Waktu terus berjalan dengan kondisi Nayaka yang sedikit mengalami perubahan. Ia mendapat pekerjaan magang di sebuah perusahaan yang membuat sepatu, tas, aksesoris serta lainnya. Libra Vutton. Sebuah perusahaan ternama yang memproduksi barang branded yang tersebar di seluruh dunia.
Sementara Delilah tidak lagi mengikuti kursus setelah kandungannya mencapai usia enam bulan. Ia terus diam di apartemen menyembunyikan kehamilannya.
Bagai bermain kucing-kucingan, ia terus memutar otak agar terus bisa berbohong jika keluarga menanyakan tentang keadaannya. Kini usia kandungannya mencapai sembilan bulan dan musim gugur telah berganti salju.
Dokter mengatakan ia akan segera melahirkan bulan depan, tetapi Delilah ingin anak dalam kandungannya lekas lahir. Ia lelah bersembunyi dan tidak bergaul bersama teman sebayanya. Tidak jarang Nayaka menjadi sasaran amarahnya. Mau bagaimana lagi? Mereka sepakat untuk membesarkan anak itu.
Pintu apartemen terbuka. Nayaka baru masuk, tetapi disambut dengan sebuah lemparan bantal sofa. Sudah biasa bagi Nayaka mendapat perlakuan seperti itu. Delilah marah karena merasa kesepian.
"Sudah makan?" tanya Nayaka.
Delilah mengentakkan kaki, lalu masuk kamar. Nayaka cuma bisa menghela napas panjang terlebih melihat kondisi apartemennya yang berantakan.
"Dia marah lagi," gumam Nayaka sembari melepas sepatu serta baju hangatnya.
Tanpa berganti pakaian lagi, ia langsung membereskan apartemen dan memasak makanan untuk sang kekasih. Sungguh Nayaka sangat lelah, tetapi demi Delilah ia ikhlas melakukan semuanya.
Selesai memasak dan membereskan apartemen, Nayaka membersihkan kamar mandi dan toilet. Setiap hari seperti itu karena ia tidak ingin lantai marmer licin dan membuat Delilah terjatuh.
"Sayang," seru Nayaka. "Makanannya, sudah siap, nih."
Delilah keluar kamar setelah mendengar panggilan itu. Wajahnya tidak enak dipandang, tetapi Nayaka tetap tersenyum.
"Marah kenapa lagi?" tanya Nayaka.
"Aku bosan di apartemen. Kakak berhenti kerja saja. Temani aku di sini."
"Mau jalan-jalan?" tanya Nayaka dengan mengalihkan topik dari pekerjaan.
"Memangnya bisa? Aku malas untuk keluar di musim dingin," kata Delilah.
"Besok Kakak libur. Malam ini kita nonton film saja," usul Nayaka.
"Aku maunya Kakak selalu ada di sampingku. Kalau aku tiba-tiba melahirkan, bagaimana?"
"Ya, kan, aku harus kerja, Del. Ini demi kita juga."
"Berapa, sih, Kak, gaji karyawan magang itu? Jangan sok punya gaji besar, deh," cerca Delilah.
"Aku harus melakukan apa supaya dapat gaji besar? Aku bukan pengusaha."
"Otakmu itu dipakai. Bikin apa, kek. Kreatif dikit, dong."
Nayaka terdiam atas perkataan Delilah. Sudah biasa sang kekasih mengucapkan hal yang menyakitkan. Nayaka bisa apa tanpa modal untuk membuka usaha. Mungkin Delilah benar jika ia kurang kreatif.
"Kau makan saja dulu. Aku mau pergi laundry pakaian," kata Nayaka.
"Jangan lama-lama," ucap Delilah.
Nayaka kembali memakai jaket tebal kemudian keluar dari apartemen. Satu jam berlalu, Nayaka belum juga kembali. Delilah merasakan sakit di pinggang yang tiba-tiba. Ia duduk gelisah di sofa panjang. Sakit yang ia derita menghilang, lalu kembali beberapa saat lagi.
"Ke mana, sih, Kakak?" ucapnya berang.
Delilah mencoba menghubungi Nayaka, tetapi sang kekasih tidak mengangkat panggilan telepon darinya.
"Nih, pinggang kenapa sakit, sih?" kata Delilah.
Delilah mengurut pinggangnya. Sakit itu menjalar ke perut bagian bawah, seperti kram. Ia lekas bangun dari sofa menuju toilet. Delilah mencoba mengejan, tetapi tidak ada kotoran yang keluar.
Suara Nayaka terdengar. Delilah berteriak memanggil nama kekasihnya. "Kakak! Cepat kemari."
Mendengar suara kekasihnya, Nayaka lekas menyusul ke kamar mandi. Ia kaget melihat Delilah yang terduduk di toilet.
"Kenapa? Enggak bisa buang air?" tanya Nayaka.
Delilah menggeleng. "Sakit pinggang."
"Sekarang gimana?" tanya Nayaka lagi.
"Tiba-tiba sakitnya."
"Coba bangun dulu. Biar Kakak pijat pinggangnya."
Delilah membersihkan miliknya dulu setelah itu beranjak dari sana dengan dipapah Nayaka. Keduanya ke kamar. Delilah merebahkan diri di tempat tidur dengan posisi menyamping. Sementara itu Nayaka memijat pinggang kekasihnya dengan minyak kayu putih. Untungnya minyak itu dijual di toko Asia dan Nayaka tidak pernah lupa membelinya.
"Enak banget," kata Delilah.
"Tidur, ya," ucap Nayaka.
Delilah mengangguk. Kemudian memejamkan matanya. Nayaka ikut merebahkan diri di samping kekasihnya. Tubuh yang lelah membuatnya lekas terlelap.
Tidak lama Delilah terbangun sebab ia merasakan sakit yang sama. Ia meringis dengan sesekali memijat punggung bawahnya.
"Sakit," kata Delilah lirih.
"Sakit lagi?" tanya Nayaka yang ikut terbangun.
"Kayaknya aku mau melahirkan, Kak."
"Melahirkan?" tanya Nayaka.
"Bawa aku ke rumah sakit," kata Delilah.
"Sabar, Sayang. Aku telepon ambulan dulu."
Nayaka bergegas menelepon ambulan. Di luar salju tengah turun. Lebih aman jika memanggil ambulan untuk membawa Delilah ke rumah sakit. Tas persalinan yang telah disiapkan di keluarkan dalam lemari. Nayaka juga memberi Delilah pakaian tebal.
"Masih bisa jalan?" tanya Naya.
Delilah mengangguk. "Iya. Ayo, kita turun. Tapi, Kak. Bawa aku ke kamar mandi. Seperti ada yang keluar."
Nayaka membantu Delilah dulu ke kamar mandi. Benar saja. Ada suatu gumpalan yang keluar. Setelah itu keduanya keluar dari apartemen dan menunggu petugas yang akan datang di lobby. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mendengar suara sirene ambulan karena rumah sakit juga tidak terlalu jauh. Pelayanan di sana memang bagus untuk masalah darurat.
"Tolong kekasihku," ucap Nayaka kepada petugas kesehatan yang datang.
Udara di luar begitu dingin. Musim salju tengah berada di puncaknya. Nayaka masuk bersama Delilah ke dalam mobil dan sopir lekas mengendarai kendaraan darurat menuju rumah sakit.
Sesampainya di sana, Delilah segera masuk ke dalam kamar tindakan. Rasa sakit semakin dirasakan, tetapi dokter tetap menunggu sampai pembukaan akhir.
Waktu yang ditunggu tiba. Dokter mulai memberi instruksi setelah pembukaan akhir tentunya. Di sampingnya ada Nayaka yang setia menemani. Pegangan tangan erat serta kata-kata semangat diberikan.
Delilah menarik napas dalam-dalam. Sembari membuang napas, ia mendorong tubuh dengan mengejan layaknya buang air besar. Beberapa kali hingga tangisan bayi terdengar.
"Baby girl," ucap Dokter wanita.
Nayaka memeluk Delilah yang masih terengah-engah. "Bayi perempuan, Sayang."
Delilah cuma mengangguk karena tenaganya sudah terkuras habis. Dokter melanjutkan perawatan sementara sang bayi dibersihkan sebelum diberikan kepada ibunya.
Nayaka keluar ruangan dulu. Setelah semuanya selesai barulah ia kembali masuk menemui Delilah. Bayi mungil itu tengah berada di tubuh sang ibu. Mencari-cari sumber kehidupannya. Tangannya yang kecil membelai kulit Delilah, sedangkan mulutnya yang kecil menangis karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan.
Delilah tersenyum ketika sang bayi menemukan miliknya. Rasanya geli dan berbeda ketika sang ayah yang mencucupnya.
"Dia haus setelah keluar," ucap Nayaka.
"Ini geli," kata Delilah.
"Dia kecil dan imut. Kita beri nama siapa putri kecil ini?"
Delilah tampak berpikir. "Kyomi Violetta."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Neng Luthfiyah
msh kesel sm sifat delilah yg sombong pdhal selalu diajarkan kelembutan sm keluarganya,,
2024-10-10
1
Larasati
kasihan jg ya sama Nayaka ,sesabar itu ngadepin delilAh 😢
2024-10-03
0
tria ulandari
kok aku yg sedih ya 😫
2022-07-05
0