Attention please...
Mohon maaf yang baru saja datang membaca... Karya ini sedang dalam tahap revisi agar semakin enak dibaca. Secara keseluruhan alur tidak ada yang berubah, hanya menghilangkan adegan vulgar atau tidak perlu. Mohon maaf jika kedepannya sedikit tidak nyaman dalam membacanya...
Terima kasih atas kedatangan dan apresiasinya, Arigatou neee~
****
Ding... Dong!
Suara bel yang menyentak keheningan membuat Nina menghentikan aktivitasnya mengunyah keripik kentang favorit. Tangannya menggenggam plastik snack setengah kosong, sementara matanya menatap tajam ke arah pintu apartemen.
Dia membeku beberapa detik. Tidak ada yang pernah dia undang malam ini. Bahkan hampir tidak ada yang tahu alamat tempat tinggalnya.
"Jangan-jangan... si bodoh Hanssel?" gumamnya dengan nada curiga, disertai helaan napas kesal.
Dengan langkah hati-hati namun cepat, Nina beranjak dari sofa. Jemarinya menekan tombol kamera pengawas di dekat pintu, dan ketika layar kecil itu menyala menampilkan sosok yang berdiri di luar, senyumnya langsung mengembang lebar.
"FARAAAH!!"
Dengan cepat ia membuka pintu dan memeluk erat satu-satunya sahabat sekaligus saudara sepupu jauhnya—Farah Lee. Kehangatan pelukan mereka seperti menyalakan cahaya kecil dalam hati Nina yang akhir-akhir ini dipenuhi kekacauan dan kepura-puraan.
Farah, seperti biasa, langsung histeris. "Gila kamu ya! Kamu pikir aku nggak bisa cari kamu?!"
"Dari mana kamu tahu tempat ini? Aku kan nggak pernah kasih tahu?" tanya Nina sambil menarik tangan Farah, membawanya masuk ke dalam apartemen kecil yang cozy itu.
Farah menjatuhkan dirinya ke sofa dengan gaya khasnya yang santai. "Kamu amnesia, ya? Tahun lalu aku pernah mampir ke sini. Kamu nggak bilang pindah rumah, berarti ya aku anggap kamu masih di sini."
Nina tertawa pelan. "Aaah... iya juga."
Tanpa sadar, air matanya menggenang. Bukan karena sedih, tapi karena lega. Di tengah semua kepura-puraan dan peran ganda yang ia jalani, Tuhan mengirimkan Farah—satu-satunya orang yang bisa membuatnya merasa seperti dirinya sendiri lagi.
Pelukan kembali terjadi. Kali ini tanpa kata, hanya perasaan yang berbicara. Mereka saling mengisi kekosongan yang tak bisa dijelaskan.
Beberapa menit kemudian, suasana berubah menjadi obrolan panjang yang seru dan penuh tawa. Dua perempuan yang dipertemukan oleh darah dan diikat oleh rahasia masa lalu.
"Clubbing yuk?!" Farah tiba-tiba berseru sambil menggoyang-goyangkan alisnya.
Nina menoleh cepat. "Hah? Sekarang?!"
"Kenapa nggak? Daripada kamu diem-dieman kayak kucing hilang."
Nina menghela napas pelan, lalu bertanya, "Kamu sampai kapan di sini?"
Farah mengangkat bahu. "Belum tahu. Kalau urusanku sudah selesai, aku balik. Tapi untuk sementara ini... aku bebas sebebas-bebasnya!"
Hening sesaat. Farah memandangi wajah Nina lalu berkata pelan, "Kamu nggak rindu om, tante... atau kak Keenan?"
Pertanyaan itu membuat Nina terdiam. Sebuah jeda panjang mengisi ruangan. Jawabannya tak perlu diucapkan—tersimpan di kedalaman hatinya yang masih terluka.
Mungkin... malam ini, menerima ajakan Farah ke klub malam adalah cara terbaik untuk melupakan sejenak semuanya. Dan malam pun menjanjikan petualangan baru—entah akan membawa mereka pada kebebasan... atau justru pada rahasia yang lebih dalam lagi.
***
MO Bar & Pub, 09.00 PM
Lampu strobo menari liar di tengah lantunan musik EDM yang mengguncang lantai dansa. Suasana ramai, sesak, dan penuh dengan aroma alkohol serta parfum mahal. Nina dan Farah larut dalam irama, membiarkan tubuh mereka menari mengikuti beat yang menghentak dada. Gelas demi gelas wine masuk tanpa terasa, membawa kesadaran mereka terombang-ambing di antara euforia dan batas kewarasan.
Nina tiba-tiba menghentikan langkah. Tangannya memegang perut, wajahnya pucat.
"Farah... aku ke toilet dulu..." gumamnya sebelum berbalik arah, tertatih menuju belakang ruangan.
Begitu keluar dari washroom, tubuh Nina yang limbung menabrak seseorang—keras. Dia terhuyung. Suara pria itu menggelegar di atas dentuman musik.
"NINA?!"
Mata Nina membulat. Jantungnya melonjak liar. Tapi dia segera menarik napas, mencoba tetap tenang meski pikirannya porak-poranda.
Sebelum sempat berkata apa-apa, Hanssel sudah menarik lengannya kasar—dan tanpa aba-aba, bibirnya langsung melumat bibir Nina dengan penuh emosi. Ganas. Menggigit.
PLAAAK!!
Satu tamparan keras mendarat di pipi pria itu. Nina menatap penuh kemarahan, suaranya bergetar, matanya membara.
"Anda gila! Jangan dekati saya! Saya tidak kenal Anda!!"
Hanssel terdiam sejenak. Bibirnya pecah, tapi dia menyeringai. Liar. Matanya menatap tubuh Nina yang nyaris tumbang karena kehilangan keseimbangan.
"Kau boleh berdalih apapun… Tapi aku tahu, Nina. Aku tahu siapa kamu! Wangi parfummu... Eau de Magnolia... hanya kamu yang memakainya. Karennina Kaviandra!"
Nina terpaku. Raut wajahnya menyimpan keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan meski hanya sepersekian detik… lalu semuanya gelap. Tubuhnya roboh. Tak sadarkan diri.
Hanssel menyakini wanita di depannya adalah Nina. Walau tampilan mereka berdua bagai Bumi dan Mars tapi Hanssel berfirasat wanita didepannya memang sekertarisnya.
"Jika aku benar-benar jahat saat ini aku sudah menyantapmu!!"
Hanssel menyentuh setiap inci tubuh Nina, tubuhnya merasakan desiran yang membuat darahnya terasa panas, dia terus menelan salivanya. Dia kembali mencium bibir ranum Nina kemudian dia membuka satu persatu pakaian yang melekat pada tubuh wanitanya.
"Kamu sungguh sangat menggoda.... Mmmmm...."
***
Keesokan harinya…
Desiran pagi menyusup masuk lewat sela tirai yang terbuka sedikit. Sinar mentari menyentuh pipi Nina, membuat matanya perlahan terbuka. Sesaat, semua terasa asing. Lalu datanglah kesadaran yang menghantam seperti gelombang besar.
Matanya membulat. Nafasnya tercekat. Seluruh tubuhnya terasa dingin saat menyadari satu hal, dia tidak mengenakan apa-apa.
Jantung Nina berdebar liar. Ia menoleh, pelan, sangat pelan—dan nyaris menjerit saat melihat sosok pria bertelanjang dada, terlelap di sampingnya. Hanssel. Bosnya. Pria yang seharusnya hanya sebatas atasan di kantor, kini ada di tempat tidur yang sama dengannya.
Tapi logika Nina bekerja cepat, meski gemetar, mencoba berpikir jernih.
"Aku tidak merasakan apa-apa… di bawah sana… tidak ada rasa sakit. Tidak ada rasa asing. Jadi… tidak terjadi apa-apa?"
Detik berikutnya, tubuhnya bergerak cepat. Dengan sangat hati-hati ia bangkit dari ranjang, mengumpulkan pakaiannya satu per satu, lalu mengendap-endap keluar dari apartemen mewah itu. Nafasnya tercekat sepanjang jalan, takut langkah kecilnya membangunkan Hanssel.
Begitu sampai di apartemennya, Nina terduduk lemas. Wajahnya muram. Nafasnya berat. Farah menghampirinya dengan ekspresi khawatir.
"Aku sungguh mengkhawatirkanmu... Aku sampai menelponmu berkali-kali. Tapi tahu apa yang kudapat? Seorang pria mengaku sebagai teman kencanmu mengangkat telepon dan bilang kamu bersamanya malam itu." Farah menatapnya penuh selidik.
