"Sayang, makananmu sudah siap. Aku juga sudah potong buah," ucap Nayaka sembari berjalan ke kamar.
Ia membuka pintu. Delilah tengah tertidur pulas di atas tempat tidur. Nayaka menghampiri sang kekasih dan duduk di sisi petiduran. Ia usap puncak kepala Delilah.
Nayaka juga tidak mengira jika Delilah hamil. Selama hampir setahun tinggal bersama memang keduanya baru melakukan hubungan itu empat kali. Setidaknya saat Delilah menginginkannya. Nayaka sendiri tidak berani meminta maupun menolak keinginan gadis itu. Delilah adalah segalanya. Jika Delilah memintanya terjun dari jembatan London, maka Nayaka akan melakukannya.
"Sayang," bisik Nayaka.
Delilah bergumam. Perlahan bulu mata lentik itu bergerak. Delilah membuka mata perlahan dan memandang Nayaka di depannya. Delilah tersenyum, ia meraih tangan sang kekasih, lalu menempelkannya ke pipi. Hangat dan Delilah suka itu.
Nayaka tampan. Alisnya tebal, hidung mancung dengan garis tulang pipi yang tegas. Tubuh tinggi dan berkulit putih. Nayaka berdarah arab dan Amerika keturunan dari ayahnya. Sayangnya tubuh itu tidak berotot. Nayaka begitu kurus dan sebenarnya buka tipe dari Delilah. Namun, begitu dekat dengan Nayaka terasa nyaman.
Delilah juga tidak suka Nayaka yang gampang tertindas. Nayaka selalu bilang jika ia tidak ingin membuat masalah dengan anak-anak di kampus. Ia ingin belajar dan lulus dengan cepat. Di kampus, Nayaka hanya sendiri. Dia tidak punya teman. Ada pun sesama kutu buku.
Sampai Delilah merasa ia sangat buta bisa menyukai pria seperti Nayaka. Di luar sana mereka tidak saling kenal. Delilah malu bila teman-temannya sampai tahu jika ia memiliki hubungan bersama Nayaka.
"Aku sudah siapkan makanan," ucap Nayaka.
Pandangannya menurun ke perut rata Delilah. Nayaka memandang sang kekasih. Ia ingin mengusap janin yang ada di dalam sana, tetapi takut Delilah akan marah.
Delilah tertawa. "Kau ini sungguh penakut."
Nayaka menunduk. "Aku cuma tidak ingin kau marah."
"Buka bajumu. Aku menginginkanmu sekarang."
Nayaka tersentak. "Aku harus kerja sekarang. Nanti malam saja."
Delilah mengecup telapak tangan kekasihnya. "Ayolah, Kak. Aku menginginkannya. Tubuhmu membuatku ketagihan."
"Tapi, Del. Kau lagi hamil. Kalau terjadi apa-apa bagaimana?"
Delilah tersenyum. Sungguh Nayaka adalah pria penakut. Pantas saja sangat mudah untuk ditindas begitu saja.
"Kapan kau akan berubah? Aku menginginkan seorang kekasih yang kuat. Bisa melindungiku dan membuatku merasa aman," ucap Delilah.
"Aku akan berusaha," sahut Nayaka.
"Ayo, Sayang. Aku menginginkanmu. Kau tidak ingin aku kecewa, kan?"
"Tapi, Del."
"Kau tidak ingin melakukannya?" suara Delilah sudah meninggi.
Nayaka mengangguk. "Jangan marah, Del. Aku mau melakukannya."
"Cepat, buka bajumu!"
Nayaka bangun dari duduknya. Ia membuka habis pakaian yang dikenakan, lalu membantu Delilah melepas bajunya. Nayaka melaksanakan perintah Delilah. Memuaskan hasrat dari wanita itu.
"Jangan malu-malu, Kak. Perlakukan aku semaumu," bisik Delilah sembari mengigit daun telinga Nayaka.
"Sayang," ucap Nayaka.
"Iya, Sayang. Terus di sana. Hentak dengan kuat."
Kurus begitu, tetapi permainan Nayaka begitu memuaskan. Delilah selalu menginginkannya lagi dan lagi. Karena hal itu juga ia sampai kebablasan.
Nayaka menarik napas panjang. Tubuh berkeringat serta napas yang terengah menandakan ia telah bekerja keras. Delilah memeluknya dari belakang, lalu mengecup pipinya.
"Terima kasih, Sayang," ucap Delilah.
"Kamu makanlah dulu. Aku harus berangkat kerja."
"Kita mandi bersama."
"Aku akan dipecat jika terlambat."
"Kau bilang mendapat pekerjaan paruh waktu lagi," kata Delilah.
"Aku harus menyiapkan uang buat kelulusan dan kembali ke Indonesia," ucap Nayaka.
"Kekasihmu ini yang akan membayar semuanya."
Nayaka menggeleng. "Jangan, Del. Aku ingin usaha sendiri."
Delilah berdecih, "Harga dirimu terlalu tinggi. Mau kau berusaha bagaimanapun tetap tidak mengubah keadaan. Kau memang penerima sumbangan."
"Aku tau, Del. Jangan selalu diingatkan. Aku tau diri, kok."
Nayaka memungut pakaiannya, lalu masuk kamar mandi. Delilah kembali merebahkan diri. Ia sama sekali tidak merasa bersalah telah mengucapkan kata-kata seperti itu. Memang kenyataannya begitu. Buat apa harus merasa bersalah.
Tidak lama Nayaka keluar kamar mandi dengan pakaian rapi. Ia akan bekerja di restoran yang buka sampai larut malam nanti.
"Aku pergi dulu. Kamu jangan lupa makan," ucap Nayaka.
"Iya, jangan lupa kunci pintunya."
Nayaka keluar rumah dan berjalan kaki menuju restoran tempatnya bekerja. Ada alasan kenapa ia bekerja mati-matian. Nayaka ingin mengembalikan semua pemberian ayah Delilah. Ia tidak ingin lagi sang kekasih mencercanya. Ia akan buktikan jika ia bisa hidup tanpa bantuan dari Delilah dan keluarga.
Namun, tidak tahu kapan ia bisa mengembalikan semuanya. Terlalu banyak dan Nayaka tidak yakin bisa membayarnya. Sekarang ia dihadapkan lagi pada sebuah kehidupan. Nayaka harus bertanggung jawab atas janin yang ada di dalam kandungan Delilah.
Nayaka mengusap wajahnya. "Semangat Nayaka," ucapnya.
*****
Memakan waktu hampir dua minggu untuk mengurus kepindahan mereka ke Paris. Tiket hotel dan kereta harus diganti untuk keberangkatan selanjutnya. Mengurus cuti kuliah cukup merepotkan.
Sementara Nayaka hanya izin beberapa hari saja. Ia akan mengantar Delilah dan mencari tempat tinggal. Nayaka harus menunggu kelulusan untuk bersama Delilah. Hanya dua bulan lagi dan mereka akan bersama.
"Aku berangkat dulu, kamu menyusul saja nanti," kata Delilah.
Nayaka mengangguk. "Aku sudah pesan taksi. Sebentar lagi akan tiba."
"Tetaplah di dalam sini sampai aku naik taksi. Koperku biar sopir taksi saja yang bawa."
"Tunggu aku di stasiun," ucap Nayaka.
"Aku tidak akan pergi tanpamu," sahut Delilah.
Taksi yang dipesan tiba. Sesuai permintaan Delilah, Nayaka cuma berdiam diri di dalam rumah sembari menatap sang kekasih masuk mobil taksi.
Setelah kendaraan itu berlalu, Nayaka kembali memesan taksi untuk dirinya. Ia akan pergi menyusul Delilah ke stasiun kereta. Sebenarnya bisa saja keduanya pergi bersama, tetapi Delilah mengatakan untuk berjaga-jaga saja. Takutnya ada seorang kenalan yang memperhatikan. Bagaimanapun Delilah tidak akan mengaku jika ia punya hubungan bersama Nayaka.
Sesampainya di stasiun, Nayaka segera menemui Delilah. Sang kekasih memang tengah menunggunya dan kereta cepat pun datang. Keduanya masuk dan siap menuju negara Paris untuk kehidupan baru.
"Saat di sana, aku harus mendaftar kursus mendesain. Ini hanya untuk pura-pura saja," ucap Delilah.
"Saat di sana berhati-hatilah. Aku akan datang bulan depan," kata Nayaka.
"Enggak salah ucapanmu? Bukannya aku yang selalu melindungimu dari pembulli."
"Aku sudah lihat beberapa iklan apartemen yang disewakan. Kau tinggal pilih saja," ucap Nayaka mengalihkan pembicaraan.
"Cari yang biasa saja. Saat di sana kita harus ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan," kata Delilah.
Nayaka mengangguk. "Aku memang berencana seperti itu, Sayang."
Delilah merebahkan kepalanya di pundak Nayaka. Ia memejamkan mata sembari menunggu kereta yang akan sampai beberapa jam lagi. Nayaka setia menjadi sandaran. Dari dulu ketika Delilah kehilangan orang tua sampai sekarang.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Neng Luthfiyah
bisa gtu sih delilah gk inget pesan papahnya sblm meninggal🤔
2024-10-10
0
Erly Mimi Bisma
delilah jd berubah krn kurang kasih sayang dari orang tua
2024-10-15
0
Larasati
delilAh padahal kedua orang tuamu gak kaya gitu kenapa kamu jadi wanita egois
2024-10-03
0