu, Takana berdiri dan berjalan mendekatinya.
"Dylan-san? Kenapa kau sangat menyukai Anime?" tanya Takana.
"Ya..., karena seru."
"Seru saja, begitu?"
"Menyenangkan!"
"Itu saja?"
"Tidak membosankan, menghibur, dapat menghabiskan waktu yang tidak penting."
Takana mengangguk. Ia memeluk Dakimakura miliknya, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur tidurnya kembali. Kepalanya berada di atas bantal. Memandang langit-langit kamar dan berkata, "Jadi hanya itu alasanmu? Bukankah karena kamu merasa kesepian, Dylan-san?"
Dylan terkejut. Ia jeda sebentar video Anime yang ditonton, lalu berbalik badan menghadap ke Takana. "Apa maksudmu?"
Takana kembali bangun. "Kau menonton Anime karena kamu merasa kesepian, kan? Sampai-sampai, kau anggap Anime itu adalah penghiburmu, komik adalah teman terbaikmu dan Dakimakura ini adalah orang yang kau sayangi."
Dylan tidak menjawab. Takana ternyata sudah mengetahui perasaannya. Ia tidak bisa menahannya. Apakah Dylan harus menjawab "iya" atau "tidak"?
Semenjak Dylan bertemu dengan gadis itu, rumahnya jadi terasa lebih terisi dan ia pun mendapat orang yang bisa diajak bicara, seperti Takana.
"Kau sangat kesepian. Tidak punya teman dan semua keluargamu pergi meninggalkan dirimu. Terkadang, aku merasa iri denganmu."
Dylan tersentak. "Eh, kenapa?"
"Kau masih ada orang yang berada di dekatmu. Punya tetangga, orang lain yang masih peduli denganmu, dan... aku tahu. Saat kau masih kecil, Dylan-san pasti sangat bahagia, kan? Walaupun orang tuamu sudah pergi meninggalkanmu, tapi setidaknya, kau masih memiliki kakak yang masih sayang padamu. Walau kau pikir, kakakmu tidak peduli padamu. tapi setidaknya, kau masih memiliki keluarga yang tersisah."
"Eh, tunggu dulu! Aku tidak–"
"Sedangkan aku? Aku tidak memiliki keluarga. Aku bahkan tidak tahu siapa keluargaku yang sebenarnya. Karena, sejak kecil, aku selalu sendirian. Dari bayi, aku sudah dibuang oleh kedua orang tuaku. Lalu, seseorang menemukanku dan aku pun dirawat di panti asuhan sampai umur 5 tahun. Saat itulah, masa-masa hidupku yang menyedihkan dimulai.
"Anak-anak yang ada di panti asuhan mulai menindas dan menghinaku. Hingga akhirnya, aku mulai tidak betah berada di tempat itu. Jadi, aku pun secara diam-diam, pergi dari tempat panti asuhan itu. Hanya dengan berbekal baju dan beberapa uang tabunganku yang tidak banyak.
"Untungnya, dengan uang itu, aku bisa bertahan hidup sampai sekarang. Aku juga selalu sendirian. Tidak ada tempat tinggal dan menjadi anak yang terlantar di jalanan. Sangat menyedihkan."
Dylan terus menyimak. Mendengarkan cerita Takana itu. Baginya cerita itu sangat menyedihkan. Tapi, kenapa saat Dylan perhatikan ekspresi Takana, ia terlihat biasa saja. Bercerita dengan mulut yang sedikit tersenyum.
"Saat aku berumur 11 tahun, aku pun akhirnya punya niat untuk pergi ke tempat lain. Umur itu, aku sudah mulai mencari pekerjaan. Dan beruntungnya aku, akhirnya dapat pekerjaan yang hebat, walaupun penghasilannya sedikit. Tapi setidaknya, aku bisa menabung untuk pergi ke luar negeri dengan tujuan ingin mencari seorang teman sejati yang akan melawan kesepianku." Takana melanjutkan ceritanya.
"Jadi, semua usahanya itu hanya untuk mendapatkan seorang teman yang baik untuknya?" batin Dylan.
Dylan jadi merasa tidak enak pada dirinya. Seharusnya, ia lebih bersyukur dengan kehidupannya. Ia masih dikasih rumah bagus untuk tetap hidup, kelebihan yang banyak, dan sebagian orang juga mulai memperhatikannya. Sepertinya, hidup Takana memang sangat memprihatikan. "Tapi tetap saja, aku tidak ingin menjadi temannya setelah apa yang ia lakukan padaku."
"Tapi... aku ingin membantu kehidupan dan tujuannya, agar semua usahanya itu tidak sia-sia. Kalau begitu, aku akan mencarikan teman untuknya."
"Takana, aku akan mencarikan teman untukmu!" kata Dylan.
Takana menggeleng pelan. Ia menolaknya. "Tidak. Aku tidak ingin orang lain. Aku hanya ingin kamu, Dylan-san. Karena bagiku, kaulah teman terbaik untukku."
Dylan mendesah berat. Ia tidak bisa menjadi temannya Takana. Karena, ia merasa tidak layak. Dia adalah anak laki-laki yang tidak cocok untuk dipertemankan bagi Takana. Sifat dan kelakuannya tidak akan memberikan kepuasan untuknya. Ia juga tidak akan bisa membahagiakan orang lain.
"Eh, tapi ngomong-ngomong, kenapa aku bicara seperti ini? Untuk apa juga aku membahagiakan perempuan aneh sepertinya?"
Setelah kata-katanya tadi, Takana kembali terdiam. Tanpa berkata apa-apa, Dylan pun kembali berbalik badan, lalu menekan tombol play untuk kembali memutar video Anime itu lagi.
Sementara di belakang, Dylan bisa melihat pantulan cermin kecil yang terletak di samping komputernya. Di sana, ia bisa melihat Takana seperti sedang memikirkan sesuatu. "Ah, tapi apa untungnya buatku jika aku mengetahui isi pikirannya?"
Seketika hening. Yang terdengar hanya suara dari komputernya yang sedang menayangkan Anime saja. Takana pun kembali memainkan Dakimakura miliknya.
Lalu tiba-tiba saja, Takana menyentakkan matanya dan secepatnya menengok ke samping kirinya. Ia menatap pintu kamar.
"Dia sudah datang."
*
*
*
To be Continued–
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Difana
ini grende horor ya
2020-06-26
0