Nina memejamkan mata, mencoba mengingat. Yang bisa ia bayangkan hanyalah cahaya lampu berpendar, wajah Hanssel, dan… hitam. Tidak ada apa pun setelah itu.
Sementara itu, di apartemen Hanssel…
Hanssel membuka matanya perlahan. Ia merentangkan tangan ke sisi tempat tidur—kosong.
Senyum tipis mengembang di bibirnya.
"Kamu benar-benar pandai melarikan diri, Nina... Tapi kita lihat sejauh mana kamu bisa mempertahankan permainanmu di kantor." Suaranya berat namun mengandung tantangan.
Ia bangkit, mengenakan jubah satin, lalu berjalan menuju kamar mandi. Di depan cermin, ia tersenyum melihat refleksi dirinya.
"Bulan ini menarik. Setidaknya kali ini aku tidak harus berusaha mencari—wanitaku datang sendiri… dan dia luar biasa menggoda."
Ia terkekeh ringan, lalu menghubungi seseorang.
"Farell, siapkan keberangkatan ke Bali akhir pekan ini. Aku ingin bertemu mitra kita di sana... dan jangan lupa, siapkan kamar terbaik." Matanya menatap jauh ke luar jendela, masih dengan senyum mengembang.
Hanssel tahu permainan baru saja dimulai. Dan dia tidak sabar menanti babak selanjutnya.
Di kantor Adamson Group, hiruk-pikuk pekerjaan sudah terdengar sejak pagi. Karyawan berlalu-lalang, sibuk dengan tumpukan berkas dan panggilan bisnis. Hari itu adalah Jumat—hari yang selalu ditunggu oleh para pekerja dengan sebutan keramat, Thank God It's Friday. Namun, bagi Nina, hari ini justru terasa menyesakkan.
Langkahnya tertahan di tiap detiknya. Di dalam benaknya, berbagai skenario berputar tanpa henti. Bagaimana jika Hanssel mengungkit kejadian semalam? Bagaimana jika penyamarannya terbongkar?
Tuut!
"Bawakan aku berkas Lee Hi!"
Suara dingin itu membuat jantung Nina berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Baik, Tuan," jawabnya datar, berusaha menahan gugup yang mulai merayapi tenggorokannya.
Dengan langkah gontai, ia menuju ruang kerja Hanssel. Ingin rasanya ia berbalik, menghilang, atau mengajukan cuti sebulan penuh. Namun ia tahu, menghadapi badai adalah satu-satunya pilihan.
"Ini berkas yang perlu Anda tandatangani. Lalu, sore ini Anda mendapat persetujuan kerja sama dengan JK di Hong Kong. Perlu saya jadwalkan ulang perjalanan bisnisnya?"
Hanssel tidak menjawab. Matanya terpaku pada sosok Nina. Bukan pada berkas, bukan pula pada rencana bisnis. Tatapan itu seperti menelanjangi setiap lapis penyamarannya.
Nina mengerutkan dahi, mulai risih. "Apa Anda tidak mendengarkanku?!" sentaknya dengan nada tinggi.
Hanssel tersenyum miring, bangkit dari kursinya dan perlahan mendekati Nina.
"Apa kamu masih akan menyangkal jika aku bilang... semalam kita bercinta, Karennina?" ucapnya pelan namun tajam seperti sembilu.
Nina menegang, matanya terbelalak. "Sepertinya otak Anda perlu dicuci hari ini!" balas Nina tajam, mencoba menutupi gejolak batinnya.
Hanssel tidak gentar. "Aku tahu itu kamu, Nina. Berhentilah bermain tikus dan kucing denganku. Tidak lelahkah kamu menyembunyikan jati dirimu?"
Dia semakin mendekat, hingga Nina bisa merasakan aroma maskulin khas Hanssel yang membuatnya ingin menampar atau... membenamkan diri dalam pelukannya. Kebingungan itu menyiksa.
"Aku yang membawamu dari bar semalam. Seorang wanita cantik yang tengah mabuk, yang ternyata menyamar menjadi sekretaris kuno dan membosankan ini."
Nina membeku. Bukan karena takut, tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai runtuh. Topeng itu perlahan mulai retak.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments