"Kamu harus tenang, aku pikir Jimmy tahu kebenarannya." Rangga berbisik lembut, mencoba menenangkan Nina yang tampak gemetar menahan gejolak batinnya.
Nina hanya mengangguk, tak sanggup bicara. Matanya sembab, namun tekadnya bulat.
"Erick, sesuai perjanjian kita... kamu menyetujuinya, bukan?" Suara Nina akhirnya keluar, penuh ketegasan.
"Apa-apaan ini?!" bentak Nyonya Besar Shin, menghentakkan tongkatnya ke lantai.
"Karennina! Kamu bukan lagi bagian dari keluarga Shin! Untuk apa kamu datang kembali ke sini?!"
"Karena aku IBU dari Jimmy!" tegas Nina dengan nada bergetar, namun penuh keberanian.
"Kau gagal menjadi istri! Bahkan kau tak pantas disebut ibu! Jimmy adalah penerus keluarga Shin, bukan milikmu!!" seru Nyonya besar, nyaris menjerit karena amarahnya.
Erick berusaha menenangkan, "Ma... Sudahlah. Semua sudah berlalu. Lagian... kalau bukan karena perusahaan Nina dulu, kita tidak akan punya apa-apa saat ini."
"ERICK SHIN!!!" Nyonya besar melotot, lalu dramatis menekan dadanya, berpura-pura kehilangan kesadaran. "Aku... aku tidak kuat...!"
"MAMAAAA!!!" Soraya berteriak panik sambil menopang tubuh mertuanya yang pura-pura limbung.
Erick ikut sigap. Keduanya membantu sang mama duduk, menciptakan pemandangan keluarga dramatis ala sinetron murahan.
Sementara itu, Rangga diam-diam mendekati Jimmy yang berdiri bingung di pojok ruangan.
"Hey... boleh kita kenalan?" tanyanya lembut.
Jimmy mengangguk malu-malu. "Boleh, Om..."
"Om ini teman ibumu. Dia sering cerita tentang kamu, tahu? Katanya... kamu adalah segalanya untuk dia."
Deg!
Air mata Nina yang sejak tadi menggantung akhirnya jatuh berderai. Ia tak mampu lagi menahan gejolak itu. Dengan tubuh bergetar, ia jatuh bersimpuh merentangkan kedua tangannya.
Tanpa ragu, Jimmy berlari secepat yang dia bisa dan langsung memeluk ibunya dengan tangisan pecah. Pelukan itu erat, seperti tak ingin dipisahkan lagi oleh siapa pun.
"Ibu... Ibu minta maaf, nak... Ibu kurang berjuang keras untuk merebutmu kembali... Tapi mulai sekarang, Ibu nggak akan pernah biarin kamu jauh lagi."
"Jimmy kangen ibu... Jimmy mau tinggal sama ibu aja... Jangan kirim aku balik ke rumah itu lagi!"
Lalu, suara polos Jimmy memecah udara. "Omma dan mami Soraya jahat padaku... Mereka sering bilang aku anak pembawa sial..."
JEDEERRR!!!
Bagaikan bom yang meledak di tengah ruangan.
Nina menggigil. Matanya terbelalak, marah, sedih, dan terluka dalam satu waktu.
"Mulai saat ini kamu tinggal dengan ibu..."
Jimmy mengangguk senang, Nina melengkungkan senyumnya. Di saat orang-orang masih sibuk dengan pingsannya Nyonya Besar, Nina telah membawa Jimmy pergi.
"Rangga, aku serahkan sisanya padamu."
"Aku benar-benar sangat berterima kasih padamu..."
"Kita bertemu di apartemenku esok ya..."
"Iya..." Rangga terharu melihat pertemuan ibu dan anak barusan. Ia tidak bisa berkata banyak. Justru kini dia tengah memperingatkan Nina agar segera pergi dari tempat itu dan membawa Jimmy pulang ke tempat aman.
Tanpa basa-basi, Nina membawa Jimmy ke bandara dan meninggalkan Bali secepatnya. Rangga mengurus sisanya dengan keluarga Shin, sesuai rencana yang telah mereka susun sejak pertemuan di kamarnya tempo hari.
"Di mana Jimmy?!!" Soraya panik.
"Dia berada dengan orang yang tepat!!" jawab Rangga dingin.
"Erick Shin, berikut surat panggilan pengadilan... Karennina resmi menggugat hak asuh anaknya. Minggu depan kamu harus hadir di pengadilan di ibu kota untuk mengikuti semua proses hukum."
Tanpa basa-basi, Rangga meletakkan map coklat di atas meja, lalu melangkah pergi dari hadapan keluarga Shin.
"APAAA??!!" pekik Soraya, tidak terima.
Bukan karena ia menyayangi Jimmy, melainkan karena kehilangan Jimmy berarti kehilangan alat tekan untuk memeras Nina di masa depan.
"Sudahlah, Soraya... Kita sedang membutuhkan suntikan dana untuk perusahaan yang tengah krisis."
"Rangga menawariku penawaran yang bagus... Bukankah anak itu berguna? Menukarnya dengan kesehatan likuiditas perusahaan, kita tidak rugi, malah untung."
Erick mencoba menjelaskan dengan nada gemetar. Meski selama ini ia kejam, darah dagingnya sendiri tak seharusnya diperlakukan sebagai barang tukar demi kekuasaan dan uang. Terlebih, ia dan Soraya belum juga dikaruniai anak hingga kini.
Aku tidak menyangka bisa kembali bertemu Nina. Dia bahkan terlihat lebih cantik dari terakhir kali aku mengusirnya...
Erick membuka dan membaca berkas panggilan dari pengadilan. Ada getaran aneh dalam hatinya. Mungkin, itu adalah penyesalan. Atau perasaan yang selama ini dia tekan dan pura-pura tidak ada. Wanita itu, Nina, pernah menjadi istrinya. Pernah menjadi bagian dari hidupnya selama setahun penuh.
Aku sangat emosi saat tahu keluargamu menghina keluargaku, Nina. Semua ini tentu karena ulahmu! Jika saja keluargamu tidak angkuh memandang rendah aku dan keluarga kecilku, mungkin kita masih bisa berbahagia sampai detik ini...
***
Disisi lain…
"Putar balik!!" pekik Hanssel tiba-tiba, membuat Farell, sang sopir, menoleh cepat ke arah spion.
"Tuan?" tanya Farell heran.
Hanssel gelisah, duduknya tak tenang sejak tadi. Seharusnya kini mereka sudah hampir sampai di bandara. Namun, bayangan wajah Nina terus menari di kepalanya, memukul hatinya dengan rasa sesal yang tak berujung.
"Cepat! Kembali ke hotel sebelumnya!"
"B-Baik, Tuan!"
Mobil segera berbalik arah, melaju cepat ke hotel tempat mereka menginap sebelumnya. Sesampainya di lobby, Hanssel langsung turun tanpa menunggu pintu dibukakan. Langkahnya panjang dan terburu-buru. Namun, baru beberapa meter berjalan, dia berpapasan dengan Rangga.
"Lah, lu masih di sini, bro?" tanya Rangga, heran melihat sahabatnya muncul kembali.
"Ada urusan sebentar," jawab Hanssel singkat, matanya menyapu sekeliling.
"Lu pulang sekarang?"
"Yoi," sahut Rangga santai.
"Tunggu di situ!" teriak Hanssel sambil terus berjalan menuju resepsionis.
Rangga mengernyit bingung, namun menuruti permintaan itu. Hanssel segera menghampiri meja resepsionis, nadanya tergesa dan mendesak.
"Tamu atas nama Karennina... Dia masih di sini?"
Resepsionis memeriksa data sejenak, lalu menjawab sopan, "Maaf, Tuan. Ibu Karennina sudah check-out satu jam yang lalu."
BRAK!
Hanssel tanpa sadar menggebrak meja. Wajahnya penuh frustasi. Resepsionis terkejut, namun tak berani berkata apa-apa.
"Sial..." desis Hanssel pelan, lalu memutar badan dan kembali menghampiri Rangga.
Rangga yang baru selesai menerima panggilan telepon, langsung menyapa, "Udah beres urusan lu?"
"Udah," jawab Hanssel dengan nada hambar.
"Gua juga udah, langsung mau cabut. Fokus sidang di Jakarta."
"Balik bareng aja, deh," ujar Hanssel lesu.
Rangga menatapnya heran, "Lah... Emang kerjaan lu di sini udah kelar?"
"Kelar... Tapi ya sudahlah."
Mereka berjalan berdampingan menuju mobil yang terparkir di depan. Obrolan mereka terdengar seperti percakapan biasa, tapi aura yang terpancar dari Hanssel sangat berbeda.
"Nyampe Jakarta langsung ke Mo ya. Ajak anak-anak sekalian," ucap Rangga lagi.
Hanssel mengangguk lesu.
"Eh... Naga-naganya lu lagi patah hati ya?!" ejek Rangga sambil menyenggol bahu sahabatnya.
"Pria Casanova kayak lu mana kenal sama yang namanya patah hati ya nggak sih?! Hahahaha!"
"B*ngke lu!" Hanssel mengumpat pelan, kesal.
