Tuuut!
Aku yakin si babi itu tengah mabuk!!!
"Sorry Rangga, aku ada urusan pekerjaan... Lain kali kita sambung lagi pertemuan kita..."
"Mau aku antar?" tawar Rangga penuh perhatian.
"Tidak perlu," Nina menolak halus niat baik sahabatnya. Suaranya terdengar tenang, tapi pikirannya berkecamuk.
Sesampainya di MO Bar, lampu temaram dan dentuman musik menghantam gendang telinga Nina. Dia melangkah cepat, sorot matanya tajam menelusuri keramaian. Begitu melihat Hanssel, amarahnya langsung meledak.
"KAU MABUK?!" bentaknya, berdiri dengan tangan berkacak pinggang. Beberapa pengunjung menoleh, tapi Nina tak peduli.
"Ayo pulang!" serunya lagi, mencoba memapah tuannya yang tubuhnya limbung.
Hanssel menyipitkan mata, berusaha mengenali sosok yang menariknya keluar dari zona mabuknya. "Kamu... Nina?? Kamu Karennina Kaviandra, benar bukan?!"
Nina mendengus, sadar kalau penampilannya malam ini jauh dari sosok sekretaris dingin yang biasa dikenal Hanssel. "Untung babi ini mabuk!" gerutunya pelan.
Tanpa belas kasihan, dia menyeret Hanssel keluar dari bar dan membawanya ke mobil VVIP milik pria itu. Begitu berhasil menjatuhkan tubuh Hanssel ke dalam mobil, Nina menyeringai puas.
"Kapan lagi gue bisa nyiksa lu secara legal, Tuan Hanssel..."
Selama perjalanan menuju mansion di Beverly Hill, Hanssel terus meracau, entah soal bisnis, wanita, atau... Nina. Diam-diam, Nina mencuri dengar kalimat-kalimat yang membuat wajahnya panas.
Cekiiiit!
Bruukk!!
Tubuh Hanssel terhempas ke depan dengan keras. Nina sengaja tak memasangkan seat belt.
"Ups," ucapnya sinis, tertawa lirih. Dia turun dan kembali memapah Hanssel dengan susah payah.
"Akhirnya sampai juga," ucap Nina, melepas tubuh berat itu di lantai dengan suara berdebam.
Bruukk!
Tubuhnya sendiri nyaris remuk karena menopang beban Hanssel sepanjang jalan. Meski begitu, dia masih punya tenaga untuk menyeret pria itu menuju kamarnya.
"Aaarrggghh!! Kau sungguh berat Hanssel!! Dasar B4B1!!" dengus Nina kesal.
Brak... Bruk...
Tubuh Hanssel menabrak kursi, meja, dan mungkin... harga dirinya sendiri. Nina tahu, esok pagi pria itu akan bangun dengan tubuh penuh memar.
Akhirnya, dia berhasil membanting Hanssel ke ranjang empuk miliknya. Nina berdiri di tepi tempat tidur, menatap wajah mabuk bosnya.
"Dasar menyebalkan," gumamnya.
Dia baru hendak berbalik dan pergi, ketika tiba-tiba...
Bruuuk!!
"HANSSEL!!!" pekik Nina kaget. Tubuhnya terjerat lengan Hanssel yang tiba-tiba menariknya ke ranjang.
"Karennina... si nenek lampir... Aku nggak nyangka... Aku menyukaimu..." lirih Hanssel dengan mata setengah tertutup, tapi sorot matanya terlalu jujur untuk dianggap omong kosong mabuk.
DEG!
Jantung Nina berdetak tak karuan. Ucapan itu... bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.
Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, Hanssel sudah tak sadarkan diri lagi, tergeletak seperti boneka rusak.
Nina menelan ludahnya. "Bagimu wanita itu cuma baju sekali pakai, kan?!" desisnya, menahan getaran di suaranya. "Saat ini aku nggak tertarik dengan pria brengsek seperti kamu!"
Dengan langkah cepat dan napas berat, Nina keluar dari kamar, sebelum... sebelum hatinya benar-benar goyah.
***
Keesokan harinya…
Hanssel mengetuk jarinya di meja kerjanya, frustasi. Pagi tadi, saat terbangun, seluruh tubuhnya terasa remuk redam. Ia mencoba mengingat kejadian malam sebelumnya—kemarahan yang membuatnya memutuskan untuk minum di MO Bar, rasa kesal karena Nina terus menghindarinya, dan kebodohannya yang malah menghubungi sekretaris nyentriknya, bukan asisten pribadi. Setelah itu, gelap.
Tuut!
"Ke ruangan sekarang juga!"
Tak lama kemudian, Nina melangkah masuk dengan wajah manis yang tak biasa. Biasanya datar, kini menyapa dengan senyum sopan.
"Pagi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" sapa Nina lembut.
Hanssel menyipitkan mata, memperhatikan lekat penampilannya—blazer kuno, rambut lurus digerai tanpa ekspresi. Tapi pikirannya melayang ke sosok wanita cantik semalam. Mata yang sama. Suara yang serupa. Bisa jadi...
"Kamu yang membawa aku pulang dari bar, kan?" tanyanya langsung.
Nina mengerutkan kening. "Maksud Tuan?"
"Aku lihat kamu bersama Tuan Ron. Apa kamu ada urusan pribadi dengannya? Transaksi di luar bisnis?"
Nina menatapnya tajam. "Apa Anda memata-matai saya, Tuan?"
Hanssel mengangkat bahu. "Tidak. Aku cuma... kebetulan lihat. Dia bersama seorang wanita. Kacamatamu tidak ada. Rambutmu digelombang indah. Pakai dress pas badan dan high heels. Aku yakin itu kamu."
Nina tertawa kecil, seakan mendengar lelucon lucu. "Tuan senang berimajinasi rupanya. Kacamata ini? Saya bahkan tak bisa melihat jelas tanpa ini. High heels? Kaki saya bisa cidera. Dan rambut saya jelas lurus jatuh, tidak seperti yang Tuan maksud."
Hanssel menggertakkan gigi. Kata-katanya membuatnya tampak konyol. Tapi dia yakin. Sangat yakin.
"Tapi aku menghubungimu, kan? Aku minta kamu jemput aku semalam."
Nina terlihat berpikir sejenak lalu menjawab santai, "Tuan tidak pernah menghubungi saya di luar jam kerja. Semalam saya di rumah, menonton drama kesukaan saya. Mungkin Anda menghubungi salah satu teman kencan Anda."
Hanssel terdiam. Ia membuka ponsel dan mengecek riwayat panggilan. Nama Nina memang ada. Tapi saat ia membuka rekaman CCTV apartemen, file-nya... tidak ditemukan.
Nina melanjutkan dengan nada dingin, "Jika Tuan masih ragu, silakan periksa sendiri semua data yang Anda miliki. Saya tidak ingin menerima tuduhan lagi di kemudian hari. Jika tidak ada yang lain, saya pamit."
Ia membalikkan badan dan melangkah pergi, meninggalkan Hanssel yang masih duduk terdiam, dihantui bayangan wanita semalam. Mata itu... suara itu...
Dia yakin. Wanita itu Nina. Tapi kenapa dia tidak bisa membuktikannya?
Tanpa menunggu izin dari Hanssel, Nina membalikkan badan dan melangkah mantap keluar dari ruangan kerja tuannya. Pintu tertutup pelan, menyisakan Hanssel yang kini duduk terpaku, rahangnya mengeras, dan kepalan tangannya mengepal di atas meja.
"Aku tahu itu dia... Pasti dia!" rutuknya dengan nada rendah namun penuh keyakinan.
Tak butuh waktu lama, Hanssel membuka rekaman CCTV apartemennya. Matanya menyipit saat melihat sosok wanita asing tengah memapah tubuhnya ke dalam unit pribadinya malam tadi. Bukan Nina. Tapi ada sesuatu yang familier dalam cara wanita itu berjalan, bahkan dalam postur tubuhnya.
Rasa frustrasi menggelayut, dia pun memeriksa histori panggilan di ponselnya. Nomor yang dihubunginya... memang nomor kantor. Tapi tidak tercatat sebagai Nina. Dia segera menghubungi Farell yang tengah sibuk mengurus akuisisi perusahaan Mentari Abadi.
"Farell, aku butuh bantuanmu. Ada satu hal yang harus kamu selidiki... dan aku ingin hasilnya secepatnya. Jangan sampai ada kesalahan."
"Dan satu lagi... prioritaskan akuisisi Mentari Abadi. Aku ingin Revan tahu, dia sudah bermain di wilayah yang salah!" suara Hanssel mengeras, dingin, dan penuh tekanan. Ia memutus sambungan tanpa menunggu jawaban.
Sesaat kemudian, Hanssel menghubungi kontak berikutnya.
"Rangga, kamu di kantor? Aku ke sana sekarang. Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan."
Tanpa basa-basi, ia bangkit dari kursinya dan bersiap meninggalkan kantor. Dalam langkahnya yang tergesa, ia masih sempat melontarkan kalimat ketus saat melewati ruang kerja Nina.
"Nina, aku ada urusan luar. Lakukan pekerjaanmu seperti biasa. Atau tidak usah kujelaskan pun, kau sudah tahu semuanya, bukan?!"
Nina hanya mengangkat kepala sekilas, bibirnya tersenyum miring.
Setelah kepergian Hanssel, Nina bersandar di sandaran kursinya. Pandangannya kosong, namun matanya tetap waspada.
"Apa dia mulai sadar? Nggak mungkin secepat itu..." gumamnya, setengah tertawa.
Namun, ekspresinya berubah saat ia mengangkat ponselnya. Jemarinya menekan nomor kontak yang sudah sangat ia kenal.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
sesejauf
kapan up lagi ceritanya kak?
2022-05-11
1
Ar mer
nextt kak
semangat!!
2022-05-06
1