Ocehan Jimmy yang menggemaskan membuat haru kedua orang dewasa itu. Mereka saling melempar senyum, berbagi canda, dan menikmati kehangatan yang jarang mereka rasakan. Suasana apartemen malam itu begitu hangat, seolah luka-luka lama mereka perlahan mulai terobati.
Setelah mengganti pakaian tidur, Nina kembali ke ruang tengah. Ia mengenakan piyama santai dengan rambut yang sudah dikeringkan. Wajahnya tampak segar dan berseri.
"Kamu mau minum apa?" tanya Nina sambil berjalan ke dapur.
"Apa saja, yang penting bukan racun," jawab Rangga sambil terkekeh. Ia masih duduk di sofa, bercerita pelan pada Jimmy yang memeluk erat boneka barunya.
Nina mengulum senyum. Ia menyiapkan minuman hangat dan beberapa kudapan ringan. Sambil menunggu air mendidih, ia juga menyiapkan makan malam karena perutnya mulai lapar. Dua puluh menit kemudian, semuanya telah siap.
Ia melongok ke ruang tengah dan melihat Jimmy sudah terlelap di sofa sambil memeluk Teddy Bear kesayangannya.
"Tidur ya?" bisik Nina.
"Ssttt..." Rangga mengangguk pelan, takut membangunkan bocah itu.
"Aku bawa ke kamar, ya?" tanyanya lagi.
Nina mengangguk dan membukakan pintu kamarnya. Dengan hati-hati Rangga menggendong tubuh mungil Jimmy dan menidurkannya. Setelah memastikan Jimmy tertidur pulas, ia menutup pintu dan kembali ke ruang makan.
Nina sudah menata mangkuk nasi dan sepiring beef teriyaki di atas meja.
"Maaf ya, cuma sempat masak ini," ujarnya sambil duduk di seberangnya.
"Aku justru suka. Ini favoritku," kata Rangga tulus. Ia berdoa sejenak sebelum mulai makan.
"Terima kasih," tambahnya setelah menyantap suapan pertama. Ia lalu meneguk air mineral hingga tandas. "Perfekto as always!"
"Di Inggris aku beneran kangen banget sama masakanmu," ucapnya dengan ekspresi serius.
"Salah sendiri ngejar S2 ke sana," gurau Nina sambil meneguk minumannya.
"Namanya juga pelarian. Galau ditinggal nikah sama orang yang disayang, padahal dia nggak pernah bales perasaan itu," ujarnya setengah sarkas.
Nina terkekeh geli. "Rangga... Maaf. Aku nggak tahu kenapa... tapi aku selalu merasa nyaman sama kamu."
"Ya ya ya... Welcome to the Friend Zone!" Rangga memutar bola matanya dan pura-pura kesal, meski hatinya diam-diam senang bisa menghabiskan waktu seperti ini bersama Nina.
"Marathon drakor?"
"Kamu mau menginap di sini?"
"Boleh emang?"
"Idih, kayak baru pertama aja bro!" ujar Nina sambil merapikan bekas makan malam mereka.
Rangga tersenyum simpul dan ikut membantu. Memang sejak masa kuliah mereka di AS, Rangga sering main ke tempat Nina, kakak kelasnya yang terkenal bukan hanya cantik dan pintar, tapi juga jago masak. Keduanya tinggal bersebelahan waktu itu, dan dari situlah Rangga mulai jatuh hati diam-diam. Namun perasaannya hanya bisa dipendam selama bertahun-tahun.
Kini mereka duduk bersama di ruang tengah, memutar film pendek sambil bersandar di sofa. Rangga sedikit mendekat, tapi Nina tidak merasa risih. Entah kenapa, dia selalu menganggap Rangga seperti bocah manis. Bahkan sesekali dia gemas sendiri dan mencubit pipi pria tampan itu.
"Huh!" desah Rangga tiba-tiba, membuat Nina menoleh.
"Kenapa bro?"
"Kamu bisa pake kamar depan itu, kalau mau tidur duluan..."
"Gimana kalau kita tidur bareng aja?" goda Rangga sambil menyengir.
Nina mendelik geli. "Apaan sih?!" serunya sambil melempar bantal kecil ke arah wajah Rangga. Namun dengan cepat Rangga menangkap lengannya.
Nina terdiam sejenak. Tubuhnya perlahan ditarik jatuh ke sofa, namun dia tidak melawan. Ada satu bagian dari dirinya yang merasa, mungkin jika dia membuka sedikit pintu untuk Rangga, mereka bisa membangun chemistry yang selama ini terasa menggantung. Nina tahu, terlalu banyak kebaikan yang Rangga berikan. Namun untuk mencintainya, dia belum sanggup. Hatinya masih terikat pada luka lama.
Rangga menatap wajah Nina yang kini berada di bawahnya. Nafas mereka mulai memburu. Dengan tangan gemetar, Rangga menyentuh pipi Nina, lalu mengusap lembut rambutnya. Dia menelan salivanya, menahan getaran gugup di dadanya.
"Kak..." bisiknya lirih.
Nina memejamkan mata, bibirnya sedikit terbuka, dan detik berikutnya bibir mereka bersentuhan. Ringan dan lembut. Ragu di awal, namun kemudian Nina membalasnya. Lambat laun ciuman mereka berubah dalam. Nina membuka mulut Rangga dengan bibirnya, memainkan lidah, dan membuat pria polos itu terhanyut dalam rasa yang baru pertama kali ia alami bersama wanita yang selama ini hanya bisa ia kagumi dari kejauhan.
Ketegangan mulai naik. Ada sesuatu yang menegang, tapi bukan argumen politik. Rangga terdiam sejenak, menahan instingnya, lalu menarik diri perlahan. Matanya menatap Nina penuh keraguan dan gentleness.
"Maaf... aku takut kehilangan kamu kalau ini terlalu cepat," ucapnya pelan.
Nina menatapnya tanpa kata. Dalam hatinya, ada satu titik yang baru saja luluh.
Tapi apakah ia siap membuka hati... atau hanya memberi harapan kosong?
Malam itu, tanpa mereka sadari, benih cinta baru mulai tumbuh. Namun, seperti drama Korea favorit mereka, cinta itu tidak akan berjalan mulus.
"Aku akan menikahimu duluan!!!"
Dengan cepat, Rangga menjauh dari tubuh Nina. Wajahnya merah padam, seperti kepiting rebus yang dilempar ke air mendidih. Sesuatu yang menonjol di bawah sana membuatnya mati gaya. Nina yang melihat ekspresi gugup nan panik itu malah terbahak.
"HAHAHAHA! Ya ampun, Rangga!" Nina nyaris terjatuh saking geli dan tidak menyangka pria itu bisa sekaku itu dalam situasi seperti ini.
Dengan wajah penuh malu dan hasrat yang sudah di ujung batas, Rangga melesat menuju kamar mandi. Pintu kamar mandi ditutupnya dengan suara menggelegar.
BRAAAK!
Nina masih terkikik geli, tetapi dalam tawanya, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan.
"Terima kasih, Rangga..." bisiknya lirih, seakan hanya ia dan udara malam yang mendengarnya.
Rangga yang masih di balik pintu sempat membalikkan tubuhnya sebelum menutup rapat. Matanya tajam menatap Nina.
"Jangan harap aku akan melepaskanmu, Karennina!"
Nina menggeleng pelan sambil tersenyum. Lalu ia beranjak ke lemari, mengambil handuk bersih, dan mengetuk pintu kamar mandi.
Tok... Tok... Tok...
"Rangga, ini handuknya..."
Pintu terbuka sedikit, hanya cukup untuk sebuah tangan menjulur ke luar. Rangga mengambil handuk itu, namun sebelum ia menariknya, tangan Nina menahan dan menggenggamnya erat.
"Terima kasih... karena kamu tidak menyapu bersih harga diriku." Ucap Nina dengan suara pelan tapi sarat makna.
Pegangan Rangga mengerat, tangannya terasa hangat di telapak Nina.
"Aku dididik untuk jadi pria baik-baik... Aku sangat mencintaimu, Nina. Aku nggak akan menyentuhmu sebelum waktunya."
Dan entah dari mana datangnya, satu tetes air mata jatuh tanpa izin dari sudut mata Nina.
"Terima kasih..." Bisiknya lagi, kali ini dengan suara yang lebih rapuh.
***
Pagi harinya, Nina mengajukan cuti tiga hari lewat aplikasi chat kantor. Ia berencana mencari tempat penitipan anak untuk Jimmy dan sekaligus memulai proses mencari pengasuh pribadi. Bersama Rangga, ia juga menyebarkan pengumuman melalui media sosial.
Tring!
Notifikasi pesan masuk membuat Nina mendesah kesal.[Ada urusan apa sampai kamu perlu cuti 3 hari? Bukankah jadwal pekerjaan kita sedang padat?]
Pesan dari Hanssel, atasannya, terdengar seperti bentakan virtual. Nina langsung mengerutkan kening dan menggerutu dalam hati.
“Sial... bos sedeng!” gumamnya spontan.
Rangga yang duduk di dekatnya langsung menoleh. “Kenapa kamu?”
“Bos gue nggak ngasih cuti! Padahal, dia sendiri yang ngatur jadwal kerja kayak orang dikejar setan!”
Rangga terkekeh, mencoba meredakan suasana. “Udah, nggak usah stres. Serahin aja Jimmy ke aku dulu.”
“Lho, maksudmu?”
“Aku bisa jagain Jimmy. Kantorku fleksibel, dan kalau lagi sibuk, sekretarisku bisa bantu. Lagipula, aku bisa ajak dia ke ruang kerja. Jimmy kan anak yang manis.”
Nina menggeleng cepat. “Eh... jangan, Rangga. Masa aku malah ngerepotin kamu segala?”
Tiba-tiba, suara kecil ikut menyela pembicaraan mereka.
“MAU IBU... Aku mau sama Om Rangga aja. Biar ibu kerja dengan tenang.”
Mereka berdua sontak menoleh ke arah Jimmy yang duduk tenang sambil memeluk bonekanya. Ekspresi Nina berubah jadi tak percaya.
“Siapa yang ngajarin kamu ngomong kayak gitu?” tanya Nina sambil berjalan mendekati putranya.
Jimmy menunduk pelan, dan Nina langsung bersimpuh di hadapannya.
“Maafin ibu ya, sayang. Ibu nggak bermaksud bikin kamu sedih... Tapi kalau kamu memang nyaman sama Om Rangga, ibu akan lebih tenang menitipkan kamu padanya.”
Jimmy mengangguk. Mereka berpelukan sejenak sebelum Nina kembali duduk untuk membalas pesan dari Hanssel. Namun sebelum tangannya menyentuh layar ponsel, pertanyaan mengejutkan keluar dari mulut Jimmy.
“Om... boleh nggak aku panggil Papa?”
Rangga melongo beberapa detik. “Benarkah?!!”
“Om MAU BANGET!!!”
Nina menghentikan gerak jarinya. Tatapannya kini terpaku pada dua orang yang tengah larut dalam percakapan menggemaskan.
"Kamu bilang seperti itu... Tapi kupikir kamu lebih cocok jadi kakaknya Jimmy, Rangga.”
Nina mencoba mengalihkan, setengah menggoda.Jimmy menggeleng. “Enggak... Aku nggak suka Papa Erick. Dia jahat... Dia usir ibu!”
Tubuh Nina bergetar mendengar kalimat polos itu. Ada rasa perih yang menyelinap di dada.
Rangga langsung mengusap kepala bocah itu lembut. “Kamu benar. Dia nggak pantas jadi papamu.”
“Kamu tenang ya, mulai sekarang Papa Rangga bakal bikin kamu bahagia! Tapi... boleh nggak, Papa Rangga beneran jadi papa kamu dan hidup sama ibu?”
"Rangga..." suara Nina lirih namun mengandung peringatan.
Ia bangkit dari duduknya dan menatap Rangga dalam-dalam. “Kamu kelewat batas,” ujarnya pelan tapi tegas.
Rangga menatap Nina dengan sorot serius, tidak gentar sedikit pun. “Aku serius, Nina. Dan aku tahu ini bukan saat yang tepat. Tapi... izinkan aku jadi rumah buat kalian berdua.”
"Huh!" Nina mendesah sambil memeluk tas kerjanya.
"Anakmu aja restuin loh," celetuk Rangga dengan nada menggoda.
Nina melirik sekilas ke arah Jimmy, lalu mengangguk kecil.
"Jimmy, kamu boleh memanggilnya Papa Rangga, tapi dia belum boleh tinggal bareng kita, oke?"
"Oke, Ibu!" sahut Jimmy ceria.
"Baik-baik ya sama Papa Rangga... Ibu berangkat kerja dulu."
"Hati-hati, Ibu!"
Jimmy mencium tangan Nina, lalu mereka berpelukan singkat seperti biasa sebelum perpisahan. Momen yang singkat tapi hangat.
Rangga berdiri di belakang mereka sambil menyaksikan, lalu berujar, "Sepertinya kamu butuh mobil sendiri, ya?"
Nina mengangguk sambil menarik napas panjang. "Iya, mungkin nanti sepulang kerja aku akan lihat-lihat. Capek juga terus-terusan ngandelin taksi online."
"Maaf ya, Rangga. Aku jadi nyusahin kamu terus..." ucap Nina sambil menepuk bahu pria itu lembut.
Rangga mendekat sedikit, lalu membisik, "Aku cuma minta bayaran kayak semalam aja..."
"BUUUG!!"
Sebuah pukulan ringan mendarat di lengan Rangga.Mereka tertawa bersamaan. Tak lama, suara klakson dari bawah terdengar.
"Taksiku udah datang. Aku pergi dulu, ya..."
"Hati-hati, Nina."
Nina melangkah keluar dari apartemennya dengan senyum kecil, merasa lebih ringan walau hari belum dimulai sepenuhnya.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments