Hanssel menatap layar ponselnya, senyum tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Di perjalanan menuju kantor, dia dan Nina melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan bersama siapapun termasuk dengan wanita-wanita yang dulu pernah menjadi teman kencannya. Bersama Nina, hari-harinya terasa berbeda. Kadang menyenangkan, kadang menyebalkan, tapi semuanya terasa... hangat. Dan yang paling mengejutkan, dia merindukan itu semua.
Suara Nina yang bernyanyi, gelak tawa mereka, bahkan gerakan kepala yang mengikuti irama lagu saat karaoke live di dalam mobil menjadi kenangan kecil yang diulang berkali-kali lewat video di ponselnya.
Nina tidak pernah bersikap pura-pura anggun di depannya. Dia tampil apa adanya, dengan segala kejutannya, cerewetnya, dan sisi acuhnya yang kadang menyebalkan. Tapi justru itu yang membuat Hanssel terpikat. Sebaliknya, Hanssel juga tidak memasang topeng sok cool seperti biasanya. Dia bisa jadi diri sendiri. Bahkan mungkin terlihat sama kacaunya dengan Nina. Hanya Nina yang bisa membuat CEO muda sekelas Hanssel menyerah total seperti kerbau dicucuk hidung.
Hanssel terus menonton ulang video itu, hingga suara dari interkom membuyarkan lamunannya.
Tuut!
"Iya?"
"Sebentar lagi Anda akan melakukan teleconference dengan JK Corporate."
"Oke, sayang."
"Pret!"
"Hahaha!"
Sekarang, Hanssel punya hobi baru yang sangat menyenangkan: menggoda pacarnya sendiri.
Waktu berlalu cepat. Di sebuah showroom mobil ternama, Nina berdiri anggun sambil memperhatikan barisan mobil mewah. Hari ini, dia akan membeli mobil pertamanya, hasil kerja keras dan tabungannya selama dua tahun terakhir. Setelah puas memilih, dia membayar tunai. Para pegawai showroom terpana. Tatapan mereka seakan berkata "Simpanan sugar daddy mana nih?"
Namun Nina tak peduli. Dia memilih BMW M4 Series, mobil impiannya yang juga biasa ia kendarai saat tinggal di Singapura. Kali ini, ia ingin para wanita penggosip di kantor panas dingin melihatnya melaju gagah di parkiran perusahaan.
Sesampainya di rumah...
"Ibu!!" Jimmy langsung berlari dan memeluk Nina erat.
"Ibu rindu sekali... Maaf ya hari pertama ibu kerja malah langsung ke luar kota," ucap Nina, berjongkok memeluk anaknya dengan mata berkaca-kaca.
"It’s okay, Mom." Jimmy mengelus pipi ibunya lembut, membuat hati Nina mencair.
"Mana oleh-olehnya?" Rangga langsung menodong, berdiri di belakang Jimmy dengan ekspresi manja.
"Nih!" Nina mengangkat bungkusan oleh-oleh ke atas.
"Aaaa! You know me so well. Girl, I love you..." Rangga bersenandung seperti penyanyi opera.
Nina menjulurkan lidah padanya sambil tertawa kecil. "Ini untuk jagoan ibu!" katanya sambil menyerahkan kotak besar berisi mainan robot.
"Wow! Optimus Prime?! I like it!!"
"Thank you, Ibu! I love you!!"
"Love you too, sayang..." Nina mencium pipi Jimmy dengan penuh kasih.
"Aku mana?" Rangga maju dengan bibir manyun, minta diperlakukan sama.
Nina mencium dua jarinya lalu menempelkannya di pipi Rangga. Pria itu langsung tersipu malu seperti remaja jatuh cinta.
"Ibu mandi dulu ya, kalian makan yang banyak!"
"Okeeeeyy!!" teriak keduanya kompak, tanpa menoleh karena sudah sibuk berebut kudapan.
Nina menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tapi jauh di dalam hatinya, ada rasa bersalah yang tak bisa dihilangkan. Rangga adalah sahabat terbaiknya, pengganti ayah bagi putranya juga pelindung Jimmy... Seharusnya pria seperti itulah yang pantas ada di sisi mereka. Tapi hatinya justru tertambat pada pria yang paling tidak terduga dan itu membuat segalanya menjadi lebih rumit.
***
Ting... Tong...
"Jimmy, boleh Ibu minta tolong bukain pintu?" seru Nina dari kamar, sedang berganti pakaian.
"Baik, Bu!" jawab bocah itu riang, segera berlari ke arah pintu dan membukanya.
"Halo..." sapa seorang pria dengan senyum menawan.
"Halo Om Tampan... Cari siapa?" tanya Jimmy polos dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Aaaakk... Anak ini! Baru pertama bertemu, sudah bisa meluluhkan hati siapa pun!
Hanssel terpaku. Wajah mungil di depannya, sorot mata jernih yang sangat bersinar... Membuatnya tak bisa berkata-kata. Sesuatu dalam dirinya terasa hangat tak biasa.
"Om teman dekat ibumu. Boleh om masuk?"
Jimmy mengernyit, menatap Hanssel dari ujung kepala hingga ujung sepatu. Seolah sedang menilai apakah pria ini layak masuk ke wilayah teritorialnya.
"Hanssel?" Suara Nina terdengar dari belakang, membuat keduanya menoleh.
Nina berjalan cepat menghampiri, wajahnya penuh keterkejutan. "Dari mana kamu tahu alamat rumahku?"
Hanssel mengedip nakal. "Sayang, apa sih yang nggak bisa aku ketahui kalau itu tentang kamu?"
Nina mencubit lengan Hanssel gemas sambil menunduk malu. "Berisik! Jangan asal ngomong, di sini ada anak kecil tahu!"
"Ibu, dia siapa?"
"Dia... bos ibu." jawab Nina cepat, menunduk pada anaknya. "Ayo, kamu gosok gigi dan pipis, ya. Kita siap-siap tidur."
"Ashiaap!!" sahut Jimmy dengan gaya ala tentara, membuat Hanssel terkekeh pelan.
Pria itu tersenyum lebar, masih terpaku pada bocah itu. Bukan hanya menggemaskan, tapi juga... begitu menenangkan. Ia bisa merasakan aura ceria dan hangat dari anak itu.
"Dia luar biasa," ucap Hanssel pelan, melirik Nina penuh kagum. "Aku sangat menyukainya... seperti menyukaimu."
Tangan Hanssel melingkar di pinggang Nina, menariknya pelan.
"Hey! Kamu apaan sih!" Nina buru-buru menutup pintu dan berusaha melepaskan pelukan pria itu. Wajahnya merona, bibirnya menahan senyum yang susah disembunyikan.
"Aku merindukanmu, sayang..." bisik Hanssel lembut sebelum mencium bibir Nina dengan penuh hasrat. Tangan pria itu perlahan menarik pita kimono Nina hingga terbuka sedikit.
"Hanss..." erang Nina, matanya setengah terpejam.
"Aku suka saat kamu memanggilku seperti itu... Seksi banget." gumam Hanssel sambil mengangkat tubuh Nina ke sofa seperti membawa harta paling berharga.
Namun sejenak kemudian, pandangannya tertumbuk pada botol Root Beer yang masih berada di meja tengah.
"Tadi ada tamu?" tanyanya sambil merapikan posisi duduk Nina.
"I-iya... Teman yang bantu jagain Jimmy," jawab Nina tergagap, buru-buru menutup kimono yang sempat terbuka.
"Siapa dia?"
"Cuma... teman kuliah dulu. Baik, perhatian, dan sangat sayang Jimmy."
Hanssel menatap Nina dalam diam. Ada setitik cemburu yang muncul... tapi ia tahu, hatinya tak punya hak untuk itu. Belum saatnya. Ia hanya mengangguk, lalu mencium kening Nina penuh kelembutan.
Tiba-tiba suara kecil memecah keheningan.
"Aku sudah selesai, Ibu!" teriak Jimmy dari kamar mandi.
"Good boy!" Nina langsung berdiri, mengencangkan ikatan kimono lalu berjalan menghampiri anaknya.
Semoga dia tidak berpikiran aneh tentang ibunya... batin Nina gelisah.
"Gimana kalau om ikut juga?" tawar Hanssel sambil berdiri, suaranya pelan tapi hangat.
Mereka lalu masuk ke kamar Jimmy. Hanssel duduk di ujung tempat tidur, memperhatikan bagaimana Nina menyelimutkan anaknya, mengelus rambutnya lembut, lalu mengecup kening kecil itu.
Di momen itu, dunia seakan berhenti berputar bagi Hanssel.
Bukan di kantor. Bukan saat memimpin perusahaan. Tapi di sinilah, dia melihat versi Nina yang paling memikat, menjadi sosok seorang ibu.
Perempuan yang pernah ia anggap dingin, keras, penuh amarah… kini menunjukkan sisi paling indahnya. Sisi yang membuat Hanssel yakin, hatinya sudah jatuh sepenuhnya.
Jimmy telah terlelap. Nafasnya teratur dan tenang. Nina bangkit pelan, lalu mengajak Hanssel keluar dari kamar dengan isyarat tangan.
"Aku juga ingin diperlakukan selembut itu, sayang..." bisik Hanssel serak di telinga Nina sembari memeluk dari belakang. Lelaki itu menggigit manja cuping telinga wanita yang membuat tubuhnya bergetar refleks.
"Aahh..." desah Nina lirih. Getaran suaranya saja sudah cukup membangkitkan kobaran di tubuh Hanssel.
"Kita lakukan sekarang?" tanyanya penuh hasrat, suaranya berat dan dalam. Tangannya sudah menyusuri paha mulus Nina, menghangat, menuntut.
Nina tak langsung menjawab. Bibirnya hanya mendesah saat merespons hisapan dan cumbuan liar dari pria itu. Tapi ketika Hanssel mulai mendorong batas, dia menarik napas dalam.
"Beri aku sedikit waktu lagi, boleh?" bisiknya manja, tangan Nina kini ikut bermain, menyentuh bagian yang membuat Hanssel menggertakkan gigi.
"Kamu... penyiksa rasa, Nina!" desis Hanssel yang hampir kehilangan kendali.
"Mungkin aku bisa bantu meredakan rasa itu sedikit..." godanya, menyusupkan tangan dan menggenggam dengan penuh kenakalan.
"You're frackin’ dangerous, woman!" gumam Hanssel, antara sarkas dan tergoda sepenuh jiwa.
***
Pagi harinya...
Nina duduk di meja kerjanya sambil menopang kepala. Matanya berat, tubuhnya nyaris tak berfungsi. Tangannya pegal, punggungnya lelah, dan jari-jarinya seakan mati rasa.
"Astaga, ini semua salah dia!" gerutunya lirih sambil mengetuk-ngetuk meja.
"Pakai tangan dan mulut aja dia sebrutal itu... apalagi kalau udah pakai senjata utama—bisa jadi bangkai aku!"
Tanpa sadar, Hanssel sudah berdiri di depan ruangannya.
"Makanya, jangan sok bilang mau bantuin, kalau akhirnya nyerah juga!" suaranya muncul tiba-tiba.
Nina kaget bukan main. "Kamvreeet!" makinya sambil mengumpat dalam hati.
"Aku akan lebih lembut nanti... mungkin," tambah Hanssel dengan senyum licik.
Nina hanya bisa memutar bola mata. Mereka benar-benar bukan pasangan bos-sekretaris biasa. Tapi entah kenapa, hubungan mereka justru terasa… nyata.
"Kamu belum kirim notulen rapat semalam," ucap Hanssel sambil mendekat ke mejanya.
"Aku… capek. Jariku nggak bisa gerak!" Nina mengeluh seenaknya.
Hanssel tertawa, lalu mengambil alih kursinya.
"Sini. Biar aku bantu. Mana filenya?"
"Di folder ini. Tapi baru setengah." Nina menunjuk layar laptop.
Hanssel membaca cepat. "Wah... kualitas kerjamu turun. Gimana mau jadi karyawan teladan lagi tahun depan?"
"Ini semua gara-gara kamu!!" teriak Nina, lalu menjatuhkan diri ke sofa seperti anak kecil ngambek.
Hanssel cuma tertawa pelan. Tapi dalam hati, dia tak bisa berhenti membayangkan semalam. Semua hasrat, suara, dan ekspresi Nina terekam jelas di kepalanya.
"Dengan tangan dan mulutku aja kamu nyerah... bayangin kalau aku serius!" pikirnya sambil senyum sendiri.
Dia menoleh ke arah Nina dan bergumam, "Kamu sekretarisku… canduku juga."
"Apa?" tanya Nina dari sofa, setengah malas.
"Tidurlah, wahai kebo manisku!" ejek Hanssel sambil melempar bantal kecil ke arah Nina. Tapi wanita itu lebih dulu melempar balik dan mengenai wajahnya.
Hanssel tertawa lagi. Lalu dalam hati, dia bergumam pelan… "Bagaimana kalau aku benar-benar mencintaimu, Nina?"
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments