"Apa kamu selalu melakukan hal seperti barusan?!"
"Nih!"
Tanpa ragu, Nina melepas cincin pemberian Hanssel dan menjejalkannya ke tangan pria itu dengan tatapan penuh amarah.
"Siapa yang nyuruh kamu lepasin?!" bentak Hanssel, matanya membara.
"Kalau aku mau kasih, ya aku kasih! Ngapain kamu sewot?!" balas Nina dengan suara bergetar, tapi tajam.
Hanssel mengepalkan tangannya. "Bukannya... cewek tuh biasanya suka hal-hal romantis kayak gitu?!"
Wajahnya berubah seketika, dari kecewa jadi kesal. Nina memang seperti pawang cuaca dalam hidupnya. Baru saja hangat, sekarang sudah mendung, dan dalam hitungan detik bisa meledak jadi badai petir!
"Cewek kamu mungkin suka, tapi GUE kagak!!" bentak Nina, matanya berair tapi tetap menantang.
"Kita ini cuma kontrak satu bulan, Hanssel! Satu bulan! Ngapain juga kamu sok-sok pengorbanan segala?!"
Cekiiit...
Suara ban menggesek aspal tajam memecah malam. Mobil berhenti mendadak di tengah jalan, membuat tubuh mereka terguncang.
"KAU GILA? GUE MASIH MAU HIDUP!!" pekik Nina histeris.
Hanssel berbalik, wajahnya memerah karena amarah. "SUMPAH, lu bawel banget! Kayak nenek lampir kesurupan!"
Dengan tatapan membunuh, Hanssel meraih tangan Nina dan menjejalkan kembali cincin itu ke jari manisnya.
"PAKE LAGI! SEKARANG JUGA!!"
Nina terdiam. Matanya membulat, jantungnya berdegup kencang. Tanpa berkata apa-apa, ia kembali memakai cincin yang indah itu. Simple tapi memikat, dengan satu berlian kecil di tengah.
Perlahan, ia memainkannya dengan jemarinya. Seandainya ini nyata... seandainya semuanya bukan cuma sandiwara. Tapi kenyataannya? Semua cuma tipuan.
Satu bulan bersamanya… rasanya akan seperti satu tahun dalam neraka.
Nina membuang muka, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Hatinya sudah porak-poranda. Di belakang, suara klakson bertubi-tubi memekakkan telinga.
Hanssel mengumpat lalu kembali memacu mobilnya. Diam. Hanya suara mesin yang menemani kekacauan batin mereka.
Sesampainya di Hilton Hotel, Hanssel keluar lebih dulu, langsung mengambil kunci kamar yang sudah ia pesan. Dengan kasar, ia menggenggam pergelangan tangan Nina dan menariknya masuk ke dalam lift. Malam sudah sangat larut, dan hotel nyaris sepi.
"Hans—Mmm...!"
Kata-katanya terputus.
Hanssel menatapnya dengan amarah membara. Tak tahan lagi dengan sikap Nina yang menurutnya sok kuat, sok kebal, sok arogan. Dalam detik berikutnya, bibirnya sudah membungkam mulut wanita itu dengan ciuman yang keras dan penuh emosi.
Ciuman yang bukan lagi tentang rasa, tapi pelampiasan luka—antara cinta, benci, dan semua emosi yang tidak pernah diucapkan.
"Aaahhh!! HANSSEL!!"
Triing!
Pintu lift terbuka. Tanpa basa-basi, Hanssel segera mengangkat tubuh Nina dalam gendongannya.
"HANSS—TURUNKAN AKU!!" teriak Nina terkejut.
"Diamlah... atau kau senang mengundang perhatian orang?" bisik Hanssel tajam.
Dengan wajah memerah karena malu, Nina membenamkan wajahnya ke dada bidang Hanssel. Pria itu tersenyum miring, seolah menikmatinya.
"Turunkan aku..." lirih Nina ketika mereka tiba di depan kamar.
"Tidak perlu."
Setelah menempelkan kartu akses, Hanssel mendorong pintu menggunakan bahunya. Mereka pun masuk ke dalam suite hotel yang luas dan mewah.
Tanpa berkata apa pun, Hanssel meletakkan Nina di atas ranjang empuk. Jantung Nina berdetak tidak karuan. Hanssel melonggarkan dasinya dan melemparkan jasnya ke sofa.
"Hanssel... please... aku mohon..."
"Tenang, aku ingin kita melakukan perjanjian sebelum benar-benar pacaran."
Nina buru-buru menyusun strategi di otaknya. Harus ada cara untuk menghindari skenario tak diinginkan malam ini.
"Oh ya? Kamu ingin apa?" tanya Hanssel santai sambil mulai membuka kancing kemejanya satu per satu.
Nina terus mundur hingga hampir jatuh dari tepi ranjang. Matanya membesar menatap dada bidang pria itu "tatanan roti sobek" nan menggoda terpampang jelas.
Jangan ngiler, Nina! Jangan!
Hanssel tersenyum, menangkap sorot mata Nina yang tak sengaja memperlihatkan kekagumannya.
"Aku minta... kamu tidak menyentuhku lebih dari sekadar ciuman!" pinta Nina dengan nada tegas.
Hanssel memicingkan matanya, lalu terkekeh pelan. "Serius?"
"Ayo lah Nina... kita ini dewasa. Kamu pikir hubungan dua insan itu cuma tukar pikiran? Itu omong kosong!"
Ia mendekat. "Anak-anak SMA aja udah bisa check-in sendiri. Kamu pikir mereka main kartu remi?!"
"Mana kutahu..." gumam Nina lirih, menunduk. "Aku... belum siap."
Ia menyilangkan tangan, mencoba melindungi bagian tubuhnya yang mulai terasa gugup.
Hanssel terdiam. Tatapannya berubah, tak lagi liar atau mengintimidasi. Ada secercah pengertian, bahkan kebingungan.
Bersama Nina, semuanya terasa berbeda. Tidak seperti wanita-wanita sebelumnya yang hanya ia temui ketika ingin bersenang-senang. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu siapa Hanssel sebenarnya.
"Baiklah," katanya akhirnya, beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. "Aku juga bukan pria yang tak tahu diri."
"What?!" Nina menatap punggung Hanssel, heran. "Dia... melepas aku? Begitu saja?"
Tiba-tiba, senyum licik muncul di bibirnya. "Kalau begitu... aku akan berpura-pura menyedihkan sepanjang malam."
Ia membuka tasnya dan mulai mengeluarkan perlengkapan makeup. Ia juga berganti pakaian, menanggalkan baju kerjanya dan bersiap dengan baju tidur yang baru dibelinya.
Namun ekspresinya berubah drastis saat melihat apa yang ada di dalam tas.
"HANSSEL SIALAN!! DIA TUKAR BAJU TIDURKU DENGAN LINGERIE?!" makinya lirih dengan nada frustasi.
Dengan terpaksa, Nina mengenakan lingerie tipis itu, menutupinya sebisa mungkin dengan kimono. Walau tetap terlihat seksi, setidaknya dia tidak telanjang bulat.
Nina pun meraih ponselnya dan menghubungi Rangga.
"Halo..." sahut Rangga cepat.
"Maaf aku tidak sempat mengangkat telepon... Aku baru selesai meeting!" sambung Nina dengan napas berdebar.
"Meeting apa sampai jam 10 malam?! Kamu diperbudak atau gimana?!"
Nada Rangga terdengar impulsif, sarat dengan posesif yang tak terselubung. Ia mulai mengambil alih peran sebagai penjaga diam-diam, meski Nina terus menyangkal.
"Aku memilih ini, Ga... Semua ini keinginanku sendiri. Aku nggak dipaksa," ucap Nina tenang, meski jelas lelah tergurat di suaranya.
Keduanya terdiam sejenak, membahas kondisi putra mereka, lalu hening mengambang di antara jarak dan waktu.
"Aku akan mulai menyerang Erick..." lirih Nina, matanya menerawang nanar ke arah jendela.
Helaan napas berat terdengar dari ujung sana. "Nina... jangan gegabah."
"Ini kesempatan emas, aku sudah hitung semua risikonya!" jawab Nina cepat, ada bara tekad dalam suaranya.
"Kamu lupa, kamu sedang dalam proses sidang hak asuh Jimmy... Kalau kamu gerak sekarang, dan Suho jatuh, mereka bisa pakai itu buat jatuhin kamu juga."
Deg!
Ucapan Rangga menohok. Nina menggenggam ujung bajunya, dadanya sesak. Arahnya sudah ia duga, tapi tetap saja nyeri saat dihadapkan kenyataan.
"Kita baru dapat kelonggaran dari pihak mereka. Jangan rusak semua karena terburu-buru. Fokus satu hal dulu, Na... demi Jimmy."
Nina mengangguk pelan, meski tahu lawan bicaranya tak bisa melihat. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Di antara semua badai yang menimpa, suara Rangga adalah jangkar tenang yang mengikatnya.
"Thanks, Ga..." bisiknya penuh ketulusan.
"Anything for you."
Sebuah pelukan mengejutkan menghapus aura sendu itu. Nina tersentak dan buru-buru menutup sambungan telepon. "Hanssel?"
Pria itu melonggarkan pelukan, dia tengah bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk dengan senyumnya yang menawan dan mematikan.
"Kamu nelpon siapa?"
"T-temanku... yang jagain Jimmy."
"Oh..." sahut Hanssel ringan. Tak ada curiga. Tak ada interogasi. Hanya sebuah senyum malas dan sorot mata yang terlalu nyaman.
Nina menelan ludah. Jantungnya berpacu tak karuan. Bukan karena takut... tapi karena terlalu dekat. Terlalu nyata.
"Kamu cocok banget pakai baju ini..." Hanssel mencium bibir Nina sekilas lalu mengangkat tubuhnya ringan menuju ranjang. "Bajumu tipis banget. Bisa masuk angin!"
"Daripada dimasukin... kamu!" Rutuk Nina spontan.
"Hahaha!" tawa Hanssel meledak. Ia meletakkan Nina perlahan dan memeluk tubuh mungil itu dari belakang.
"Tenang... malam ini aku nggak akan ngapa-ngapain."
"Bagus. Aku juga capek. Kamu bikin aku nggak bisa tidur semalaman!"
Hening. Hanya detak jantung dan napas yang saling menyatu.
"Hans..."
"Hmm?"
"Mari kita sepakat. Jangan jatuh cinta. Kita nggak ditakdirkan bersama. Kita nggak saling kenal. Ini... cuma keuntungan semata."
Hanssel membuka matanya pelan, lalu terkekeh. "Hah... Kamu emang tahu banget kapan waktunya bikin drama."
"Oke. Tapi kamu juga tahu, pacarku biasanya cuma tahan sebulan."
Deg!
Ucapan itu menggores luka yang sama dalamnya di hati Nina. Keduanya tersenyum... sambil diam-diam saling menyakiti.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Toko john 125
hmmmm, ini toh kenapa dikasih judul "Lets Not Fall ln Love" 🤔🤔 mungkin tadinya cuma komitment aja, tapi pasti endingnya Fall ln Love beneran kan 😍😍😍
2023-06-10
1