Nina terkekeh pelan menanggapi perkataan bosnya, namun dalam dadanya, badai mulai bergemuruh.
"Aku memiliki bukti kuat, Nina," ujar Hanssel dengan senyum penuh makna. "Aku baru menyadari, kamu juga pandai memanipulasi CCTV rumahku. Ternyata kamu memiliki akses ke sana."
DEG!
Debar jantung Nina semakin tak terkendali. Peluh dingin mulai membasahi pelipisnya. Sial. Jangan sampai dia tahu lebih dari itu. Tapi tatapan Hanssel, tajam dan menyelidik, seolah menembus setiap lapisan topengnya.
Tanpa aba-aba, Hanssel mengusap lembut pipi Nina, lalu mengapit wajahnya dengan satu tangan besar miliknya. Nina terbelalak, tidak menyangka pria itu berani bertindak sejauh ini. Dia berusaha berontak, namun satu tangan lainnya sudah menahan pergelangan tangannya.
"Malam itu... aku pikir kamu sadar, sebelum kamu pingsan aku menciummu, bukan?"
Nina terpaku. Matanya membulat.
"Benar, aku menggigit bibirmu," lanjut Hanssel pelan, nyaris berbisik. "Sebagai bukti... bahwa semalam, kita memang bersama."
Tubuh Nina menegang, ingatan samar itu seolah menggedor pikirannya. Hanssel mencondongkan tubuh, hendak kembali mencium bibir yang membuatnya tergila-gila, namun Nina mendorongnya sekuat tenaga.
"Teruslah berontak, Nina..." gumam Hanssel dalam hati, senyumnya menyeringai. "Semakin kamu menjauh, semakin aku menginginkanmu."
"Benar itu aku! Lantas kenapa?!" bentak Nina tiba-tiba, menantang.
"Kalau begitu, jadilah pacarku sekarang juga," ucap Hanssel mantap.
Nina tertawa terbahak-bahak, getir dan sinis. "HAHAHAHA! Kamu kurang kopi, ya?! Mau aku buatin sekarang juga?!"
Tanpa menunggu jawaban, Nina melenggang pergi, meninggalkan Hanssel dengan wajah tak percaya.
"Hah?!" Hanssel terpaku.
"Kenapa dia selalu menolakku?! Apa aku kurang tampan? Kurang kaya?!"
Penuh kesal dan bingung, Hanssel merogoh ponselnya, menghubungi Farell. Tapi hatinya tetap tertuju pada satu hal:
"Bukan Hanssel namanya kalau tidak bisa mendapatkanmu, Karennina Kaviandra!"
Sementara itu di ruangannya, Nina tak mampu menahan air mata yang tiba-tiba mengalir. Dia menunduk, wajahnya tenggelam dalam kedua lengannya yang bertumpu di meja kerja.
"Baru saja aku mendapatkan kenaikan gaji besar dan punya rencana tentang Suho... Sekarang si brengsek itu tahu siapa aku sebenarnya!"
Namun pikirannya cepat teralihkan.
"Tunggu... bukankah dia hanya mengenali wajah asliku saja? Bukan nama dan latar belakangku?"
Dia menggigit bibirnya. "Kenapa kamu jadi selemah ini, Nina?!"
Dia menggeleng kuat, mencoba kembali fokus. Tugas-tugasnya harus selesai on time. Itu satu-satunya cara untuk menghindari overtime, dan... mengurangi frekuensi bertemu pria gila itu.
Namun harapannya runtuh seketika.
"Nina, persiapkan dirimu besok pagi. Belikan tiket untuk perjalanan bisnis kita ke Bali selama dua hari," suara husky itu terdengar dari belakang, mengejutkannya hingga hampir melompat dari kursi.
Hanssel berdiri di ambang pintu, senyumnya menyeringai seperti biasa.
"Kenapa mendadak? Bukankah biasanya anda pergi bersama Farell?" tanya Nina penuh curiga.
"Farell tengah mengurusi masalah Mentari Abadi," jawab Hanssel datar, lalu duduk santai di depan meja Nina.
Tatapan Nina makin kesal. Dia mendengus dan melipat kedua lengannya.
"Apa karena kamu tahu aku punya tampilan sesuai tipe wanita idealmu, jadi kamu ajak aku sekarang?!"
"Berhentilah berdebat dengan pemikiran konyolmu itu, Nina."
Hanssel berdiri, membetulkan jasnya. "I'm done! Jangan lupa, besok pagi aku akan menjemputmu di bandara."
Nina terpaku. Tidak percaya dengan perubahan sikap Hanssel yang mendadak. Dulu, pria itu bahkan tak sudi berbincang lama dengannya. Apalagi mengajaknya dinas luar kota.
Hanssel biasanya hanya membawa Farell dan wanita simpanannya untuk menghibur diri.
Namun kini... pria itu menginginkannya. Dan Nina tahu, itu bukan hal baik.
Tring!
Sebuah notifikasi pesan masuk membuat Nina menoleh cepat. Begitu membaca isi pesannya, senyumnya merekah pelan. Jari-jarinya langsung bergerak lincah mencari penerbangan ke Bali dan memesan tiket perjalanan bisnis atas nama dirinya dan bosnya, Hanssel Adamson.
[ Karen, aku mengetahui bahwa Erick besok ada perjamuan penting dengan klien utamanya, Emperor, di Bali. Aku juga mendapatkan informasi tambahan bahwa dia akan membawa serta seluruh keluarganya termasuk Jimmy. ]
Jantung Nina berdentum. Tangannya gemetar menatap layar ponsel. Jemarinya mencengkram erat ponsel itu, seperti sedang menggenggam harapan yang nyaris musnah.
Sesampainya di apartemen, dia mendapati rumahnya sepi. Kecemasan menjalar cepat. Dengan panik dia menekan tombol kontak Farah.
"Kamu kemana?!" tanyanya cepat, suara serak menahan gelisah.
"Aku mendadak ada urusan ke KL. Maaf ya, nggak sempat pamit... Tapi aku sudah rapihkan rumahmu!"
Nina menghela napas dalam, matanya basah. "Baiklah... Aku juga ada urusan bisnis ke Bali..."
Hening sejenak, lalu suaranya berubah lirih, nyaris seperti bisikan yang menyayat.
"Doakan aku... Aku akan membawa Jimmy-ku kembali..."
"Oh ya? Bagaimana bisa?" sahut Farah cepat, terdengar penuh penasaran dan cemas sekaligus.
Nina menatap ke luar jendela, menatap langit malam yang mendung.
"Aku tidak tahu... Tapi aku harus mencobanya. Ini kesempatan satu-satunya. Jika Erick benar ada di sana dan Jimmy, aku akan melindunginya... walau dengan nyawaku sendiri."
Keduanya larut dalam perbincangan panjang, tidak menyadari waktu yang terus berjalan. Nina bahkan lupa bahwa ia tengah melakukan sambungan internasional yang mahal. Tapi itu tidak penting, tidak jika itu tentang Jimmy.
***
Nina tengah sibuk mempersiapkan beberapa pasang pakaian untuk perjalanan bisnisnya ke Bali. Meski kini bosnya telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya, Nina belum berniat untuk sepenuhnya menanggalkan penyamarannya. Penampilan lamanya masih menjadi tameng, pelindung dari sikap agresif pria itu terhadap wanita cantik yang memenuhi kriterianya.
Dering pelan ponselnya terdengar dari arah nakas. Dia melangkah pelan, mengambil ponsel yang sedang mengisi daya di sebelah tempat tidur.
"Halo..."
"Apa kamu sudah persiapkan semuanya?" Suara serak itu terdengar, dalam, berat, dan menghanyutkan. Membuat bulu kuduk Nina berdiri. Hanssel.
"Sudah, Tuan... Pesawat take off pukul 08.00 pagi. Kita bisa berangkat satu jam sebelumnya."
Nina berusaha terdengar tenang, menahan gemetar suaranya.
"Oh iya, Anda tidak perlu menjemput saya. Saya pastikan akan berada di sana sebelum Anda datang—dengan satu cup kopi favorit Anda."
"HAHAHA!! Okay..."
Sambungan telepon terputus, tapi degup di dada Nina belum juga reda.
Apartemen Hanssel
Di tempat lain, Hanssel menatap langit-langit kamarnya, senyumnya perlahan mengembang. Kenangan semalam membayang begitu jelas bagaimana jemarinya membuka satu per satu pakaian wanita itu. Tangannya sempat bergetar, bukan karena takut, tapi karena menahan hasrat yang meletup-letup. Dia, pria yang tak pernah menyimpan perasaan lebih pada wanita mana pun, tiba-tiba merasa... gila.
"Belum apa-apa aku sudah selalu memikirkanmu, Nina... Wanita lain hanya sesaat, tapi kamu... kamu meracuni otakku!"
Hanssel menoleh ke arah meja kerja, tempat berkas Nina tadi siang masih tergeletak. Pandangannya kosong, namun pikirannya penuh.
"Aku masih bisa merasakan hangatnya bibirmu, Nina... Bahkan makianmu pun terdengar indah di telingaku saat kamu menyebutku maniak mesum."
Dia terkekeh, rendah dan penuh arti. Entah mengapa, malam kemarin terasa seperti sebuah kemenangan. Bukan karena dia bisa menelanjangi tubuh wanita itu, tapi karena dia bisa menahan diri. Dan itu membuat Nina semakin berharga.
Perjalanan ini baru saja dimulai dan Hanssel tahu dia tidak akan membiarkan Nina lepas dengan mudah.
***
Sesuai ucapannya, Nina telah lebih dulu tiba di bandara. Penampilannya tetap formal dan sederhana. Rambut disanggul rapi, kacamata bulat besar bertengger di wajahnya. Di tangannya, satu cup kopi dari coffee shop berlogo wanita berambut panjang.
"Pagi, Tuan..." sapanya datar, menyerahkan kopi kepada Hanssel.
"Pagi..." sahut Hanssel sambil menerima kopi, melangkah sejajar menuju area boarding.
Tatapannya tajam menilai Nina dari atas ke bawah.
"Kenapa kamu masih berpenampilan kuno seperti ini sih?! Kacamata kamu itu aku yakin hanya pajangan saja!!"
"Aku nyaman saja. Tidak ada yang perlu diubah," jawab Nina tenang. "Penampilan seperti ini mencerminkan diriku. Dan ya, aku tidak akan menyangkal penampilanku di bar malam itu juga aku. Tapi sekarang kita dalam perjalanan bisnis, jadi aku tampil seperti biasa."
Hanssel menghela nafas panjang, menahan kesal.
Di Dalam Pesawat, setelah boarding selesai, keduanya masuk ke pesawat. Namun, Nina rupanya telah menyusun tempat duduk mereka berjauhan. Hanssel terdiam, matanya menajam.
Dia sengaja membuat jarak...
Hanssel mencengkram lengan kursinya, menahan amarah dan hasrat yang tidak bisa ia salurkan.
Semakin kamu menjauh, Nina... semakin aku ingin mengurungmu dalam pelukanku!
Nina hanya mengulum senyum kecil di kursinya yang jauh dari Hanssel.
Kau pikir semudah itu menguasaiku, Hanssel? Kamu masih bocah... Jika aku memang menginginkanmu, mungkin sudah dari dulu aku manfaatkan itu!
Bandara Ngurah Rai, Bali
Pesawat mendarat dengan mulus. Di pintu kedatangan, seorang supir telah menanti dengan papan nama. Nina yang mengatur semua, menyambut sopan lalu memberikan aba-aba.
Mereka dibawa ke hotel bintang lima kawasan Nusa Dua. Pemandangan laut terlihat jelas dari jendela lobi.
"Ini kunci Anda, Tuan. Kamar Presiden Suites," ucap Nina menyerahkan kunci kamar.
"Kamu?" tanya Hanssel sambil mengernyit.
"Tentu saja kamar biasa. Dan tenang saja, aku sudah memesankan seseorang untuk menemani Anda malam ini."
Bruug!
Tangan Hanssel mencengkeram lengan Nina dan menariknya kuat. Mata pria itu berkilat marah.
"Aku tidak butuh wanita panggilan lagi, Nina! Aku mau kamu yang menemaniku!"
Deg!
Dada Nina bergetar hebat. Bukan karena takut, tapi karena gemuruh emosi yang sulit dipahami. Tatapan mereka terkunci. Dan dalam sepersekian detik, dunia seperti ikut terdiam.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Toko john 125
jadi di sini Rangga yg jdi sad boy 🤫🤫
2023-06-10
1
Ar mer
nexxttttt
2022-05-20
2
Ar mer
extt
2022-05-20
1