Srettt!
Matanya menangkap sosok keluarga yang baru masuk dari pintu utama hotel. Tubuhnya menegang. Dia buru-buru merangkul Hanssel erat, nyaris membenamkan wajah di dadanya.
Hanssel membeku. Oke, ini mengejutkan. Tapi dia tidak menolak.
Dari balik dekapan itu, mata Nina membelalak menahan air mata. Di pelukan seorang wanita, ada anak kecil berusia tiga tahun yang sangat dia kenali.
"Jimmy..." lirihnya nyaris tak terdengar, namun cukup untuk mengguncang dunianya.
Hanssel mengangkat alis. Wow... baru juga aku mengancam, eh dia langsung nempel. Bilang aja kangen aku! pikirnya pongah.
Begitu keluarga itu menjauh, Nina langsung melepas pelukannya.
"Sudah cukup menikmati tubuhku?!" ejek Hanssel dengan senyum menggoda.
"Ge-er tingkat dewa!" Nina mendecak dan berjalan cepat menuju lift.
Hanssel hanya terkekeh kecil. Tapi dalam hati, ada sesuatu yang berbeda. Dia merasa... hangat. Seolah, sejak Nina datang ke hidupnya, dunianya tak pernah lagi membosankan.
***
Nina tengah menikmati berendam di bathtub mewah kamar hotelnya, dihiasi kelopak bunga mawar dan wangi essential oil yang menenangkan. Namun, jauh di balik keheningan dan kenyamanan itu, pikirannya berkecamuk penuh dendam dan kerinduan.
"Erick Shin... Aku akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Tak lama lagi..."
Tatapan Nina menerawang kosong ke langit-langit, sementara jemarinya menyentuh permukaan air yang hangat.
"Jimmy sayang... Tunggu ibu sebentar lagi... Ibu akan menjemputmu, Nak."
Dengan perlahan, Nina menenggelamkan tubuhnya lebih dalam, seakan ingin menghapus semua luka dengan rendaman itu. Tapi suara ketukan pintu membuyarkan semuanya.
Tok! Tok! Tok!
Matanya langsung menajam. "Aku tidak memesan apapun... Brengsek, pasti Hanssel!"
Dengan gerakan cepat, dia menyambar kimono handuk dan melilitkannya ke tubuh. Setelah memastikan tubuhnya cukup tertutup, Nina membuka pintu.
Kreek—
"Apa Bapak tidak tahu sopan— Rangga?!"
Raut wajahnya berubah seketika. Bukan Hanssel, tapi pria dari masa lalunya yang kini berdiri di hadapan dengan senyum tipis.
"Bapak siapa? Bosmu?" goda Rangga santai.
"Astaga, aku pikir kamu nggak akan datang... Masuklah."
Keduanya lalu duduk di balkon, menikmati angin malam Bali yang semilir. Suasana terasa berbeda. Ada rindu yang tersembunyi di balik percakapan mereka.
"Aku sudah bilang akan membantumu," ucap Rangga membuka percakapan.
"Aku dengar E.T sedang mencari supplier bahan baku untuk proyek di Pulau N."
Nina menyipitkan mata, tajam.
"Suho mencobanya? Tapi ini bukan bidang Suho... Apa dia mau bunuh diri?!"
"Yup. Dia nekat."
Tiba-tiba Nina terdiam. Tatapannya berubah curiga.
"Tunggu! Proyek Pulau N?! Berarti... perusahaanku juga ikut tender ini?!"
Rangga hanya mengangkat bahu. Dia memang tidak pernah bertanya tempat Nina bekerja, hanya tahu bahwa wanita itu bekerja di perusahaan multinasional. Tak pernah disangka, sahabatnya sendiri adalah atasan Nina.
Sementara Rangga menyesap welcome drink dari meja, matanya diam-diam mengamati wanita yang kini duduk di hadapannya dengan gelisah.
Sudah lima tahun aku memendam perasaan ini, Nina. Lima tahun! Tapi kamu... kamu malah memilih bajingan itu. Menikah, lalu dicampakkan seperti sampah!
Nina terlihat termenung. Tangan mungilnya memainkan rambut basah yang masih berembun.
"Hei... Apa yang kamu pikirkan?" tanya Rangga, menyadarkan Nina dengan menggerakkan tangan di depan wajahnya.
Kilasan masa lalu muncul sejenak. Rangga adalah teman dekat Nina semasa kuliah di AS. Mereka selalu bersama, belajar, berdebat, tertawa. Tapi semua berubah saat Nina jatuh ke pelukan Erick Shin, pria tampan yang penuh tipu daya. Rangga hanya bisa menyaksikan dari jauh.
Erick terkenal sebagai playboy, namun Nina saat itu buta oleh rayuan manis dan janji-janji omong kosongnya. Keluarga Nina menentang keras hubungan itu, tapi dia tak peduli.
Sampai akhirnya, topeng Erick terlepas dua tahun setelah pernikahan mereka. Erick membawa wanita lain masuk ke rumah, mengusir Nina, bahkan memaksa menandatangani surat peralihan kepemilikan perusahaan pribadinya. Namun luka paling dalam bukan pada harta... tapi pada darah dagingnya sendiri.
Jimmy Shin, anak mereka yang dijadikan taruhan oleh keluarga Shin agar Nina tunduk. Anak itu direnggut darinya. Dan kini... Nina kembali. Bukan sebagai korban. Tapi sebagai badai perlahan tapi pasti, dia akan menuntaskan semuanya.
"Aku sudah memperingatimu dari awal, Nina. Jangan pernah berurusan dengan si brengsek Erick. Tapi kamu nggak dengar! Lihat sekarang?!" kata Rangga dengan nada getir.
"Aku tahu... Aku sungguh menyesal... I'll fix it," jawab Nina dengan suara lirih, nyaris tak terdengar.
Lalu, dengan mata yang jernih namun penuh harap, Nina menatap Rangga. "Jadi... maukah kamu membantuku?"
Rangga terdiam sejenak. Napasnya berat. Lalu ia berkata pelan, "Bolehkah aku mengajukan satu syarat?"
Nina menoleh cepat. "Apa itu?"
Rangga menatap mata Nina dalam-dalam. "Maukah kamu menjadi pacarku?"
DEG!!
***
Beberapa jam kemudian
"Hei bro!!"
"Lu kok di sini?"
Hanssel berpapasan dengan Rangga saat hendak mengunjungi Nina.
"Lah elu juga di sini?" tanya Rangga, sedikit terkejut dengan sapaan itu yang membuyarkan kemelut pikirannya.
Keduanya berjabat tangan dan saling berpelukan. Hanssel lalu merangkul bahu sahabatnya.
"Lu kenapa? Kayak sedih gitu?!"
"Ah, enggak... Barusan gue ketemu klien buat gue urus kasus peralihan hak asuh."
"Minum yuk di bawah!" ajak Hanssel. Sepertinya mereka butuh kembali mengobrol.
Namun sebelum berbalik arah, Hanssel sempat melirik ke arah jalan menuju kamar Nina.
Selamat kamu lepas dariku sementara, Nina!!
Di salah satu bar kawasan hotel, Rangga terlihat sangat tidak bersemangat. Membuat Hanssel yang duduk di sebelahnya ikut merasa tak nyaman.
Hanssel dan Rangga sudah berteman sejak kecil. Mereka satu sekolah, satu lingkungan. Hingga akhirnya Rangga pindah ke AS mengikuti ayahnya, dan melanjutkan kuliah di sana. Sedangkan Hanssel sempat menetap di Australia sebelum kembali ke tanah air dan meneruskan bisnis keluarga.
"Lu murung gitu... Lagi patah hati apa gimana?" tanya Hanssel hati-hati sambil meneguk minumannya.
Di antara lingkar pertemanan mereka, Rangga selalu dikenal sebagai sosok yang tenang, tulus, dan nyaris tanpa cela. Ia seperti langit sore yang selalu teduh, tidak pernah menghakimi, tak pernah mengumbar asmara.
Berbeda jauh dengan Hanssel yang flamboyan, doyan gonta-ganti pasangan, dan memandang wanita seperti baju sekali pakai—dipakai, lalu dibuang saat bosan. Sedangkan Rangga, ia memperlakukan wanita seperti permata langka. Jika hatinya telah terpaut pada satu sosok, maka dialah satu-satunya, awal dan akhir, tidak akan ada yang lain.
"BTW, bro..." Hanssel menyenggol bahu Rangga iseng, meneguk whiskey miliknya, "Setua ini masa belum ngenalin juga siapa gebetan lu?"
Rangga hanya tersenyum samar, tak menjawab.
"Jangan-jangan... lu jomblo?!" Hanssel menyipitkan mata dramatis. "Atau—" ia melirik penuh kecurigaan, "Lu homo?!"
Rangga menatapnya sekilas. Tanpa bicara, ia langsung menenggak habis isi gelasnya.
"Bangs*t!" umpat Rangga dengan nada lelah.
Hanssel langsung tergelak, tertawa puas karena berhasil memancing reaksi dari sahabat kalemnya itu.
Tak lama, suasana mulai terasa ganjil. Sejumlah wanita penghibur yang mengenakan pakaian minim dan parfum menyengat mulai menatap ke arah mereka. Senyum dan lirikan menggoda mengarah pada dua pria tampan yang sedang duduk tenang di sudut bar.
Dua wanita akhirnya mendekat, menggoda tanpa malu-malu.
"Hai, kalian sendirian? Mau ditemani ngobrol?" suara menggoda itu menusuk telinga Rangga.
Salah satu dari mereka mencoba merangkul bahunya.
Namun detik berikutnya—
Brukk!
"Aaw..." perempuan itu terjerembab ke lantai saat Rangga menepis dan mendorongnya kasar.
"Wah, parah..." gumam yang lain dengan nada kesal.
Wajah Rangga mengeras. "Minggir!" hardiknya dingin.
Hanssel menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Maaf ya, kami nggak tertarik buat main malam ini," ucapnya halus.
Dua wanita itu pergi dengan rutukan pelan, membuat Hanssel hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Bro... nggak gitu juga dong sama cewek," gumam Hanssel, menatap Rangga serius. "Ntar nggak ada yang mau ama lu. Kasian Om ama Tante, pewaris satu-satunya ilang."
Rangga menarik napas panjang, menunduk. Matanya kosong. "Gue udah baik, udah sopan... tapi tetep nggak dianggap. Bahkan dilirik pun enggak."
Hanssel langsung menoleh cepat. "Eh? Cewek mana tuh yang berani mainin lu?"
Wajahnya berubah garang. "KURANG AJAR!!"
"SIAPA DIA?! BILANG AMA GUE, GUE LABRAK MALAM INI JUGA!!"
Hanssel langsung berdiri, siap tempur. Sementara Rangga hanya tersenyum pahit, menuangkan kembali wine ke gelasnya yang kini kosong.
"Gue... nggak pernah pacaran ama dia," ucapnya pelan. "Lima tahun, bro. Dari lima tahun lalu sampai sekarang... gue ditolak terus."
Hanssel membelalakkan mata. "ANJ*R! CEWEK GOBLOK BANGET TUH!!"
"GUE GA MAU DENGER LAGI NAMA DIA! BIAR NYESEL HIDUP SEUMUR HIDUP UDAH NYIA-NYIAIN COWOK BAIK MACAM LU!!"
Rangga diam dengan tenang. Tapi wajahnya menyiratkan luka yang dalam. Hanssel yang malah meledak-ledak, ingin menghajar siapa pun yang telah membuat sahabatnya seperti ini.
"Bilang aja siapa dia..." gumamnya dengan rahang mengeras. "Biar gue ajarin gimana rasanya disakitin."
Tapi Rangga... hanya menatap kosong ke arah gelas.
"Gue cinta mati ama dia, bro... Mau seberapa sering dia nyakitin gue, gue bakal maafin. Karena hati gue udah terlanjur milik dia. Dan sayangnya... nggak ada tombol untuk berhenti."
Hanssel terdiam. Tak ada celetukan, tak ada tawa, bahkan tak ada umpatan sarkas seperti biasanya. Untuk pertama kalinya, dia tertegun dengan pengakuan sahabatnya sendiri.
Rangga... lelaki paling tenang yang ia kenal. Paling sabar. Paling tulus. Dan kini, lelaki itu tengah remuk hanya karena satu perempuan.
Hanssel merasakan sesuatu menghantam dadanya—seperti tamparan keras yang tak terlihat. Bukan dari tangan Rangga, tapi dari kejujuran dan keteguhan hati sahabatnya. Sementara dia... selama ini hanya memperlakukan cinta sebagai permainan murahan. Sesuatu yang bisa dibeli dengan kata manis, dan dibuang begitu saja tanpa rasa bersalah.
Bagi Hanssel, cinta adalah kebodohan. Diperbudak oleh wanita—makhluk yang menurutnya hanya penuh drama—adalah hal paling hina dalam hidupnya.
Namun malam itu... pemikirannya sedikit goyah. Bayangan Nina, sekretaris noraknya yang belakangan ini diam-diam mencuri perhatiannya, tiba-tiba muncul dalam benaknya.
Wajah menyebalkan yang selalu sok tahu itu... Namun, mengapa rasanya wajah itu malah membuatnya tertarik? Segera ia menggelengkan kepala, membuang jauh-jauh pikiran itu.
"Aku hanya ingin bermain-main dengan si nenek lampir itu. Dia selalu membodohiku, titik!"
Hanssel menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya.
"Tenang, sob..." ucapnya akhirnya. "Yang baik pasti bakal datang. Mungkin Tuhan cuma lagi nunjukin kalau dia... bukan yang terbaik buat lo."
Ia menepuk bahu Rangga pelan. "Mau nggak, gue kenalin sama temen cewek gue yang lain? Mereka nggak kalah dari si cewek nggak tahu diri itu."
Rangga hanya tersenyum kecil, senyum yang lebih terasa seperti luka yang sudah lama membusuk.
"Heh..." desahnya lirih dan getir. "Nggak ada cewek manapun yang bisa nandingin kemampuan dia..."
"Dia cantik. Pintar. Punya reputasi baik. Dari keluarga terhormat."
"Dia... sangat sempurna di mataku."
Hanssel tak berkutik. Ia hanya menatap Rangga yang kini seperti tenggelam dalam lautan luka yang dalam.
"Sayangnya," lanjut Rangga, "walau otaknya jenius dalam hal akademik, tapi soal perasaan... dia buta."
"Dia nggak bisa bedain mana yang tulus cinta sama dia... dan mana yang cuma bajingan."
Rangga meraih botol wine di depannya. Tak menunggu lama, ia menenggak langsung dari botol tanpa gelas. Dan dalam hitungan detik... habis tak bersisa. Tubuhnya roboh di kursi empuk bar, kepala terkulai di meja.
Hanssel segera meraih bahu sahabatnya, memastikan dia baik-baik saja.Lalu dengan suara pelan namun penuh tekad, "Dengerin gue, bro… Wanita itu akan menyesal seumur hidup karena udah ngebuang berlian sepertimu..."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Hanssel langsung berdiri, mengangkat tubuh Rangga dengan hati-hati, lalu membayar seluruh tagihan malam itu.
Ia mengantar sahabatnya ke kamar hotel dan membaringkannya dengan tenang. Namun saat menatap wajah Rangga yang tertidur lelah karena mabuk dan luka, Hanssel menghela napas. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia bertanya pada dirinya sendiri...
"Apa gue juga... bakal ngerasain cinta sedalam itu?"
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Ar mer
semangat nulisnya thor!!!
2022-05-25
1