Dalam hati, Hanssel mencengkram kuat emosi yang mendidih.
Tunggu aku, Nina... Kita belum selesai. Aku akan pastikan kamu menyesal karena pernah membuatku merasa seperti ini. Kamu akan datang padaku... Berlutut dan memohon... Aku bersumpah itu akan terjadi...
Senja di balik kaca mobil tak seindah biasanya. Bagi Hanssel, hanya awan mendung yang kini bergulung di dadanya.
***
Hanssel telah berada di apartemennya. Setelah sampai di bandara, dia dan Rangga memilih berpisah. Niat awalnya adalah minum di bar, namun Hanssel membatalkannya dengan alasan lelah. Meski alasan sesungguhnya adalah karena perasaan yang benar-benar kacau akibat ulah sekertaris pribadinya yang kini menghantui pikirannya.
"SIAAAALAN!!"
PRAAANG!
Gelas wine di tangannya melayang menghantam lantai, pecah berantakan. Amarahnya belum reda. Dengan kesal, Hanssel menyuruh Farell merapikan kekacauan di ruang tamu sebelum akhirnya dia pergi ke suatu tempat dengan langkah cepat dan penuh emosi.
Sedangkan di apartemen lain, Nina tengah bersuka cita.
"Sayang, kamu sudah bersih..."
Dengan penuh kasih, Nina memakaikan piyama tidur untuk putranya. Masih tak percaya bahwa kini Jimmy benar-benar bersamanya kembali. Setibanya di ibu kota, Nina langsung mengajak Jimmy membeli semua keperluannya. Pakaian, sepatu, tas, topi, hingga aksesoris lain yang membuat mata si kecil berbinar.
"Sekarang giliran ibu mandi ya, kamu tunggu dulu nonton TV."
"Baik, Ibu..." jawab Jimmy patuh dan manis.
Nina tersenyum dan menciumi kedua pipi anaknya dengan rasa syukur dan bahagia yang tak bisa disembunyikan.
Ting... Tong...
Bel pintu berbunyi, membuat Jimmy menolehkan kepala kecilnya.
"Ibuu, ada tamu... Perlu aku bukakan?"
"Buka aja sayang, mungkin Om Rangga," sahut Nina dari dalam kamar mandi.
"Baik, Ibu!"
Jimmy segera berlari kecil menuju pintu. Saat pintu terbuka...
"Halo..."
"WOOAAAH! Mr. Teddy Big Bear!!!" pekik Jimmy dengan mata membulat penuh takjub.
Rangga muncul dari balik boneka teddy bear raksasa, menyembunyikan wajahnya di balik kepala boneka itu.
"Kamu suka?" tanya Rangga sambil tersenyum.
"SUKAAAA!!" Jimmy langsung memeluk erat boneka yang ukurannya hampir dua kali tubuh mungilnya.
Rangga tertawa melihat ekspresi bahagia itu.
"Boleh Om masuk?" tanyanya, menyadari belum mendapat izin dari tuan rumah cilik.
"Oh iya, Om! Maaf, Jimmy keasyikan peluk Teddy!"
"It's okay. Kamu bisa coba menggendongnya."
"I can't!!" Jimmy mencoba melingkarkan tangannya, namun terlalu kecil untuk merangkul seluruh tubuh boneka.
"Kamu bisa seret kalau mau. Atau Om bantu bawa masuk?"
"Okaaay!"
Keduanya tertawa dan masuk ke dalam. Tak lama, suara pintu kamar mandi terbuka.
Nina keluar hanya berbalut kimono handuk, rambutnya masih tertutup handuk kering. Rangga terdiam. Matanya tak berkedip menatap Nina, yang tampak memesona dalam kesederhanaan itu. Saliva terasa sulit ditelan.
"Ibu, lihat! Om Rangga bawa boneka raksasa buat aku! Om Rangga baik banget!!" seru Jimmy sambil menunjuk hadiah barunya.
Nina melongo sebentar, takjub melihat ukuran boneka itu. "Beuh... gede banget!"
"Sampai jam berapa? Udah makan?" tanyanya santai, seolah tak menyadari tatapan Rangga yang sedang freeze mode.
"Ehem... Baru sampai 30 menit lalu," jawab Rangga, berusaha menguasai diri dan duduk di sofa tanpa menunjukkan rasa canggung.
"Sudah bilang terima kasih belum?" tanya Nina pada putranya.
"Oh iya!"
Jimmy kembali memeluk Rangga dengan penuh semangat.
"Thank you so much, Uncle!! You're my favorite person after my mom!"
Rangga tersenyum lebar. Hatinya terasa hangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, dia merasa benar-benar dihargai dan dibutuhkan.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments