Di Adamson Group,
Hanssel tengah mondar-mandir, gelisah bukan main. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan kearoganan sekretarisnya dalam mengambil keputusan seenaknya sendiri.
"Jangan-jangan dia masih di Bali sekarang, lagi senang-senang!"
"Hebat ya dia!" gerutunya sambil mengacak rambutnya frustasi.
Sementara itu, Nina melangkah masuk ke kantor, melewati lobby utama. Sebagian besar karyawan yang melihat kedatangannya langsung memasang ekspresi heran. Siapa wanita cantik dengan penampilan modis, pakaian bermerk, high heels elegan, dan rambut gelombang yang ditata rapi itu? Meski masih memakai kacamata, kini tampilannya sangat berbeda. Kacamata yang dipakainya justru menambah aura classy, bukan seperti biasanya.
"HEI!"
Teriakan Jessica menghentikan langkah Nina. Ia berdiri di hadapan Nina, memblokir jalan bersama dua sahabatnya, Cindy dan Marsha.
"Ck..." Nina mendecak pelan. Sudah menjadi kebiasaannya menghadapi Ratu Bullying kantor itu. Entah kenapa Jessica tidak pernah kapok.
"Kamu siapa? Karyawan baru?" tanya Jessica dengan nada penuh sindiran.
"Atau mau ngaku-ngaku teman kencan barunya Tuan Hanssel?" tambah Cindy dengan tawa mengejek.
Nina mengangkat satu sudut bibirnya. Senyum menyebalkan yang selalu membuat lawannya sebal setengah mati.
Ternyata, hanya dengan sedikit perubahan penampilan saja, tidak ada satu pun dari mereka mengenali Nina. Memang, selama ini ia tidak pernah memakai ID Card atau tanda pengenal sengaja agar tidak menarik perhatian. Tapi kini, justru menjadi sasaran empuk Jessica.
Jessica sendiri memang memiliki alasan pribadi membenci Nina. Rumor kantor menyebutkan bahwa Nina adalah sekretaris kesayangan Tuan Hanssel. Dalam dua tahun berturut-turut, Nina bahkan menyabet gelar karyawan terbaik langsung dari tangan bos mereka. Bagaimana bisa? Dengan tampilan kuno dan kepribadian yang cuek, Nina masih bisa bertahan di sisi Tuan Hanssel?
Padahal, Jessica yang lebih modis dan aktif menjilat sana-sini belum pernah mendapat perhatian serupa. Apalagi setelah mendengar desas-desus bahwa Nina hampir kedapatan bermesraan dengan sang bos. Lengkap sudah alasan Jessica untuk semakin membenci wanita yang kini berdiri dengan penuh percaya diri di hadapannya.
"Aku tidak punya waktu meladeni omong kosong kalian..." ucap Nina dengan suara sedingin es, tatapannya tajam menusuk seperti belati. Ia berjalan melewati ketiga wanita itu, mendorong tubuh mereka dengan anggun namun tegas, seolah mereka hanya bayangan yang tak layak menghalangi jalannya.
"HAH?!"
"BERANINYA KAU!"
Jessica melotot, rasa malu dan harga dirinya yang terkoyak langsung meledak. Tangannya terangkat, siap melayang ke wajah Nina—
Namun tertahan.
Cengkraman kuat menggenggam pergelangan tangannya.
"T-Tuan Hanssel..." bisik Jessica gemetar.
Hanssel menatapnya tajam. Dengan ekspresi membeku, ia melepaskan tangan Jessica dari cengkeramannya seolah gadis itu kotoran.
Nina menghentikan langkahnya. Ia perlahan berbalik dan menyilangkan tangan di dada, menyaksikan drama murahan ini dengan senyum sinis.
"Apa ini cara kalian memperlakukan rekan kerja?"
"Apa kalian pikir ini pasar malam?!"
"Apa kalian masih mau bekerja di perusahaan ini?!" suara Hanssel menghentak seperti gelegar petir di langit cerah.
Jessica dan kedua temannya langsung bersimpuh, memohon seperti pengemis yang tak punya martabat.
"M-maaf tuan... saya hanya bertanya siapa dia... dia masuk tanpa melapor..." Jessica berusaha menyelamatkan wajahnya yang sudah tercabik.
"Benar tuan, kami hanya... kami tidak tahu..." timpal Cindy dengan suara bergetar.
Hanssel mendekat ke arah Nina. Tatapannya tajam, namun senyuman tipis penuh ironi mulai terbentuk di wajahnya.
"Kalian... tidak tahu siapa dia?"
"Lucu. Selama ini kalian bekerja di bawah satu atap tapi bahkan tidak mengenali tangan kiriku sendiri."
"Kenalkan... dia adalah KARENNINA KAVIANDRA. Sekretaris eksekutifku. Otak di balik seluruh kelancaran pekerjaan kita selama dua tahun terakhir. Dan juga... orang yang selalu aku andalkan."
"Untuk apa dia melapor? Ini rumahnya. Kalianlah tamu-tamu tidak tahu diri!"
"A-APA?!"
"Ti-tidak mungkin..."
"Minta maaf. Sekarang juga!"
"T-tapi tuan..."
"MINTA MAAF SEKARANG JUGA!!!" suara Hanssel membelah keheningan seperti cambuk neraka.
Ketiganya membungkuk, terbata. "Ma-maafkan kami, Karennina..."
Mereka hendak lari dari tempat kejadian dengan wajah merah padam.
Namun suara Nina menghentikan langkah mereka.
"Tunggu. Siapa yang bilang kalian boleh pergi?"
Ketiganya membeku.
"Aku belum bilang aku memaafkan kalian."
Jessica mengepalkan tangan, matanya berair namun penuh dendam. Ujung dress-nya hampir robek karena terlalu kuat diremas.
"Dengar ya... kalian sudah terlalu sering menjadikan aku sasaran. Tapi sekarang... aku berdiri, dan aku tidak akan diam."
Nina menoleh pada Hanssel dengan senyum licik.
"Tuan Hanssel... bagaimana jika mereka diberi pelajaran tata krama? Kuharap tidak berlebihan kalau kukatakan... biarkan mereka membersihkan seluruh toilet di gedung ini hari ini?"
Hanssel tertawa lirih. "Sangat masuk akal."
"Dan ini menjadi peringatan untuk SEMUA ORANG DI SINI. Aku tidak ingin mendengar satu pun kasus bullying atau pelecehan seperti ini lagi di kantor ini!"
"Farell."
"Iya tuan."
"Bawa mereka ke ruang cleaning service. Berikan mereka pakaian kerja. Mereka absen hari ini. Denda absensi dan moral, dan segera laporkan ke Human Capital."
"Baik tuan."
Ketiganya menjerit saat para petugas keamanan menggiring mereka.
"Tidaaakk! J-jangan tuan! Aku mohon!"
"Kembali bekerja!" bentak Hanssel, membuat kerumunan karyawan bubar dengan cepat, namun bisikan desas-desus masih bergema di sepanjang lorong.
Nina menghembuskan napas panjang. Ia membalik badan menuju lift dengan tenang.
Namun baru beberapa langkah—
"HEY, KAMU!!!"
Hanssel menghampirinya dan mencengkram lengannya.
"Aww! K-kamu kenapa?!" Nina memprotes keras.
"Sudah aku bantu, nyelonong gitu aja?!"
"Tanpa kamu pun aku bisa hadapi mereka! Aku sudah terbiasa!" jawab Nina tajam.
Hanssel tampak semakin murka. Ia menggertakkan gigi, lalu menarik tangan Nina paksa.
"H-Hanssel?! Kamu mau bawa aku kemana?!"
Tanpa menjawab, Hanssel menyeret Nina menuju mobil pribadinya. Ia membukakan pintu dengan kasar dan mendorong tubuh Nina masuk.
"HANSSEL!!!"
Bug!
Pintu ditutup keras. Hanssel memutar ke sisi kemudi dan menginjak pedal gas. Mobil melaju, meninggalkan gedung perusahaan yang kini seakan menjadi saksi bisu drama besar mereka.
Nina hanya bisa terdiam di dalam mobil, nafasnya tak beraturan. Dalam hati, ia bertanya-tanya—
Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku, Hanssel?
Hanssel memacu mobil sportnya dengan kecepatan ekstra di jalanan ibu kota, membelah keramaian menuju jalan bebas hambatan. Di kursi sebelah, Nina menggertakkan gigi, berusaha menahan amarah dan rasa lelah yang masih menggantung di wajahnya.
"Kamu mau bawa aku ke mana, Hanssel?!"
"Bukannya kita ada jadwal padat sekarang?!"
Hanssel melirik ke arahnya sejenak, lalu menatap kembali ke jalan. "Kita pulang sekarang, ya..."
Nada suara Nina yang tadinya tinggi mulai melunak. Ada yang berbeda dari sorot mata pria di sebelahnya. Tanpa sadar, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.
"Aku lapar," ucap Hanssel tiba-tiba. "Mau makan di Bandung."
"WHAT THE F*CK!" Nina mengumpat kasar, menoleh dengan ekspresi tidak percaya.
Hanssel hanya menanggapi dengan senyuman tipis khasnya. "Patuhlah. Aku tidak akan melakukan apa-apa. Lagipula kamu lupa, hari ini terakhir proses peralihan hak atas Mentari Abadi."
"Oh..."
"Ngomong dong dari tadi, biar nggak salah sangka!" Nina memalingkan wajah dengan kesal.
Hanssel tidak menjawab. Ia hanya menghela napas dan terus menyetir, membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Tak lama kemudian, Nina yang kelelahan mulai tertidur. Nafasnya pelan dan teratur, wajahnya terlihat jauh lebih damai saat terlelap.
Hanssel meliriknya sekilas, lalu tersenyum kecil. Ketika memasuki rest area, ia memarkir mobil, keluar, dan kembali dengan kopi panas serta beberapa kudapan. Matanya tampak lelah, kantung matanya mulai menghitam, sisa begadang semalam.
Ia menyeruput kopinya sebentar lalu menoleh ke Nina. Wanita itu masih tertidur nyenyak.
"Jika dari awal kamu berpenampilan seperti ini, mungkin kamu nggak akan bertahan dua tahun," gumam Hanssel, lalu tanpa aba-aba, ia mendekat dan mencium bibir Nina dengan perlahan, penuh hasrat yang tertahan.
Yang mengejutkan, tubuh Nina merespons. Dia merintih pelan, dan bibirnya membalas sentuhan Hanssel dengan lembut. Mata Hanssel melebar, lalu senyum miring muncul di wajahnya. Ia memperdalam ciumannya, tangannya mulai menjelajah, menyentuh pipi Nina, lalu turun ke lehernya.
"Mmm..."
Nina mengerjap perlahan. Saat kesadarannya kembali, ia terkejut mendapati Hanssel tengah mencumbu bibirnya tanpa izin.
"AAARRGGHH!! HANSSEL, KAMU KURANG AJAR!!"
Buukk!!
Nina mendorong dada Hanssel sekuat tenaga hingga tubuh pria itu terbentur kemudi. Hanssel tergelak, menahan nyeri sambil memegang bibirnya.
"Manis sekali," katanya dengan suara berat dan tatapan penuh gairah.
"KAU!!!" Nina menahan amarah, napasnya memburu.
"Nih kopi, tidurmu pules banget. Kayak kebo," sahut Hanssel dengan santai sambil menyodorkan kopi ke arahnya.
"WHAAAT!!!" Nina berseru kesal.
"Kamu tidur, aku ikut ngantuk. Mana semalam nggak tidur."
"Kalau lelah, kenapa maksa nyetir sendiri?!"
"Aku udah hubungi Pak Yanto buat nyusul ke sini. Aku tidur bentar aja, ya. Kamu makan dulu. Itu buat kamu."
Hanssel menyandarkan punggungnya ke kursi dan memejamkan mata. Dalam hitungan detik, ia terlelap.
Nina hanya bisa terdiam, menatap pria itu dengan ekspresi campur aduk. Ia menyesap kopi yang disodorkan padanya. Ada rasa hangat itu justru membangkitkan kegelisahan baru.
Jangan mikir macem-macem, please! Gue udah mau serius sama Rangga! Si babi ini emang hobi nyosor sana-sini! Gausah baper... Gausah, please... Hati, tolong kerja sama! Kita cuma rekan kerja!
Tapi hatinya tak bisa berbohong. Ada debar yang tak wajar sejak tadi. Dan itu membuat Nina semakin kacau.
Nina berusaha menenangkan debaran jantungnya sambil menyuap croissant hangat yang dibeli Hanssel. Rasanya pas, manis dan renyah. Kopi yang dia seruput pun favoritnya. Latte tanpa gula, creamy dengan aftertaste ringan.
Dia ingat aku suka kopi ini...
Dengkuran lembut terdengar. Nina melirik ke samping, menatap lekat wajah pria yang sedang tertidur itu. Bahkan dalam keadaan lelah, Hanssel tetap terlihat... memesona.
Seandainya kamu nggak seangkuh ini... Nggak semudah itu mempermainkan wanita. Mungkin dari dulu aku udah benar-benar jatuh hati padamu.
Nina menghabiskan potongan terakhir dari kue coklat yang manisnya pas, lalu menyeruput sisa kopi. Ia kemudian menyandarkan punggung dan memutar musik jazz kesukaannya, tembang klasik yang tenang tapi penuh emosi.
“Hening banget... cuma suara ngorok si babi kek di kuburan,” gumamnya sambil tersenyum kecil.
Tak lama kemudian, Hanssel terbangun. Ia membuka matanya perlahan, lalu duduk tegak sambil menggenggam kopinya. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Nina hanya diam, membeku seperti patung agar tak mengganggu suasana.
Namun, Hanssel tiba-tiba membalikkan tubuh dan mencondongkan tubuhnya ke arah Nina.
“M-mau apa kamu?” Nina bergeser sedikit, refleks.
“Kamu makan kue aja bisa berantakan kayak bocah,” gumam Hanssel seraya menyentuh ujung bibir Nina dengan jari telunjuknya. Lembut, nyaris seperti belaian.
Deg.
Suasana berubah. Musik jazz mengalun pelan, membungkus keheningan dalam keintiman.
“Manis,” bisik Hanssel, suaranya rendah. “Boleh aku cicip lagi?”
Nina tak sempat menjawab. Hanssel meraih wajahnya dan menyentuh bibir Nina lagi. Tak seperti sebelumnya, ciuman ini terasa lebih dalam. Tidak terburu-buru. Tidak sekadar godaan.
Dan kali ini, Nina tidak menolak, tangannya bahkan naik, melingkar di belakang leher Hanssel.
Mereka larut, menyatu dalam ciuman yang terasa seperti racun, memabukkan tapi tak bisa ditolak. Saat Hanssel turun mengecup lembut di sepanjang rahang hingga leher Nina, napasnya memburu. Suaranya menggetar saat membisikkan nama Nina.
“Arrhh… Hanssel, jangan...”
Nina mengatupkan matanya rapat, antara melawan dan... menyerah. Tapi hatinya sedang panik luar biasa. Ini salah. Ini gila. Tapi kenapa rasanya benar?
"Nina, sayang... kita sewa kamar sebentar, yuk?" goda Hanssel dengan senyum menggoda di sudut bibirnya.
Nina langsung mendelik, "GUNDULMU!!" bentaknya, membuat Hanssel tertawa terbahak.
"Hahaha! Kamu memang paling jago bikin hasrat yang udah nyala jadi padam mendadak," candanya sambil menyentuhkan bibirnya sekali lagi ke bibir Nina, sekilas tapi dalam.
"Udah ya," keluh Nina sambil memalingkan wajah. "Bibirku kebas, sumpah..."
"Oke, oke... aku lepasin dulu sekarang," bisik Hanssel lembut, tapi tangannya masih membelai leher Nina. "Tapi lain kali… aku nggak akan sebaik ini lagi," bisiknya, menyusupkan ciuman kecil di bawah telinga Nina.
Nina menghela napas panjang dan mulai merapikan penampilannya yang sedikit berantakan. Sementara itu, Hanssel tampak seperti mendapat energi baru. Matanya berbinar, jemarinya masih sempat-sempatnya meraih tangan Nina dan menciumnya singkat saat kembali mengemudi.
Nina hanya diam. Kalau Hanssel mendapat suntikan semangat dari adegan barusan, Nina justru merasa... habis. Tenaga dan emosinya seperti terkuras oleh seluruh kekacauan yang baru saja terjadi.
Di dalam benaknya, satu kalimat terus berulang, Jangan baper... jangan baper... jangan baper, Nina!
Sementara itu Hanssel, dengan sisa kopi yang kini terasa hambar, hanya bisa menyimpan gumaman di hatinya sendiri.
Nina... I'm addicted to you. Entah kenapa, kamu rasanya beda. Lebih dari siapa pun yang pernah aku temui.
Dua jam perjalanan berlalu dengan campur aduk perasaan di antara mereka. Begitu sampai di Bandung, Hanssel langsung menurunkan kecepatan mobilnya saat mulai memasuki area parkir Hotel Hilton.
“Pertemuan penting kita di sini. Semoga kamu masih bisa fokus setelah semua ini,” kata Hanssel sambil melirik genit ke arah Nina.
Nina menatapnya tajam, tapi pipinya memerah. “Jaga sikap, Tuan Hanssel... kita di tempat umum sekarang.”
Hanssel hanya tertawa pelan, matanya menyiratkan satu hal Permainan baru saja dimulai!
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments