"Kamu apa-apaan, Hanssel!" Suara Nina meninggi, tangannya menepis dada pria itu dengan gemetar. "Kamu tidak berhak mengatur hidupku!"
"Dan hubungan kita… cuma sebulan, ingat? Hanya kontrak sementara!"
"Karennina!"
Suara Hanssel membentak, membelah udara malam dengan amarah yang tak tertahan. Tangannya mencengkeram wajah Nina, kasar dan emosional. Tanpa aba-aba, dia menarik tubuh wanita itu dan mencium bibirnya dengan paksa bukan dengan cinta, tapi kemarahan.
“Argh!” Nina mendorong dadanya, berusaha lepas. Tapi Hanssel malah menggigit bibirnya tajam, penuh kekecewaan.
"KAU!"
"IBU!"
Suara kecil dari lorong membekukan keduanya.
Jimmy berdiri di sana, matanya membulat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang belum sempat menjadi tangis.
Seperti dua orang dewasa yang tertangkap basah bertengkar di hadapan anak mereka, Hanssel dan Nina mendadak diam. Ketegangan menguap perlahan, digantikan kepanikan dan rasa bersalah.
"Jimmy..." Nina segera berjongkok dan berusaha menenangkan putranya. "Apa kamu sudah buka hadiah dari Om Hanssel?"
Jimmy tidak menjawab. Dia justru menunjuk bibir Nina yang memerah dan sedikit berdarah. "Ibu... bibirmu kenapa?"
Tangannya mungil terulur, mengusap luka itu dengan sangat hati-hati.
Hanssel menunduk. Sesal mendadak menggunung dalam dadanya. Dia tidak tahu harus berkata apa.
"Oh, ini... ibu tadi tidak sengaja kegigit pas ngobrol sama Om. Main bercanda tapi malah kelewatan." Nina memaksakan senyum, suaranya bergetar.
Jimmy masih menatap curiga. Tapi ketika Nina tersenyum sambil mengelus kepalanya, dia pun perlahan mengangguk.
"Ayo sikat gigi, ya. Habis itu tidur. Besok ibu antar kamu lihat pesawat dari dekat." Suaranya lembut, mencoba menyingkirkan bayangan buruk dari benak sang putra.
Setelah Jimmy masuk ke kamar dan menutup pintu, Nina berdiri diam.
Hanssel menghampiri. Matanya menyesal. Suaranya rendah.
"Maaf..." katanya pelan, "Aku tak seharusnya menyakitimu."
Dia menarik Nina ke dalam pelukannya, mendudukkannya di pangkuan seperti ingin melindungi sesuatu yang baru saja ia hancurkan.
Jarinya menyentuh luka di bibir Nina dengan penuh hati-hati.
"Aku... sangat cemburu, Nina. Aku takut kehilanganmu. Bahkan ketika aku tahu kita cuma akan bertahan sebulan…"
Nina hanya menatapnya. Matanya basah, hatinya bingung. Ada rasa marah, takut, tapi juga... luka yang jauh lebih dalam daripada gigitan barusan.
Nina masih terpaku. Sikap Hanssel malam ini berbeda dari biasanya. Ada sesuatu dalam sorot matanya seperti rasa bersalah, kasih sayang, dan… hasrat yang menuntut.
Setelah memastikan Jimmy tertidur pulas, Nina kembali ke ruang tengah. Hanssel duduk bersandar di sofa, menatapnya dengan mata sendu penuh rindu.
"Sayang…" suaranya berat, memanggil pelan sambil membuka kedua lengannya. Seakan berkata datanglah, aku ingin memelukmu.
Nina mendekat, dan tanpa banyak kata, Hanssel menariknya ke pelukannya. Ciuman lembut mendarat di bibir wanita itu. Ciuman yang penuh permintaan maaf dan penyesalan. Bibir yang tadi dilukai olehnya, kini dicium dengan begitu hati-hati, seolah tak ingin menyakitinya lagi.
Tangannya bergerak perlahan, menyibak tali kimono Nina, lalu satu per satu menarik tali tipis dari gaun tidurnya. Nina mulai larut dalam suasan. Sentuhan Hanssel malam ini terasa seperti permohonan maaf dalam bentuk paling intim. Nafas Nina tercekat saat pakaiannya merosot tanpa ia sadari, memperlihatkan tubuhnya yang polos di depan pria itu.
"Sayang... kita ke kamarmu, boleh?" bisik Hanssel dengan suara parau yang sarat gairah. Dia tak menghentikan ciumannya, dan tangannya makin berani menjelajahi.
Nina menggeliat pelan, menahan desahan. "Hanss... besok kita harus berangkat pagi, ingat?" ucapnya pelan, masih mencoba bertahan dalam kewarasan.
"Sayang, sebentar saja..." rengek Hanssel, suaranya berat dan memohon. "Aku janji, cuma sebentar... aku butuh kamu."
Jari-jari Hanssel menyusup semakin jauh, menggoda bagian paling sensitif Nina. Ia tahu wanita itu mulai kehilangan pertahanan.
"Kamu juga udah basah banget, Sayang…" desahnya di telinga Nina.
"Jangan... jangan sekarang," ucap Nina gemetar, menahan tangan Hanssel. "Please… Hanssel, jangan."
Hanssel mengerang pelan, frustasi. Tapi tangannya tetap berada di sana, enggan melepaskan.
"Aku janji, setelah urusan kita selesai, aku akan kasih tubuhku seutuhnya untukmu." Nina menatap matanya, membelai pipinya pelan.
Hanssel menahan napas. Tapi hasratnya tak surut. "Sedikit saja... please... aku nggak tahan lagi, Nina."
"Nooo!" Nina menatapnya tegas. "Dan di sini juga nggak ada kon-dom. Kamu mau ambil risiko?"
Hanssel menarik napas dalam-dalam. "Tenang aja. Aku selalu pakai pengaman setiap kali dengan wanita lain." Ia menatap Nina tajam. "Kamu tahu sendiri, aku nggak sembarangan."
Nina memutar bola matanya. "Lalu sekarang? Aku ini pengecualian?"
Hanssel memerah. "Ya— ya… kamu berbeda. Kalau kamu hamil pun, aku siap bertanggung jawab!"
"Apaaa?!"
Nina mendorong dadanya, tertawa geli meski masih dibalut hasrat yang belum padam. "BACOT! Dasar pria nggak tahu diri!"
Hanssel menghela napas panjang, menggulung tubuhnya ke belakang sambil menatap langit-langit. "Haaaisshhh! Runtuh sudah hasratku!!!" gerutunya sambil mengacak rambut sendiri.
Nina hanya tersenyum geli sambil merapikan pakaiannya. Tapi dalam hatinya, gejolak itu belum sepenuhnya reda. Hanssel memang menyebalkan… tapi juga sangat… menggoda.
Dia berdiri menuju mini bar, mengambil sebotol root beer dingin lalu menenggaknya tanpa berkata-kata. Gerakannya sedikit kasar, menandakan masih ada amarah tersisa di dadanya.
Nina tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. "Terima kasih, Hanssel..."
"No welcome!" semprotnya ketus, masih enggan menunjukkan kelembutan.
Namun, beberapa detik kemudian, dia mendekat… menjatuhkan kepalanya di pangkuan Nina tanpa aba-aba. Tindakan spontan yang membuat hati Nina mencelos.
Nina mengusap rambut pria itu pelan, seperti menenangkan anak kecil yang baru saja ngambek. Hanssel menatapnya dari bawah, matanya yang tajam kini tampak begitu teduh dan sendu. Tatapan yang seakan ingin menyampaikan seribu kata yang tak bisa diucap.
"Aku tahu... kita nggak boleh saling jatuh cinta," suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.
"Tapi... bukankah kita bahagia dengan keadaan kita sekarang ini?"
Jantung Nina seperti ditarik sesuatu. Matanya berkaca, namun dia tak menjawab—dia hanya memainkan jemari lentiknya di wajah Hanssel, membelai lembut pipi dan rahangnya yang kokoh. Hanssel tersenyum... senyum yang hanya dia berikan ketika bersama Nina.
Lalu, dia mengangkat tubuhnya sedikit, menggenggam wajah Nina dengan dua tangannya, dan menyesap bibir itu dengan sangat lembut. Tak ada nafsu, tak ada dorongan liar... hanya perasaan yang meluap-luap, tertuang dalam ciuman yang begitu tenang tapi dalam.
Di antara kecupan yang berhenti sejenak, Hanssel membisikkan sesuatu di bibirnya, nyaris tanpa suara—tapi Nina bisa merasakannya.
"Aku menyukaimu, Karennina… Sangat— sangat menyukaimu..."
Dan kali ini, Nina tidak lagi bisa menahan air matanya.
***
Bandara Internasional SH.
Hanssel menggenggam erat jemari mungil Jimmy, seolah dunia bisa runtuh jika genggaman itu lepas. Di kejauhan, Nina sedang menyelesaikan proses boarding pass, tapi sesekali matanya mencuri pandang ke arah keduanya. Ada yang hangat menyelusup dalam dadanya, begitu lembut hingga tanpa sadar sudut matanya berembun. Segera ia seka dan berjalan menghampiri mereka.
"Sini, om gendong aja, ya?" ujar Hanssel, menunduk dan merentangkan tangan pada Jimmy.
"Tak perlu, Hans. Dia sudah bisa jalan sendiri..." Nina mencoba menahan.
"Tapi aku mau digendong..." potong Jimmy dengan suara manja.
Tanpa menunggu restu, Hanssel segera mengangkat bocah itu dan mendekapnya erat.
"Papa Hanssel!"
Langkah Hanssel terhenti seketika. "Apa tadi kamu bilang?" tanyanya dengan suara parau, menatap wajah teduh bocah itu.
Jimmy tampak salah tingkah. "M-maaf, Om... Jimmy cuma bilang 'Papa Hanssel'... Kalau Om nggak suka, Jimmy nggak bakal panggil gitu lagi."
Untuk pertama kalinya, Hanssel nyaris kehilangan kata. Matanya berkaca-kaca. Tangannya membelai lembut rambut Jimmy.
"Om... sangat senang," bisiknya lirih. "Boleh kamu panggil om sekali lagi dengan sebutan itu?"
"Papa Hanssel..." ucap Jimmy pelan, sambil menyentuh pelupuk mata Hanssel yang mulai memerah.
Hanssel memeluk Jimmy erat, seolah berjanji dalam diam.
Aku tidak akan pernah melepaskan kalian berdua.
Dari belakang, Nina menyaksikan mereka. Ada sesuatu yang berbeda. Jimmy pernah memanggil Rangga dengan sebutan ‘Papa’, tapi saat ini... perasaannya berbeda. Ada harapan kecil menyelinap, menyuruhnya percaya bahwa mungkin… mungkin pria ini bukan sekadar “pemain.”
Sial... kenapa aku berharap lebih? Siapa aku? Apa aku pantas berharap pria sepertinya mencintai anak yang bukan darah dagingnya sendiri?
Perjalanan menuju Hongkong memakan waktu lebih dari lima jam. Sesampainya di hotel, Nina segera mengatur semuanya, memastikan Jimmy dan Nanny dalam kondisi nyaman. Hanssel mengangkat tubuh mungil itu dan meletakkannya dengan hati-hati di atas ranjang. Sebelum pergi, ia mengecup kening Jimmy lembut.
"Terima kasih..." ucap Nina.
"Aku nggak butuh ucapan terima kasih..." bisik Hanssel, lalu mendekat dan menggigit kecil telinga Nina, membuat wanita itu reflek memukulnya dengan tas kecil.
"Jalan-jalan yuk?" tawar Hanssel.
"Aku mandi dulu, ya... Gerah banget..." balas Nina, mengambil handuk dan menuju koper.
Tapi Hanssel langsung menarik koper itu dan mendorongnya ke kamarnya sendiri. "Mandi di kamarku aja."
Tanpa bisa membantah, Nina mengiyakan. Dia hanya sempat berpesan pada Nanny agar menjaga Jimmy malam ini.
Setelah berada di kamar mereka, Nina menyalakan kran bathtub, melepas semua lelah dari tubuhnya. Earphone menyala, memutar lagu-lagu favoritnya. Aroma lavender memenuhi udara. Dia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kehangatan.
Slide demi slide kenangan masa lalu berputar di benaknya. Hidup yang keras. Luka yang berulang. Keputusan-keputusan pahit yang membuatnya harus selalu kuat.
"Terima kasih, diriku..." bisik Nina pada dirinya sendiri. "Kamu sudah bertahan sejauh ini."
Air mata jatuh perlahan ke permukaan air.
"Ayo kita bertahan sedikit lagi... Tapi kenapa... kenapa hati ini mulai goyah pada si babi Hanssel?"
Dia membuka matanya. Tatapan kosongnya beradu dengan pantulan cahaya kota Hongkong di balik jendela. Lampu-lampu berkerlap-kerlip, seolah ikut menyimpan rahasianya malam ini.
Aku takut... Aku takut jatuh cinta lagi pada orang yang salah. Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama... aku merasa diinginkan, diterima dan dicintai.
Dia mengusap air mata dengan punggung tangan. "Aku harap kali ini... aku tidak salah lagi."
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Toko john 125
🤭🤭😝😝🥰🥰🥰🥰
2023-06-10
1