"Apa kamu sudah puas megang-megang aku?!"
Nina membuka matanya lebar-lebar dan langsung berteriak. Ia beringsut mundur, melepaskan kedua tangannya yang entah sejak kapan dia meremas dada Hanssel yang padat berotot bak roti sobek berbagai rasa. Hanssel tergelak melihat kelakuan absurd sekretarisnya itu.
"Aaaaahhh!!!"
Astaga! Mimpi indah bareng Lee Min Ho tadi malah nyambung ke dunia nyata?! Malu banget, Nina!
"Hahaha... Mandi sana, dasar kamu aneh." Hanssel mencubit hidung Nina dengan gemas, lalu bangkit dari ranjang dan melangkah santai ke ruang tengah.
Nina lompat dari kasur seperti kena setrum dan lari ke kamar mandi dengan wajah merah padam.
"Perlu banget segitunya?!" sahut Hanssel sambil menggeleng tak habis pikir.
"Umurnya tiga puluh tahun, tapi kelakuannya kayak bocah dua puluhan! Mukanya juga masih baby face banget!"
Sambil tertawa kecil, Hanssel mengambil ponsel dan menelepon seseorang. Tak lama, asistennya, Farell. Pria itu datang membawakan satu set pakaian formal.
"Ini bajunya, Tuan."
"Taruh di sana."
"Bagaimana persiapan terakhir? Ada pergerakan mencurigakan dari Revan?"
"Sejauh ini aman, Tuan. Sepertinya dia benar-benar menerima kenyataan kalau perusahaannya bangkrut."
"Bagus. Sekarang aku tugaskan kamu cari semua informasi soal Suho Enterprise."
"Suho, Tuan? Untuk apa?"
"Cari celah mereka. Aku ingin mereka menang tender pengadaan bahan baku minggu depan dengan Lee Hi Group."
"Tapi bukankah itu kontraproduktif, Tuan?"
"Tenang, itu bagian dari strategi. Jangan sampai ada kesalahan. Aku nggak akan mempertaruhkan nama besar Adamson di pasar global."
"Baik, Tuan."
"Dan ingat, jangan sampai Nina tahu soal ini. Sekecil apa pun."
"Siap, Tuan. Saya juga akan kumpulkan semua data lengkap tentang CEO mereka."
"Bagus."
Tiba-tiba, suara nyaring dari dalam kamar mandi memotong percakapan:
"Hansseeeell... Aku lupa! Tolong ambilin paper bag di sebelah ranjang dong!"
Farell membulatkan mata. Mendengar Nina berseru manja pada bos besarnya jelas bikin dia syok.
"Cepat sana. Dan jangan lupa... rahasiakan semuanya dari Nina," bisik Hanssel sebelum Farell keluar ruangan dengan ekspresi penuh tanda tanya.
"Sejak kapan mereka... affair? Bukannya dulu Tuan paling anti sama Nina?" gumam Farell sambil berjalan pergi.
Sementara itu, Hanssel mengambil paper bag dan mendekati kamar mandi. Dari celah pintu, dia bisa melihat pantulan tubuh polos Nina di cermin. Dia mendesis pelan, separuh kesal, separuh... terpikat.
"Ini, sayang," ucapnya sambil menyerahkan paper bag itu dari balik pintu.
Dasar rubah! Pinter banget bikin rusuh sama adik bawahku!
"Thanks!"
Bruk!
Nina buru-buru menutup pintu kamar mandi. Sementara itu, Hanssel terdiam di tempat. Ada sesuatu yang berbeda. Perasaan aneh yang perlahan merayap ke dalam dirinya. Dengan Nina, dia bisa menahan segalanya. Bahkan hasratnya yang sudah menggelora pun bisa ia redam... hanya demi tidak menyakiti wanita itu.
Aneh. Kenapa kamu begitu menarik, Nina...
Tak lama kemudian, mereka berdua sudah tampil rapi dan sarapan bersama di kamar.
"Hanssel, aku mau hubungan kita jangan sampai terekspos siapa pun, ya..."
Hanssel menyendok makanannya. "Kenapa?"
"Aku nggak mau jadi sasaran fans kamu!" Nina ngeles sambil mengedip nakal.
Hanssel terkekeh. "Hah, bilang aja kamu malu ngakuin kita pacaran."
"Please lah, Hanssel. Hubungan kita baru sebulan. Belum bisa disebut pacaran juga kan?"
"Tapi kalau lewat dari sebulan?" sahut Hanssel santai, tapi ucapannya terdengar serius.
Nina terdiam. "Apa maksudmu?"
Hanssel menatapnya sejenak. "Sudahlah. Aku akan jaga rahasia kita. Tapi satu hal, dalam waktu dekat... aku ingin kamu jadi milikku sepenuhnya. Dan satu lagi— kamu harus mulai panggil aku ‘sayang’."
"Apa?! Gila!" Nina membelalakkan mata.
Gila? Iya. Gila karena kamu, Nina... batin Hanssel sambil tersenyum kecil.
Tatapan Hanssel mengunci wajah Nina. Intens, hangat, dan membingungkan. Nina gelisah dibuatnya. Hanssel hanya tersenyum simpul lalu melanjutkan sarapan.
"Apa jadwalku hari ini?" tanyanya santai.
"Kamu harus tanda tangan beberapa berkas di kantor..." jawab Nina sambil mengecek ponselnya.
"Oh ya, kamu udah denger soal undangan dari JK di Hong Kong?"
Nina mengangguk. "Mau pergi?"
"Atur jadwalnya. Kamu juga ikut."
"Aku nggak bisa ninggalin Jimmy."
Hanssel langsung menoleh. "Namanya Jimmy?"
Tatapannya berubah. Ada guratan kecewa di sana. Dia tahu, anak itu bukan salahnya. Tapi tetap saja... rasanya tak enak.
"Betapa bodohnya mantan suamimu!" geram Hanssel.
Nina menghela napas. "Yang bodoh aku. Aku yang salah memilih."
Kesedihan menyelinap di balik senyumnya. Hanssel ingin menghapus itu. "Kalau begitu... boleh nggak aku ketemu Jimmy?"
Nina kaget. "Kenapa emangnya?"
"Ya masa aku deket sama kamu, tapi nggak boleh deket sama anak kamu?" sahut Hanssel, sedikit gelisah. Kenapa aku mikirin anaknya juga, sih?
"Aku boleh ajak dia ke Hong Kong?" tanya Nina balik. "Aku belum nemu nanny yang cocok sih..." sambungnya datar.
"Tenang, aku bisa suruh Farell cari dari yayasan terpercaya."
Nina berkedip. "Kok aku nggak kepikiran gitu, ya?"
"Tuh kan, aku cocok banget jadi ayah sambungnya!"
"Apa? Ayah sambung?" Nina menatap curiga. Ada yang aneh dengan Hanssel akhir-akhir ini…
"Eh maksudku… Aku bisa kerja sama juga sama anak kecil, gitu..." Hanssel garuk kepala sendiri, kikuk.
Nina menahan senyum. "Oke deh, kita berangkat sekarang?"
Belum sempat Nina bangkit, Hanssel mengangkat telunjuk dan melambaikannya pelan.
"Apa lagi?" tanya Nina bingung.
"Mari kemari, sayang. Aku butuh asupan vitamin C."
"Raja Mesum!" pekik Nina sambil melemparkan bantal kecil ke arahnya.
“Not today, okay!” seru Nina dengan napas memburu, wajahnya memerah, dan jantungnya berdetak tak terkendali.
Hanssel menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Senyum mengembang di wajahnya, lembut dan penuh pengertian.
“Oke...” bisiknya, seakan tak ingin memecah keintiman yang masih menggantung di udara.
Kau menang, Nina... Aku tidak pernah bisa menolakmu.
Nina perlahan bangkit dari pangkuan Hanssel. Tangannya sibuk merapikan pakaian, mencoba mengatur kembali emosinya yang masih bergejolak. Saat ia hendak mengambil barang-barangnya, tangan Hanssel lebih dulu meraih.
“Sini, biar aku yang bawa.”
Nina menatapnya, terpaku. Ada sesuatu yang berbeda dari pria ini. Perubahan sikapnya begitu drastis. Dan semua itu... hanya karena mereka kini berada dalam hubungan yang tak lagi formal.
“Terima kasih...” ucapnya pelan.
Mereka meninggalkan kamar hotel dan menuju lobi untuk check-out. Sebelum kembali ke ibu kota, Nina meminta untuk mampir sebentar membeli oleh-oleh.
“Aku janji nggak lama. Cuma mau beli pesanan seseorang.”
Hanssel mengerutkan dahi. “Untuk siapa?”
“Temanku. Dia udah bantu jagain dan urus Jimmy selama aku pergi. Dia pantas dikasih sesuatu.”
Hanssel tak menjawab. Bibirnya terkatup rapat, namun pikirannya melayang. Pilihan Nina yang tanpa sadar tertuju ke Kart*ka Sari langsung membawa memorinya ke sosok sahabat lamanya. Rangga, sahabat karibnya dulu, sangat suka bolen pisang, sama persis…
Cemilan itu... Dia suka sekali... Apa ini hanya kebetulan?
“Kamu mau beli sesuatu juga? Buat dimakan di rumahmu mungkin?” tanya Nina santai, mencoba terdengar biasa.
Hanssel menoleh dan menjawab santai, “Nggak perlu. Yang aku pengen cuma makan kamu aja.”
Hanssel terkekeh pelan, sementara Nina buru-buru beranjak menuju kasir. Pria itu mengikutinya dari belakang, lalu dengan santai menyodorkan kartu hitamnya ke kasir.
“Pakai ini.”
Nina melirik ke arahnya. Ada campuran rasa kagum dan geli di wajahnya.
Namun tanpa mereka sadari, sepasang mata tengah mengawasi dari kejauhan. Tatapannya tajam, penuh kebencian yang dipendam terlalu lama.
Jangan bilang itu... pacar barunya Hanssel? Wajah itu... Aku kenal. Aku tidak mungkin salah lihat. Itu... Nina. Sekretaris rendahan yang dulu sering dicemooh karena penampilannya?
Tangan si pengintai mengepal. Ada amarah yang perlahan membuncah. Dunia Nina yang dulu tampak begitu kecil... sekarang terasa sangat mengancam. Dan bagi orang yang merasa seharusnya ada di posisi itu kebahagiaan Nina adalah penghinaan terbesar.
Beraninya kau mengambil tempat yang bukan milikmu, Nina...
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Toko john 125
vitamin c (vitamin cinta) 🤭🤭🤭
2023-06-10
1
Toko john 125
🤣🤣🤣 Lee Min Ho...
2023-06-10
1