"Ada apa Pak? Apa ada hal yang baik?"
"Iya, Bima. Hal yang baik akan terjadi. Kau berkesempatan meminta maaf pada wanita itu. Maksud ku, wanita yang kau tabrak. Undangan ini berasal dari kampus tempat wanita itu mengajar."
"Dari mana Bapak tahu dia mengajar di kampus itu? Apa Bapak yakin?"
"Iya, aku sangat yakin. Aku tahu dia mengajar disana dari tas yang kau temukan di tempat kejadian. Kita harus mengembalikan tas wanita itu, aku yakin dia pasti mencari tasnya."
"Apa saya perlu menghubungi pihak kampus agar menyiapkan pengamanan buat Bapak?"
"Tidak perlu. Itu kawasan pendidikan, tidak ada yang akan melakukan kekerasan." Timpal Pak Gubernur sambil menatap netra Asistennya.
"O iya Pak, Mama anda menelpon. Beliau meminta Bapak pulang, malam ini ada tamu penting yang akan berkunjung kerumah."
"Siapkan mobil, kita akan pulang sekarang. Minta juga semua orang untuk pulang, aku tidak ingin ada yang lembur sementara aku enak-enakan di rumah."
"Baik, Pak."
Sedetik kemudian, asisten itu keluar dari kantor Pak Gubernur sambil membungkukkan badan. Ia berjalan mundur tanpa menoleh kekanan dan kekiri.
"Mas Bima, apa kata Pak Gubernur? Apa beliau akan pergi ke kampus itu? Aku rasa Bapak tidak akan pergi karena menurutnya itu hanya akan membuang-buang waktu."
"Anda salah pak Nazib, Pak Gubernur tidak seburuk itu. Beliau sudah memutuskan akan pergi. Dan satu lagi, kita semua boleh pulang. Bapak tidak mengizinkan siapa pun lembur malam ini."
"Pak Refal benar-benar manis, aku berharap malam ini beliau datang kedalam mimpiku."
"Hus! Jangan bicara seperti itu, jika Pak Gubernur mendengar ucapan mu, kau akan berakhir bahkan sebelum dia sampai di depan pintu rumahmu." Ucap Bima sambil tersenyum.
Baru saja Bima menyelesaikan kalimatnya, sang Gubernur yang ia bicarakan sudah berdiri di belakangnya. Tatapannya tajam, seolah tatapannya akan menguliti orang-orang yang berani bicara omong kosong tentang dirinya.
"Apa kalian sudah selesai bicara? Jika sudah kalian boleh pulang. Dan satu lagi, aku tidak akan datang kedalam mimpi mu." Ucap Pak Gubernur sok judes, padahal sebenarnya dia tidak sekasar atau sekejam itu.
"Ayo kita pergi." Sambung Pak Gubernur lagi.
"Baik, Pak." Balas Bima sambil merunduk.
Refal tersenyum tipis pada bawahannya kemudian pergi mengikuti langkah Bima yang akan membawanya menuju kediaman orang tuanya.
...***...
Hahaha...!
Dari depan pintu Refal bisa mendengar dengan jelas suara gelak tawa kedua orang tuanya. Entah apa yang mereka bicarakan sampai membuat mereka sebahagia itu. Tanpa berpikir panjang Refal langsung berjalan menuju ruang tengah, tempat semua orang berkumpul.
"Ma. Pa. Refal, pulang." Ucap Refal sambil berjalan mendekati kedua orang tuanya. Tidak ada salaman atau sekedar basa-basi, Refal langsung memeluk Mama dan papanya secara bergantian.
"Kenapa Mama meminta ku pulang? Aku punya banyak pekerjaan."
"Nak, Mama meminta mu pulang karena Mama ingin mengenalkan mu dengan rekan bisnis Papa. Lebih dari itu, Mama sangat merindukan mu." Ucap Mama Refal sambil menangkup wajah putra tampannya.
Untuk sesaat ruang tengah di kediaman Sekar terasa senyap karena Refal menatap heran pada rekan bisnis Papanya. Bagaimana tidak? Ia merasa seolah pernah melihatnya di suatu tempat dan dia merasa dekat.
"Perkenalkan, nama ku Alan Wijaya. Sebulan yang lalu kita pernah bertemu di Hotel, kita bahkan saling bicara. Apa kau ingat?" Pak Alan bertanya pada Refal yang saat ini masih menjabat tangannya.
"Ahhh iya, saya ingat Pak. Waktu itu anda bilang usia adalah titipan, manfaatkan usia sebaik mungkin agar tidak ada penyesalan di hari kemudian. Anda juga bilang tinggalkan masa lalu yang menyakitkan, walau sulit tetaplah membuka diri untuk hari yang lebih membahagiakan. Bukan begitu?" Refal bertanya sambil tersenyum, selama ini ia mengidolakan sosok berkarisma yang ada di depannya ini. Syukurlah, berkat yang Kuasa mereka akhirnya kembali bertemu di tempat tak terduga.
"Mari, sebaiknya kita makan malam saja dulu. Setelah itu kita bisa mengobrol lagi." Ujar Papa Refal sambil menepuk bahu putranya pelan.
Tidak ada bantahan dari semua orang, bahkan Pak Alan hanya mengangguk di barengi dengan senyuman.
...***...
Lima belas menit berlalu sejak makan malam usai, perbincangan hangat di ruang tengah kediaman Sekar masih berlangsung dan terasa begitu menenangkan, setidaknya itu yang di rasakan Refal. Wajah tampannya bahkan tak berhenti mengukir senyuman.
"Pak Alan, dia putra sulung kami. Karena sangat terikat dengan pekerjaannya, dia sampai tidak memperdulikan apa pun.
Sebagai pegawai pemerintah yang jujur dan pekerja keras, dia bahkan lupa jalan pulang. Dalam sebulan, dia hanya bisa pulang kerumah sekali. Sisanya, dia memilih tinggal di rumah dinas. Karena itu aku ingin segera mencarikan jodoh untuknya." Keluh Mama Refal di depan Pak Alan, rekan bisnis suaminya.
"Nyonya Asa, anda tidak perlu memaksa Nak Refal jika dia belum siap untuk menikah. Anak-anak memang selalu seperti itu, mereka tidak suka di paksa untuk hal yang tidak ingin mereka lakukan.
Putri ku juga sama, dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai dia jarang pulang dan memutuskan tinggal di tempat kerjanya." Ucap Pak Alan membela Refal.
"Nak Refal Gubernur yang luar biasa, tidak akan sulit menemukan jodoh terbaik untuknya." Sambung pak Alan lagi.
Mendengar ucapan pria yang seusia dengan Papanya membuat Refal merasa bahagia. Akhirnya setelah sekian lama ada juga yang membelanya. Biasanya Mamanya selalu ngeyel dan bertanya, kapan menikah? Apa Mama mengenal gadis itu? Dia berasal dari mana? Apa pekerjaannya? Selalu saja pertanyaan yang sama dan hal itu membuat Refal malas pulang kerumah yang di tempati oleh kedua orang tuanya dan adik-adiknya.
"Dengar itu, Ma. Mama tidak perlu memaksa Refal. Jika waktunya sudah tepat, Refal pasti akan mengenalkan calon menantu Mama."
Cihhh! Nyonya Asa berdecih mendengar ucapan putranya. Maklum saja, ini bukan yang pertama kalinya Refal mengucapkan ucapan yang sama. Dua tahun berlalu namun komentar yang ia layangkan masih saja sama, tak berubah.
"Memang Pak Alan punya putri juga? Berapa usianya? Dan apa pekerjaannya? Apa dia sudah menikah? Jika belum, bagaimana kalau kita jodohkan saja dengan Refal?" Nyonya Asa menyerbu Pak Alan dengan pertanyaan-pertanyaan menuntutnya.
Refal hanya bisa menghela nafas melihat tingkah Mamanya, sikapnya seperti ibu-ibu yang putus asa karena menginginkan cucu dengan segera. Sayangnya Refal tidak bisa menghentikan Mamanya karena dia tidak ingin menentang ucapannya.
"Ma... Malu ahhh. Pak Alan itu rekan bisnis Papa, masa iya Mama juga mau menjadikan beliau besan kita. Pak Alan tidak akan mau." Ucap Pak Anton, Papa Refal.
Lagi-lagi Refal hanya bisa menghela nafas mendengar ucapan Papanya.
Mama ingin menjodohkan ku dengan putri Pak Alan, aku berharap dia akan menolaknya. Tapi, tunggu sebentar. Memangnya apa kurangnya diriku sampai dia akan menolak ku? Aku tampan! Pekerjaanku juga sangat bagus. Celoteh Refal di dalam hatinya.
Tidak ada balasan dari Pak Alan selain senyuman menawan. Refal sendiri tidak bisa menebak makna tersembunyi di balik senyuman itu. Apa dia akan menolak? Atau justru sebaliknya, akan setuju? Entahlah, hanya Pak Alan yang bisa menjawab pertanyaan itu.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments