“Apa yang kamu dapatkan?!” tanya Hanssel tajam, matanya menatap tajam ke arah Farell, asisten khususnya.
“Anda bisa melihatnya sendiri, Tuan.” Suara Farell datar, namun jelas menyiratkan sesuatu yang serius. Ia menyerahkan beberapa berkas, disusun rapi, bertuliskan nama yang sangat familiar: Karennina Kaviandra.
Hanssel membuka lembar demi lembar dengan cepat, wajahnya semakin tegang setiap kali matanya menangkap kalimat penting di dalam dokumen itu. Lalu, berkas itu ditutup keras.Ia bangkit berdiri. Langkahnya tergesa keluar dari ruangan.
Di depan ruangannya, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang sedang membereskan meja—sekretarisnya, Nina.
“Apa kamu puas sekarang setelah menjarahku tadi?!” suara Hanssel tajam, membuat Nina menoleh dengan alis terangkat.
“Kepuasan itu datang dan pergi, Tuan,” jawab Nina, suaranya tenang dan tak goyah. “Tapi saya bersyukur... kali ini keuntungannya lebih besar.”
Ia tak menatap Hanssel, tetap fokus merapikan map dan tasnya.
Hanssel mengusap wajahnya. Nafasnya berat. Ada begitu banyak hal ingin dia tanyakan. “Nina... ayo ngobrol sebentar. Aku traktir.”
“Maaf, saya ada janji dengan seseorang yang jauh lebih penting dari Anda, Tuan.”
Ia berhenti sejenak, menoleh dengan pandangan datar. “Lagi pula, bukankah sore ini Anda seharusnya menjemput Tuan Rangga?”
“Apa?!” Hanssel melotot. Tangannya refleks menepuk keningnya. “Astaga! Aku lupa total!”
Nina menghela napas singkat, lalu mengeluarkan sebuah paper bag kecil dari lacinya. “Sudah saya siapkan.”
Hanssel memandang benda itu, lalu Nina. Wajahnya melunak. “Kau selalu bisa diandalkan, Nina...”
“Tentu. Dan semua tagihannya sudah saya bayar pakai black card Anda.”
Senyum tipis sekilas muncul di wajahnya, entah mengejek atau tulus sungguh sulit ditebak.
“Kalau begitu saya pamit.” Ia berjalan melewati Hanssel tanpa memberi waktu untuk menahan atau sekadar bertukar tatap.
Hanssel menatap punggung wanita itu. “Dasar... nenek lampir. Dingin banget. Mana ada yang tahan sama cewek kayak dia?”
Tapi mulutnya tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang terbit perlahan. Lalu ia berbalik, menyusul keluar dari kantornya.
***
08.00 PM - Hotel Emperor
"Apa Anda sudah lama menunggu?" tanya Nina sambil menata nafasnya yang masih tersisa akibat tergesa.
"Tidak masalah, Nina. Saya juga baru sampai," jawab Tuan Ron dengan senyum ramah.
Keduanya bertemu di luar jam kerja untuk sebuah pertemuan pribadi. Mereka mengambil tempat di sudut restoran hotel yang cukup tenang.
"Ngomong-ngomong, kita tidak perlu terlalu formal malam ini. Santai saja, oke?"
Nina tersenyum sedikit lega. Tuan Ron lalu memanggil pelayan untuk memesan makan malam mereka.
"Aku sempat kecewa, kupikir kamu benar-benar sudah melupakan saya," ucap Tuan Ron pelan.
Nina mengerutkan dahi, bingung.
"Kamu mengingatkanku pada seseorang... seorang teman lama. Putri dari Kaviandra."
Nina menunduk. Tatapannya berubah sendu. "Tuan Ron... Anda mengenal ayah saya?"
"Tentu saja," jawabnya lirih.
Hening sejenak. Lalu Tuan Ron berkata, "Aku mendengar kabar tentang masa lalumu. Aku turut prihatin."
Air mata perlahan mengalir di pipi Nina. Ia mengangguk pelan.
"Aku bodoh. Aku mempercayai Erick Shin dan mengabaikan keluarga yang mencintaiku. Aku mengecewakan semuanya..."
Tuan Ron hanya diam, membiarkan Nina meluapkan luka yang selama ini ia sembunyikan di balik sikap tegas dan dinginnya.
"Aku menjadi seperti ini agar bisa menghadapi keluarga Shin. Aku ingin membawa Jimmy pulang. Mengambil kembali apa yang seharusnya milikku."
"Suho Enterprise sedang berada di ujung tanduk, Nina. Perusahaan itu tidak akan mampu bertahan di pasar global tahun ini," ujar Tuan Ron hati-hati.
Nina mengepalkan tangan. "Erick dan keluarganya hanya bisa menghabiskan uangku! Mereka menyia-nyiakan semuanya!"
"Aku dengar Keenan, kakakmu, sudah kembali dari Inggris. Dia akan mengembangkan perusahaan startup-nya di sini. Mengapa kamu tidak meminta bantuannya?"
Nina menggeleng, senyumnya getir. "Aku sudah menghancurkan kepercayaan mereka. Aku terlalu malu untuk kembali meminta bantuan. Dan... aku sudah berjanji, aku akan berdiri sendiri. Aku akan merebut segalanya kembali... dan membuat mereka merasakan apa yang dulu aku rasakan."
Tuan Ron memandang Nina dengan iba. Manik mata indah itu kini penuh dengan luka dan kebencian.
"Saya doakan kamu selalu dimudahkan jalannya, Nina. Jika kamu butuh sesuatu, jangan ragu menghubungi saya."
"Terima kasih, Tuan Ron..."
Tiba-tiba, suaranya bergetar saat pria itu kembali berbicara.
"Satu hal lagi... Ayahmu sedang sakit. Dia merindukanmu."
Deg.
Nina kembali terisak. "Saya belum siap... Saya belum bisa menemuinya tanpa membawa keberhasilan yang bisa saya banggakan. Saya masih harus menebus kesalahan saya."
Ia menatap Tuan Ron penuh harap. "Tolong... sampaikan pada Papa, saya baik-baik saja. Dan... tunggu saya. Saya akan kembali. Dengan kemenangan di tangan saya. Saya janji."
Tuan Ron mengangguk pelan. Di matanya, Nina sudah seperti anak sendiri.
Mereka lalu larut dalam obrolan hangat lainnya. Hingga malam semakin larut dan keduanya berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing.
***
Bar and Lounge Emperor
"Gue nggak nyangka elu tahu persis apa yang gue pengen!" seru Rangga sambil menepuk bahu Hanssel dengan semangat, matanya berbinar melihat bingkisan hadiah dari sahabatnya.
Malam itu, Hanssel dan beberapa teman lama mereka berkumpul untuk merayakan kepulangan Rangga—teman akrab yang baru saja menyelesaikan gelar Magisternya di bidang Hukum. Suasana penuh gelak tawa dan obrolan hangat, namun Hanssel terlihat tidak sepenuhnya larut.
Pikirannya terus melayang.
Aku selalu penasaran... dari mana Nina tahu persis apa yang disukai seseorang, bahkan dalam waktu sesingkat itu?
Wajah wanita yang mengaku tidak tertarik padanya itu terus terlintas di benaknya.
"Ko lu sekarang nggak bawa cewek baru lagi, Sel?" celetuk salah satu teman mereka sambil tertawa.
"Belum pengen," jawab Hanssel datar.
"Tumben amat!"
Hanssel hanya tersenyum kecut, lalu bangkit dari kursinya. Ia meninggalkan keramaian dan berjalan menuju balkon lounge, menatap gemerlap lampu kota dari ketinggian. Pikirannya terus berkecamuk.
Padahal dia bukan tipe wanita kencanku. Lalu kenapa aku terus kepikiran dia? Kenapa aku merasa Nina istimewa?
Tak lama, Rangga menyusulnya. "Lu kenapa, Sel? Kelihatan banget lu lagi bad mood."
Hanssel tidak langsung menjawab. Pandangannya tiba-tiba menangkap sosok wanita familiar yang keluar dari pintu lobi hotel, bersama seorang pria yang juga ia kenali.
"Nina..." gumamnya nyaris tak terdengar.
"Apa? Lu ngomong apa barusan?" tanya Rangga heran.
Hanssel buru-buru berbalik, wajahnya berubah serius. "Gue cabut duluan ya. Next time gue traktir, janji!"
Tanpa menunggu jawaban, Hanssel beranjak pergi, meninggalkan Rangga yang hanya mengangkat alis dan melambaikan tangan.
Rangga menarik napas panjang, lalu mengambil ponselnya dari saku celana. Jemarinya menekan sebuah nama yang sudah lama tersimpan.
"Halo, Karen... Aku sudah pulang ke ibu kota. Bisa kita ketemu? Aku kangen kamu..."
***
Tap... Tap... Tap...
Langkah kaki Hanssel memburu waktu. Meski dia sudah berlari secepat yang dia bisa, bayangan Nina dan Tuan Ron tak lagi terlihat di pelataran Hotel Emperor.
"Sialaan!!!!" pekiknya penuh geram, pikiran buruk mulai menguasai benaknya.
"Jangan-jangan... Nina simpanan Tuan Ron?!"
Amarah yang semula membara kini berubah menjadi kobaran tak terkendali. Hanssel segera mengeluarkan ponselnya, menghubungi nomor Nina dengan tangan gemetar oleh emosi.
"SIALAAAN!!"
Operator menyuarakan kalimat klise yang tak ingin ia dengar: "Nomor yang Anda tuju sedang sibuk."
Hanssel nyaris melempar ponselnya. Rasa frustasi menelannya bulat-bulat. Tanpa pikir panjang, dia tancap gas menuju bar dan pub lainnya, mencoba melampiaskan kekesalan yang menggumpal di dadanya.
Masih di lokasi yang sama, Nina menuruni anak tangga lounge Hotel Emperor. Tatapannya terhenti saat menemukan sosok pria yang sangat dikenalnya.
"Karenninaa!!"
Rangga berlari kecil menghampirinya, memeluk wanita yang telah bertahun-tahun mengisi ruang hatinya, meski tak pernah membalas cintanya.
"Kamu tidak berubah sedikit pun!" ujar Nina menepuk lembut bahu pria yang kini telah menyelesaikan studi magisternya itu.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Rangga, mempersilahkannya duduk.
"Seperti yang kamu lihat... Bertahan di atas luka," jawab Nina dengan senyum yang lebih mirip kepedihan.
"Aku sudah dengar semua kabar tentangmu..."
"Bisa kita... tidak membahasnya?" pintanya pelan. Pandangannya menatap kosong ke arah gelas kosong di hadapannya.
"Aku memperingatkanmu dulu, Nina. Tapi kamu lebih memilih Erick daripada aku!"
"RANGGA!!" suara Nina meninggi, tetapi matanya tetap berkaca.
"Jika kamu ingin mengungkit semuanya, tunggu lain waktu. Aku lelah... sangat lelah malam ini."
Ia bangkit dari duduknya, hendak pergi.
"Maafkan aku, Karen... Aku bicara seperti itu karena aku peduli. Aku—aku tidak pernah berhenti peduli."
Nina berhenti sejenak. Tarikan nafasnya berat.
"Terima kasih..."
"Aku bisa membantumu, Nina. Aku bisa menjebloskan Erick ke penjara tergelap di Singapura kalau kau mau."
Nina menggigit bibirnya. "Belum waktunya... Jimmy masih bersamanya..."
"Kalau begitu, izinkan aku menjadi kuasa hukum mu. Aku akan bantu kamu mendapatkan hak asuh penuh atas Jimmy Shin."
Nina menatap lurus ke matanya. Suaranya tegas, namun lembut. "Dia bukan bagian dari keluarga Shin saat bersamaku. Dia Jimmy Kaviandra."
Senyum pahit muncul di bibir Rangga. Wanita yang dicintainya selama tiga tahun telah memilih pria yang salah, dan kini membawa luka dalam. Namun, meski Nina memiliki anak dari pria lain, Rangga tetap mencintainya tanpa syarat. Bahkan, dia bersedia menerima anak itu seperti darah dagingnya sendiri.
Drrrttt... Drrrttt... Drrrttt...
Ponsel Nina bergetar. Nama di layar membuat bahunya mengendur. Dengan berat hati, dia mengangkat.
"Halo..."
"NINA!! JEMPUT AKU DI MO SEKARANG JUGA!!"
Nina menghela napas, emosinya sudah di ujung tanduk. "Kenapa kamu tidak minta Farell saja?"
"AKU MAU KAMU!! MAKA KAMU YANG HARUS DATANG!!"
Suara di seberang itu tajam, otoriter. "Ingat, kamu SEKRETARISKU. Aku sudah membayar kamu sangat mahal, Karennina Kaviandra!!"
Nina menatap layar ponsel dengan getir. Dinding dingin yang ia bangun mulai retak sedikit demi sedikit. Tapi ia tahu, selama misinya belum selesai, dia harus tetap berdiri. Bahkan saat harga dirinya diinjak orang yang diam-diam mulai mengisi ruang hatinya.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Ar mer
next kak!!
Semangattt
2022-04-30
1