Dua jam perbincangan Tuan dan Nyonya Sekar bersama Pak Alan membuat hatinya berbunga-bunga. Ada begitu banyak rencana di dalam hati mereka. Kali ini mereka yakin gadis yang mereka pilih bisa melelehkan hati putranya yang telah lama membeku. Atau tepatnya putri rekan bisnisnya, rekan yang ia kenal dua hari yang lalu.
"Pa, sepertinya kali ini takdir berpihak pada kita. Bagaimana pun caranya kita harus menjadikan putri pak Alan sebagai menantu kita. Hanya dengan memikirkan putri pak Alan membuat Mama merasa bahagia."
"Papa juga memikirkan hal yang sama, Ma."
"Sekarang yang jadi masalahnya, apa yang harus kita lakukan agar Refal menyetujui hubungan ini. Hilya sudah lama tiada, gadis itu bahkan membawa putra kita bersamanya."
"Hussss! Mama tidak boleh bicara seperti itu, Papa menyukai Hilya dan merasa sangat kehilangan dirinya. Apa pendapat Refal jika dia tahu kedua orang tuanya bicara buruk tentang gadis yang dia cintai."
Tanpa mereka sadari, Refal sedang berdiri di balik daun pintu. Mendengar dengan jelas setiap hurup yang sudah di rangkai menjadi kata-kata oleh kedua orang tuanya. Ada rasa sedih yang kini serasa menyempitkan pembuluh darahnya. Ia merasa seperti akan tiada.
Tok.Tok.Tok.
Refal pura-pura tersenyum sambil mendorong daun pintu yang sejati telah terbuka setengahnya.
"Kau belum tidur, Nak?" Nyonya Asa bertanya pada Refal yang saat ini telah duduk di samping kirinya.
"Kau terlihat rapi, apa kau akan pergi?" Sambung Nyonya Asa lagi, keningnya berkerut tak percaya.
"Ma. Refal minta maaf, Refal harus kembali ke kantor. Ada acara penting yang harus Refal hadiri besok pagi. Lain kali Refal usahakan agar bisa menginap."
"Apa kau mendengar percakapan Mama dan Papa? Seharusnya Mama tidak perlu bertanya, semuanya terlihat jelas di wajah mu." Ucap Nyonya Asa sambil memegang jemari putra berharganya.
Untuk sesaat kamar yang Pak Anton dan Nyonya Asa tempati terasa begitu senyap. Refal dan kedua orang tuanya hanya bisa saling menatap.
Murottal Al-Qur'an yang sejak tadi di putar dan di letakkan di atas nakas satu-satunya alasan ketiga orang itu merasakan ketenangan.
Sesungguhnya ada perasaan kecewa di hati Refal setelah mendengar percakapan kedua orang tuanya menyangkut Hilya, namun sebisanya ia berusaha menahan hatinya, mengontrol wajahnya agar tidak terlihat masam.
"Walau kau tidak setuju, Mama akan tetap melakukannya. Jika kau bertanya kenapa Mama melakukannya sementara kau tidak menginginkannya? Jawabannya sangat sederhana.
Mama dan Papa hanya ingin melihat mu bahagia. Karena kau tahu, Mama dan Papa juga tahu, orang yang tiada tidak akan pernah kembali lagi.
Biarkan kenangan Hilya mengisi lubuk hati terdalam mu. Tapi ingat, jangan biarkan kenangan itu mengganggu masa depan mu.
Mama janji padamu, Nak. Jika putri pak Alan tidak layak untuk mu, Mama sendiri yang akan menjauhkannya dari hidup mu." Ujar Mama Refal sambil tersenyum tipis, ada begitu bayak harapan yang terlintas di benaknya.
"Iya, nak. Kali ini Papa juga setuju dengan pendapat Mama mu. Lusa kami akan berkunjung kerumah Tuan Alan, jika gadis itu mirip seperti yang di katakannya maka kami tidak punya pilihan lain selain melamarnya untuk mu."
"Iya, lakukan jika hal itu membuat Mama dan Papa merasa tenang. Aku akan pergi sekarang." Ucap Refal pelan, wajah tampannya mengukir senyuman. Padahal sebenarnya darahnya terasa mendidih ingin menolak ucapan Kedua orang tuanya.
Refal meninggalkan kediaman Sekar dengan perasan campur aduk. Kecewa pada dirinya yang tidak bisa menolak, dan kesal karena keputusan kedua orang tuanya yang ingin menjodohkannya dengan wanita asing yang ia sendiri tidak pernah bayangkan walau dalam mimpi sekali pun.
...***...
Waktu menunjukan pukul 7.00 Saat Fazila keluar dari Mansion yang di tinggali oleh kedua orang tuanya. Seperti biasa, ia pergi hanya dengan menggunakan motor matik. Tidak ada tanda-tanda kesombongan atau keinginan untuk pamer dalam dirinya. Sungguh, kesederhanaan telah mengakar di dalam hati dan pikirannya.
"Ada apa disana? Kenapa anak-anak itu terlihat sedih?" Ucap Fazila sambil menepi.
Sebuah mini bus berhenti tepat di depan Musium pinggir jalan raya, lima anak berdiri dengan tongkat untuk penopang tubuh tak berdayanya, wajah mereka terlihat sedih dan hal itu berhasil mencuri perhatian Fazila.
"Assalamu'alaikum... Ada apa?" Fazila bertanya sambil melepas helm dari kepalanya.
"Wa'alaikumsalam, Nak." Balas perempuan separuh baya, wajahnya terlihat sedih.
"Ada apa, Bu?" Fazila kembali bertanya dengan pertanyaan yang ia tanyakan sebelumnya.
"Anak-anak ini ingin melihat Musium, mereka sangat bersemangat selama dalam perjalanan. Tapi lihatlah ini." Wanita separuh baya itu menunjuk kebawah. Ada selokan di depannya, di tutup dengan besi berbentuk persegi panjang berlubang. Sayangnya itu tidak akan mudah untuk di lewati oleh anak-anak manis itu. Jika nekat, justru tongkatnya lah yang akan tersangkut di tiap-tiap lubang selokan itu.
Fazila berusah berpikir logis cara apa yang bisa ia lakukan untuk membantu anak-anak itu, sampai akhirnya ia menemukan sebuah ide yang terkesan aneh namun bermanfaat.
Fazila berjalan menuju gerbang, membukanya lebar kemudian meminta ke lima anak itu meletakkan kaki mereka di gerbang yang sudah Fazila buka, berdiri di gerbang sambil berpegangan. Sedetik kemudian Fazila mulai mendorong gerbang itu hingga masuk ke dalam.
"Wah... Nak, terima kasih. Kau menyelesaikan masalah kami dengan sangat mudah. Tadinya kami berencana akan kembali. Sungguh, Ibu benar-benar berterima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan mu dengan berlipat ganda." Ucap wanita separuh baya itu sambil menggenggam erat jemari Fazila.
"Ibu tidak perlu berterima kasih, itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai seorang manusia untuk selalu tolong menolong." Balas Fazila sambil melipat kedua tangan di depan dada, memberikan isyarat kalau dia akan pergi karena ini sudah sangat terlambat.
Gadis manis yang berdiri di dekat gerbang memanggil Fazila dengan isyarat mata, ia berdiri menggunakan penopang.
Dunia itu indah jika kita memandangnya dengan indah, sama seperti anak-anak manis yang berdiri di depan Fazila saat ini, wajah mereka di penuhi dengan senyuman. Tidak ada yang tercipta tidak sepurna, hanya pikiran buruk manusia yang memandang orang lain rendah saat mereka berpikir mereka di lebihkan dalam harta dan keturunan.
Muachhh!
Sebuah ciuman mendarat di pipi kiri Fazila.
"Mmmm! Manisnya!" Ucap Fazila singkat sambil memegang dagu anak Tunarungu itu.
Sedetik kemudian Fazila pergi setelah berpamitan dengan Ibu pengurus panti, anak-anak manis itu bahkan melambaikan tangan padanya. Tanpa ia sadari sepasang mata menatapnya dari kejauhan, ada perasaan takjub yang membuncah dari orang itu sampai ia berdoa pada yang Kuasa agar putranya di karuniai pasangan sebaik wanita yang membuatnya merasa takjub saat melihat kebaikannya pada pandangan pertama.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments