Akhirnya, Delilah dan Nayaka tiba di Paris. Keduanya menuju hotel yang telah dipesan untuk beristirahat. Delilah lebih dulu merebahkan diri di atas tempat tidur, sedangkan Nayaka sibuk mencari apartemen di wilayah sana melalui iklan di internet.
"Sayang, apa sebaiknya kita pindah ke kota Nantes? Di sana biaya hidup lebih murah," kata Nayaka.
Hidup di kota metropolitan seperti Paris memerlukan biaya hidup yang tinggi. Di kota kecil seperti Nantes, biaya hidup agak lebih murah. Nayaka bisa menyewa rumah atau apartemen sederhana dengan uang hasil kerjanya.
"Enggak bisa. Kita harus tetap berada di Paris. Tempat kursus itu ada di sini. Lagian aku yang bayar sewanya per tahun. Kau jangan khawatir," sahut Delilah.
Rencananya Delilah akan mengikuti kursus agar keluarganya percaya jika selama di Paris, ia benar-benar belajar. Kedok itu akan dijadikan tameng untuk menyembunyikan kehamilannya.
Paris akan masuk musim gugur. Dengan begitu, ia bisa menyembunyikan kehamilan dengan mengenakan baju tebal. Delilah memperkirakan ia melahirkan di akhir musim salju nantinya.
"Coba kamu lihat apartemen ini. Cuma ini yang bisa kudapatkan," ucap Nayaka sembari memberikan ponselnya.
Delilah melihat beberapa apartemen serta fasilitas yang berada di dalamnya. Apartemen paling murah sekitar sebelas juta per bulan jika dirupiahkan. Belum biaya makan, listrik, internet serta transport. Bagi Delilah itu bukan masalah, tetapi bagi Nayaka sekali lagi harga dirinya terluka. Ia akan terus menumpang hidup dengan Delilah.
"Kita pilih di jalan Marais saja. Besok kita ke sana melihat-lihat. Sekarang aku tidur dulu. Capek banget," ucap Delilah.
"Mau makan apa?" tanya Nayaka.
"Cari saja yang menurutmu enak. Aku mau makan apa saja."
"Aku keluar sebentar cari makanan."
Delilah menanggapi dengan deheman. Merebahkan kepala di atas bantal, lalu menarik selimut sampai batas leher. Nayaka cuma bisa menggelengkan kepala melihat itu. Delilah hamil, tetapi seperti tidak sedang mengandung. Dia tidak mengidam seperti kebanyakan wanita hamil biasanya.
Nayaka keluar dari kamar hotel. Ia akan berjalan-jalan sekitar sembari mencari lowongan kerja untuk kedatangan berikutnya. Ia akan lulus setelah itu pulang ke Jakarta mencari pekerjaan di sana. Rasanya tidak sabar untuk itu. Ia merindukan tanah kelahirannya. Bersama Delilah dan buah hatinya. Mereka akan hidup bahagia.
Roti juga buah yang bisa Nayaka beli dengan uang yang ia punya. Juga dua botol air mineral untuk berdua. Makanan siap saji begitu mahal dan lebih bagus bisa memasak makanan sendiri. Tapi mereka berada di Paris. Nayaka tidak bisa memasak makanan untuk sang kekasih. Uang yang diberikan Delilah memang ada, tetapi Nayaka ingin buah hatinya merasakan makanan yang ia beli dengan uang hasil keringatnya.
Saat Nayaka tiba di kamar hotel, Delilah sudah bangun dan mandi. Nayaka langsung saja memberikan roti gandum dan air mineral untuknya.
"Aku cuci dulu buahnya," ucap Nayaka sembari berjalan ke kamar mandi.
Delilah menggeleng melihat makanan yang dibeli Nayaka. "Padahal aku sudah memberinya uang. Tetap saja membelikanku makanan ini dengan uangnya sendiri."
Nayaka keluar dengan membawa buah apel yang telah bersih. Ia memberikan itu kepada Delilah untuk dimakan sementara ia cuma melihat.
"Sungguh ingin jadi pengemis? Kenapa tidak membeli untukmu juga?" ucap Delilah.
"Enggak, kok. Aku masih belum lapar," kilah Nayaka, lalu mengambil sebotol air mineral dan meneguknya.
"Jangan terlalu memaksakan diri, Kak. Aku sangat muak akan tingkahmu ini."
Dua buah roti gandum dan tiga buah apel serta dua botol air mineral. Hanya itu yang Nayaka beli. Khusus untuk kekasihnya saja, sedangkan ia juga kelaparan.
"Makan saja roti itu. Aku pesan makanan di resto saja," ucap Delilah.
"Jangan, Sayang. Makan roti ini biar anak kita merasakan juga," kata Nayaka.
"Jadi, kau membeli ini untuk anakmu?"
"Biar dia tau pemberian ayahnya," jawab Nayaka.
Delilah tersenyum. "Baiklah, tapi ayahnya harus makan juga. Kita bagi saja. Aku tidak kuat menghabiskannya."
Nayaka mengangguk kemudian ikut makan bersama. Selesai makan bersama, Nayaka mengeluarkan hadiah dari saku celana. Sebuah gelang rantai perak yang terdapat inisial nama Delilah.
"Sayang, aku punya hadiah untukmu," ucap Nayaka.
"Oh, ya. Gelang itu?" tanya Delilah.
"Ini cuma gelang perak. Aku memberikannya tulus."
Delilah tertawa kecil. "Kakak, kau masih saja malu-malu. Jangan takut padaku. Aku tidak akan marah. Pakaikan di tanganku."
Delilah mengulurkan tangannya. Nayaka dengan senang hati memakaikan gelang itu di pergelangan tangan sang kekasih. Ia memberanikan diri mengusap perut rata Delilah. Menundukan kepala untuk bisa mengecupnya.
"Apa yang kau lakukan?" ucap Delilah.
Nayaka tersentak. "Maaf, aku cuma ingin menyentuhnya."
Delilah tertawa. "Ya, ampun. Aku cuma bercanda. Lakukan apa pun yang kau mau. Aku kekasihmu."
Nayaka tersenyum. "Iya, Sayang."
Selalu saja ada kata permintaan maaf. Nayaka sudah terbiasa mengatakannya sedari hidup tersiksa. Dia tidak boleh berbuat salah kalau tidak sang ayah akan memukulinya. Nayaka adalah korban kekerasan dalam keluarga. Meski Delilah sudah memberi banyak nasihat tetap saja Nayaka bersikap seperti itu.
"Kakak bersih-bersih dulu. Aku akan tunggu di atas tempat tidur," bisik Delilah.
"Kau ingin lagi?"
"Mumpung kita di Paris. Kita tidak boleh melewatkan moment romantis ini, kan?" ucap Delilah.
Nayaka mengangguk. "Baiklah, aku mandi dulu."
Selesai membersihkan diri, Nayaka melayani Delilah. Ia memperlakukan sang kekasih begitu lembut. Nayaka tidak ingin sampai terjadi hal tidak diinginkan pada kandungan Delilah.
"Iya, Sayang. Kuat sedikit," pinta Delilah.
Nayaka mengecup bibirnya. "Kasihan anak kita, Sayang."
"Aku tidak tau, kenapa selalu mengingingkanmu," ucap Delilah yang kembali memagut bibir Nayaka.
Nayaka membalik posisi mereka. Delilah berada di atas dan bergerak seiring irama tubuhnya. Pelan, tetapi menghunjam dengan kedua tangan Nayaka menangkup dua sisi kelembutannya.
Delilah jatuh di atas tubuh Nayaka. Ia mencapainya. Kakinya tidak sanggup lagi untuk menopang tubuh dalam gerakan turun naik tanjakan. Napasnya terengah kelelahan. Nayaka memutar kembali posisi. Mengambil alih kendali untuk pelepasannya. Keluar masuk dalam tempo sedikit cepat.
"Sudah puas?" tanya Nayaka.
Delilah mengangguk. "Biar aku istirahat dulu."
Nayaka mengecup kening kekasihnya, lalu kecupan itu turun ke perut rata Delilah. "Sayang, baik-baik di dalam sana. Maaf, ya, Papa selalu mengguncangmu."
"Dia yang minta," kata Delilah.
Nayaka membawa Delilah dalam dekapannya. "Mama suka fitnah padahal mamanya yang kepengen."
Delilah tertawa. "Sungguh! Aku ingin terus ditiduri olehmu. Mungkin karena dia juga."
"Istirahatlah. Jangan sampai kelelahan."
"Aku memang sudah lelah dan kau penyebabnya. sahut Delilah sembari tertawa.
"Aku hanya menuruti permintaan kekasihku. Sekarang, tidurlah," ucap Nayaka.
Delilah memejamkan mata. Nayaka kembali mendaratkan kecupan di kening sang kekasih. Kemudian ikut menutup mata sampai mimpi mengambil alih.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Carlina Carlina
knp ga d nikahin dulu thor😌😌
2023-10-31
1
Zamie Assyakur
kasihan nayaka... semoga kehidupan kedepan ny lebih baik lg... supaya tidak dihina trus sma delillah 😭😭😭
2023-02-07
2
Devinta ApriL
Nayaka kalem banget,penyabar juga😨😨
sampai" kamu tertindas oleh Delilah
semoga saja kehamilan Delilah membuat Delilah lebih sayang sama Nayaka dan lebih sedikit menghargai Nayaka.. meski Delilah sebenarnya baik orangnya tapi secara lisan sukak gak bisa nge Rem alias Blong ceplas ceplos sama calon ayah bayi yaitu Nayaka..
2022-07-07
0