"Hatchiii!!"
Nina bersin keras hingga bahunya ikut terangkat. Ia buru-buru meraih gelas di atas nakas, menenggak habis air putih yang sudah disiapkan sebelumnya. Tengkuknya meremang.
"Siapa yang mengutukku diam-diam?" batinnya curiga, mengingat mitos lama bahwa jika kau bersin tiba-tiba dan tengkukmu merinding tanpa sebab, bisa jadi ada seseorang yang sedang membicarakanmu atau lebih buruk, mengutukmu dari belakang.
Ia kembali menatap layar laptop yang menyala redup, jari-jarinya lincah menggerakkan kursor. File demi file dibuka, catatan-catatan strategi ditelusuri ulang. Nina tengah mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk pertemuan tender besok pertarungan besar bersama E.T.
"Tuan Mahessa adalah CEO E.T, dia sudah menikah dengan Naluna, CEO Lunarian..." gumamnya pelan. "Dan Lunarian adalah salah satu peserta tender ini..."
Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menatap langit-langit sambil menghembus napas panjang. "Apa ini hanya formalitas belaka? Karena pada akhirnya, proyek ini akan jatuh ke tangan istrinya juga, bukan?"
Nada tawanya miris, nyaris sumbang. “Tapi... Suho? Dari mana dia dapat keberanian untuk ikut bersaing di tender sebesar ini?"
Pikirannya terus bekerja, matanya menatap laptop yang bagi orang awam tampak seperti perangkat biasa. Padahal, benda itu adalah nyawanya, sumber daya rahasia dan juga senjata perangnya.
Ding... Dong...
Suara bel kamar memecah keheningan. Nina refleks berhenti. Pandangannya menajam, telinganya menegang. Dengan cepat ia menutup semua file, mematikan komputer, dan bangkit dari kursi. Jika seseorang tahu apa yang ia kerjakan malam ini, bisa jadi nyawanya melayang.
Langkahnya ringan namun waspada. Ia melirik lubang intip di pintu kamar hotel. Tapi gelap, bayangan di luar terlalu samar untuk dikenali. "Rangga? Apa dia kembali mencariku?"
Dengan nafas tertahan, Nina membuka pintu... dan—
"HANSS—SEL!!" pekiknya kaget, nyaris bergetar antara marah dan panik.
Hanssel berdiri di ambang pintu, senyum jahil menggantung di bibirnya. Tanpa berkata apa-apa, pria itu menerobos masuk begitu saja, seakan kamar itu miliknya.
"HEI!! Tunggu—"
"Bukankah Anda punya kamar sendiri?!" Nina mengejarnya dengan kesal. "Mau tukar kamar, hah?!"
Hanssel malah tertawa kecil, santai seperti biasa. "Aku hanya memastikan pegawaiku tidak melakukan sesuatu yang... tidak senonoh di balik layar laptopnya."
"APA?!" Nina memekik, tidak percaya tuduhan menggelikan itu.
Hanssel sudah duduk nyaman di ujung ranjang. Kasur ukuran queen itu terlihat mendadak sempit. Nina berdiri tak jauh, wajahnya merah padam. Bukan hanya karena marah, tapi karena satu hal yang baru ia sadari...Pakaiannya.
Dress tidur tipis berbahan satin menggantung manis di tubuhnya. Tali kecil di bahu nyaris terlepas, menyisakan lengkungan bahu mulus dan kulit putih yang mengkilap terkena cahaya lampu kamar. Panjangnya hanya sebatas paha, dan itu pun terlalu pendek jika ia bergerak sedikit saja.
Hanssel terdiam, matanya tak berkedip menatap wanita di depannya. Bukan... ini bukan sekadar sekertaris biasa. Bidadari? Iblis penggoda? Sial, perasaan Hanssel berkecamuk hebat sekarang. Dia bahkan tidak bisa membedakannya.
"Kau—" Nina merapatkan tangan di dada, menegakkan dagu. "Kalau kau masih punya harga diri sebagai atasan, segera keluar dari sini!"
Hanssel tidak menjawab. Hanya tatapannya yang bicara seolah terasa panas, tajam, dan tak terbaca. Ada sesuatu yang baru saja bangkit dalam dirinya. Keinginan, ketertarikan atau mungkin... Hasrat yang selama ini terkubur dalam diam. Dan Nina seolah menyadari itu, jantungnya berdetak lebih cepat.
"AAAAAAA!!"
Jeritan Nina menggema seisi kamar hotel. Dengan langkah panik, ia berlari menuju kamar mandi dan membanting pintu.
"Aaaa!! Kenapa gue baru nyadar pakai baju tidur begini?!" serunya frustasi, menghentakkan kaki dan menutup wajah dengan kedua tangan.
"Dan si babi itu! Ngapain juga datang malam-malam begini?!"
Ia terus mondar-mandir di kamar mandi sempit, berkecamuk antara rasa malu dan kesal. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengurung diri dan berharap bosnya segera sadar diri untuk pergi.
Tok... Tok... Tok...
"Nina, apa yang kamu lakukan? Jangan paksa aku mendobrak pintu ini!" suara Hanssel terdengar dari balik pintu, terdengar kesal namun tetap berusaha tenang.
Nina mendengus. "Ngapain sih datang jam segini?! Besok pagi bisa ngomong pas sarapan, kan?!"
Hanssel menghela nafas berat di luar. "Aku hanya ingin bicara sebentar... kenapa sih kamu selalu menghindar? Apa aku sebegitu menyeramkannya?"
"Bukan menyeramkan. Menjijikkan! Siapa suruh datang pas aku udah pakai baju tidur kayak gini?!"
"Keluarlah. Aku nggak akan melakukan apa pun, Nina."
"Cih... Kenapa aku harus percaya sama mulut pembual kayak kamu?!"
"Sejak kapan aku jadi pembual? Dari kapal sampai sekarang, kamu tahu aku selalu jujur!"
Nina terdiam sejenak. Kata-kata itu mengendap di pikirannya. Mau tak mau, dia mengakui bahwa meskipun menyebalkan, Hanssel memang tak pernah berbohong padanya.
Akhirnya, ia mengambil handuk kimono dari gantungan dan membungkus tubuhnya.
"Oke. Aku akan keluar... kalau kamu keluar dari kamarku dulu!"
"Sip. Aku keluar sekarang."
Terdengar bunyi pintu depan dibuka... lalu ditutup.
Nina menunggu beberapa detik dalam keheningan. Tak ada suara. Dengan lega, ia membuka pintu kamar mandi perlahan dan melangkah keluar sambil menghela napas panjang.
"Huft... akhirnya pergi juga."
Ia melepas handuknya dan melemparnya sembarangan ke kursi. Namun tiba-tiba—
Brak!
Dua lengan kokoh merangkul pinggangnya dari belakang.
"AAAAAAAAA!!"
Hanssel yang sejak tadi bersembunyi kini merangkul Nina dari belakang, membuat gadis itu menjerit kaget. Tanpa pikir panjang, Nina langsung bereaksi. Sikutnya menghantam keras perut Hanssel.
"BUG!!"
Tak cukup sampai di situ, ia juga menginjak keras kaki bosnya.
"AAARRRGHHH!!"
"KARENNINA KAVIANDRAAA!!!" teriak Hanssel meringis menahan sakit, tubuhnya limbung seketika.
Nina, dengan wajah merah padam karena marah dan malu, menyambar handuk kimononya. Dalam gerakan gesit dan terlatih, ia meraih ponsel serta laptopnya, lalu berlari keluar kamar.
"RASAKAN ITU!! DASAR BOS KAMPRET!"
Pintu kamar tertutup rapat disertai bunyi klik dari kunci yang dikunci dari luar.
Sementara itu, Hanssel terjatuh di lantai, mengaduh sambil memegangi perutnya yang masih terasa nyeri.
"AHH SIALAAAN!!! KARENNINA AWAS KAU YA!!!"
"AWWW!!" desisnya lagi, masih meringkuk di lantai.
Siapa sangka wanita yang selama ini ia pandang sebelah mata itu ternyata jago bela diri? Hanssel benar-benar tidak menyangka. Sekretaris yang ia panggil "nenek lampir" itu ternyata lebih seperti ninja daripada pekerja kantoran.
Dengan susah payah, ia merangkak ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya. Tangannya meraih perut yang masih terasa sakit. Setelah memanggil petugas hotel untuk membawakannya kompres es dan kunci cadangan kamar, Hanssel akhirnya bisa terbaring tenang di atas kasur—kasur yang tadi masih ditempati Nina.
Aroma parfum khas Nina masih tertinggal samar. Wewangian lembut berinisial 'C' yang selama ini tak pernah ia perhatikan, kini menguar begitu menyiksa dan menggoda.
Hanssel menarik napas dalam-dalam.
"Kamu semakin menarik, Nina..." gumamnya pelan, matanya menatap langit-langit kamar.
"Aku nggak pernah menyangka, mengejar seorang wanita bisa semembingungkan ini... bisa se–exciting ini..."
Ia memejamkan mata, menahan rasa sakit di tubuhnya, namun hatinya justru terasa hangat. Untuk pertama kalinya, pria itu merasa benar-benar hidup. Bukan karena kekuasaan. Bukan karena uang.
Tapi karena wanita keras kepala yang telah menendangnya keluar dari zona nyaman dan memperlakukannya layaknya manusia biasa, bukan bos besar.
"Sial... aku bahkan bahagia dalam keadaan begini... betapa lemahnya aku."
***
Keesokan harinya…
Di café hotel lantai bawah, Nina tengah menyesap lemon tea sambil menyuap sarapan paginya. Namun penampilannya hari ini sungguh berbeda dari biasanya. Bukan makin menarik, justru makin nyentrik dan... bisa dibilang buruk. Kacamata bulat besar, bibir merah bata menyala, poni lurus, serta rambut yang biasanya diikat kini dibiarkan menjuntai dengan aneh.
Hanssel nyaris saja tak mengenalinya. Ia baru sadar saat Nina menarik tangannya tiba-tiba.
"SIAPA KAMU?!" serunya kaget, nyaris menjatuhkan gelas kopi yang dibawanya.
"Aku wanita yang kau ganggu semalam," ujar Nina datar, penuh penekanan pada kata ganggu.
"WHAAAT!!" Hanssel membuka lebar mulutnya yang langsung disumpal cupcake milik Nina.
"Hmmp!"
Hanssel terpaksa mengunyah, matanya membelalak tidak percaya.
"K-Kau... Ku... Kurang ajar!" gumamnya, masih mengunyah malu-malu.
Nina hanya tersenyum geli, menahan tawa melihat ekspresi bosnya yang sok cool di depan para wanita cantik, tapi sekarang berubah seperti anak kecil kemasukan cabai.
Hanssel akhirnya duduk di depan Nina dengan tatapan tidak terima. "Mengapa kamu berpenampilan seperti Betty La Fea, sih?!"
Nina mengangkat bahu. Sejujurnya dia punya alasan kuat, tapi mengatakannya pada Hanssel hanya akan membuat suasana makin canggung.
"Karena aku tidak ingin terus diganggu oleh sikap mesummu itu!" jawabnya santai, lalu menyeruput minumannya lagi.
Namun sejurus kemudian, pandangan Nina jatuh pada seorang pria di sudut café. Ia tengah tertawa lepas bersama seorang wanita glamor bergaun ketat. Rona bahagia terpancar jelas di wajah mereka.
Tangan Nina mengepal di atas meja. Tatapan matanya berubah dingin. Hanssel memperhatikannya dan saat ia menoleh ke arah yang sama, ia pun paham.
Hanssel mengulum senyum tipis. Aku tahu sekarang mengapa kamu mau ikut aku ke Bali, dan kenapa kamu sengaja berpenampilan sejelek ini. Alasan ini, ya? Cukup pintar, Nina...
Tanpa malu, Hanssel mengambil croissant dari piring Nina dan menggigitnya santai.
"HEI! ITU MILIKKU!!" Nina merebutnya kembali, menggigit croissant itu dengan marah.
Namun, dia mendadak berhenti dan matanya melebar. Ia baru sadar... Dia menggigit bagian yang sudah digigit Hanssel.
"A-aku... aku kembalikan!!" serunya gugup, buru-buru berdiri.
"Aku akan ambilkan sarapanmu sendiri!"
Dan ia pergi begitu saja ke buffet, meninggalkan Hanssel yang menahan tawa.
"Pffft..."
Hanssel menyandarkan punggungnya, menatap punggung Nina yang menjauh.
"Tampilanmu sungguh... buruk hari ini," gumamnya pelan. "Namun entah kenapa, aku masih melihat wanita cantik yang aku peluk semalam... yang aromanya masih tersisa kuat di benakku..."
Senyum tipis itu kembali muncul di wajahnya. Ada sesuatu yang mulai berubah dalam hatinya.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Toko john 125
🤣🤣🤣🤣 klo ditambah pake behel gigi, pasti lebih perfect sih, lebih show up Betty La Fea nya & Hanssel pasti lebih menganga 😱🤣🤣🤣
2023-06-10
1