Buliran air menempel dipermukaan kaca membiaskan sorot lampu jalanan. Kota malam hari begitu lengang, bukan hanya karena larut, namun karena hujan yang mengguyur entah sejak kapan.
Dalam sepi, mobil sport merah itu melaju menembus rintik hujan yang kini mulai reda. Lagu milik LiSA mengalun disepanjang perjalanan, mengisi keheningan yang tak kunjung berakhir.
Sevan yang duduk dibelakang kemudi hanya bersenandung lirih untuk menyapu bosan sekaligus penat yang menghinggapi otot tubuhnya. Sesekali ia melirik ke arah spion, memperhatikan keadaan di bangku belakang yang menjadi faktor utama keheningan yang menelan mereka.
Laju mobil semakin melambat, sampai putaran rodanya berhenti sepenuh nya di depan kediaman Ravael. Netra blue sky Taufan menerawang dari balik kaca mobil, memandang pekarangan yang dihias lampu taman tanpa menunjukan tanda-tanda akan segera beranjak. Cukup lama, sampai Arga memutuskan untuk buka suara.
"Kalau kau masih ragu untuk pulang, kau bisa menginap di rumahku." Ucapnya yang merasa Taufan masih cukup ragu untuk pulang.
Taufan menghela nafas, mengulas senyum tipis kemudian menggeleng singkat, "Makasih buat tawarannya Arga, tapi ini rumahku, tempatku untuk kembali."
Sorot matanya beralih memandang teman temannya yang nampak letih karena perjalanan ini, "Maaf ya aku sudah menyusahkan kalian, dan makasih juga udah care sudah padaku."
"Ahh, kau itu ngga pantas bersikap seperti ini. Kita kan teman, jadi sante aja lah." Sahut Leon dengan gaya sok kerennya.
"Baiklah, dan terimakasih buat tumpangannya Sevan."
"Ya ya... Tapi... Lain kali jangan membuatku mendaki gunung lagi!" Sevan memberi kepalan tangan yang disambut baik oleh Taufan sebelum ia beranjak keluar.
"Besok beristirahatlah, jangan paksakan dirimu untuk sekolah." Pesan Arga.
Sebenarnya menunjukan kepeduliannya secara verbal bukanlah gaya Arga, namun kali ia tak bisa lagi menutupi rasa cemas nya pada manusia biru itu. Bukan tanpa alasan, sejak mereka bertemu di gunung tadi, Taufan bersikap tak seperti biasanya, tingkah hyperactive menghilang entah kemana. Sepanjang perjalanan ia juga membisu. Hanya memandang ke luar jendela sambil menghela nafas berat. Ia duga masih ada hal yang terus mengganggu pikiran pemuda itu.
"Okkay!" Sambil mengacungkan jempol nya, tersenyum cerah meskipun terlihat begitu dipaksakan.
Atmosfer terasa berat seolah menahan kaki Taufan untuk berbalik dan melangkah. Waktu berjalan dengan begitu lambat. Kaca jendela dimana Yuki duduk terbuka, rambut panjangnya tersibak disapu angin malam. Sebuah kalimat terucap usai kebisuan panjang yang ia rasakan seorang diri, mata Yuki berkilau menyimpan pesan namun tak tersampaikan.
"Jaga dirimu baik-baik."
Taufan mengangguk kecil, masih bertahan dengan senyumnya, "Kau juga."
Pandangan gadis itu meredup. Kata-kata yang ingin terucap tertahan diujung lidah. Hingga hanya seulas senyum yang terbit dibibir tipis itu. "Selamat malam." Ucapnya di akhir.
"Eum, malam." Sepatah kata yang Taufan ucapkan sebelum ia berbalik memasuki rumah nya. Dengan seulas senyum menyampaikan salam perpisahan untuk sementara, berharap ia tak akan kehilangan mereka atau meninggalkan nya.
Sosok Taufan yang menghilang dibalik pintu adalah saat terakhir mereka melihatnya malam itu.
"Dia akan baik-baik saja kan?" Gumam Sevan tak bisa mengalihkan pandangannya dari halaman rumah Taufan.
"Ya, dia akan baik-baik saja." Kata Yuki. Rasanya kalimat itu hanyalah untuk menenangkan teman teman nya juga dirinya, karena kecemasan yang masih menyelimuti masing masing dari mereka.
*****
Taufan POV
Udara terasa kering menyesakkan di paru paru. Gelap menguasai pandanganku ketika pintu kembali tertutup. Remang-remang cahaya dari cahaya lampu di halaman depan membuat ruangan tak sepenuhnya gulita.
"Aku pulang."
Pada kekosongan aku memberi salam. Seisi rumah ini sudah terlelap, begitu pikirku. Sebelum aku mendengar sayup sayup tangisan lirih dalam keheningan malam. Pandanganku terpaku pada sebuah pintu bercat coklat.
Ku ambil langkah kecil menuju sisi lain ruangan itu. Sebuah gantungan pintu di sana membuatku teringat memori kecil. Masih terekam jelas dalam ingatan saat tangan kecil Ken menyapukan kuas cat pada permukaan kayu itu.
Aku hanya mampu membuang nafas berat, kepingan ingatan itu melukaiku. Seseorang menangis di dalam, membuang air mata untuk orang terkasih yang dirindukan nya. Aku yakin saat ini Ken tengah meringkuk di atas kasur sambil memeluk frame foto keluarga yang pernah diambil sebelum kepergian orang tua kami.
Bukan sekali ini aku mendapati adikku menangis. Setiap kali mendengar isak tangisnya, aku ingin memeluk tubuhnya. Berbagi kehangatan dan memberinya kasih sayang seperti yang ayah ibu berikan.
Sayang aku tak punya keberanian sebesar itu. Sekian menit terpaku di sana sambil berharap pintu itu terbuka untukku. Tapi kurasa itu hanyalah imajinasi ku semata. Pada akhirnya aku tak sanggup dan melangkah lebih jauh, meniti anak tangga untuk mencapai kamarku di lantai 2.
Alih alih ingin segera mengistirahatkan tubuhku, perhatianku tercurah pada ruangan di seberang kamarku yang sedikit terbuka. Lampu kamarnya masih menyala, kupikir kak Hali juga belum tidur. Lewat celah pintu ku dapati sosok kakak yang sejak dulu selalu ku kagumi, tertidur di meja belajarnya. Aku berdecak, dia bisa sakit kalau begini caranya.
Lantai keramik yang sering ku tapaki saat kecil dulu selalu bersih, yah, kakakku memang tak pernah luput soal kebersihan. Aroma mint yang berasal dari pengharum ruangan selalu menjadi favoritnya, tatanan ruangannya pun masih sama sejak terakhir kali aku masuk ke ruang pribadinya.
Monitor yang masih terjaga menunjukan halaman yang tengah dikerjakannya, dia sedang mengerjakan suatu proyek. Dengkuran halus terdengar teratur, kantung mata hitam menghiasi kelopak matanya. Dia pasti sangat lelah. Seketika aku tertegun, hatiku kembali terasa tertusuk teringat ucapannya tempo hari.
'Apa aku ini memang hanya beban baginya?' pertanyaan itu terngiang di kepalaku.
Aku meraih secarik kain tebal dari tempat tidurnya, menyelimuti tubuh yang hanya terbalut kaos lengan pendek itu.
Aku tersenyum, sebuah senyum miris yang mengisyaratkan rasa sakit. Ku dekatkan diri padanya rasanya rindu. Sangat rindu, akan belaian lembutnya, akan Omelan nya, bahkan akan jitakan halus ketika aku berbuat di luar batas yang tak lagi bisa kurasakan.
"Ngga peduli sebenci apa kalian padaku. Aku tetap sayang kalian."
Aku tak sepenuhnya berharap ia mendengarnya. Tak apa jika ucapan ku hanya di dengar oleh kehampaan, karena itu tak akan mengubah apapun.
Ragaku berjalan menjauh, mematikan lampu dan menutup pintu perlahan. Sejenak aku berpaling memastikan ia masih terlelap dalam tidurnya. Aku tertawa dalam hati, bersikap perhatian seperti ini bukanlah gayaku. Helaan nafas terbuang sia-sia, namun mungkin sebenarnya akulah yang merindukan perhatian.
Tak ada yang berubah dari kamarku, semua masih sama sejak hari dimana aku meninggalkan tempat ini. Itu artinya tak ada yang memasukinya. Bahkan jendela masih terbuka membuat angin berhembus ke dalam.
Brug
"Uhuk! Uhuuk Uhuuuuk.. Uhmmm!"
Tubuhku yang tak lagi ada daya perlahan merosot tertarik gravitasi. Udara berdebu yang mendominasi atmosfer dingin membuatku terbatuk hebat. Perlahan dan kian menjadi. Tanganku sampai membekap paksa mulutku sendiri, berusaha meminimalisir suara agar tak membuat kak Hali terbangun.
Cairan yang terasa seperti besi berkarat menyeruak mengisi rongga mulutku, cairan merah merembes lewat celah jariku dan baru kusadari bahwa itu darah. Mendadak dadaku terasa sakit dan menyesakkan.
Tubuhku yang terkulai lemah hanya mampu bergantung pada dinding sebagai sandaran. Dengan serakah aku menghirup nafas dalam, paru-paru yang seolah ditekan bongkahan batu raksasa membuat dadaku terasa nyeri di setiap tarikan nafas. "Dasar tubuh lemah.. Ugh..!" Cibirku merutuki diriku sendiri yang seperti orang sekarat.
Tanganku jatuh terkulai, noda merah yang tercecer di lantai di lantai tak kuindahkan.
Apa aku terlalu memaksakan diri?
Sudah sejak kemarin aku merasakan nyeri di dadaku, namun aku abaikan. karena tak mau merepotkan Rehan dan lainnya. Dan inilah puncak dari rasa sakit itu. Aku benar-benar tak punya tenaga lagi, bahkan untuk beranjak untuk berbaring di kasur. Rasa sakit benar-benar menghantam setiap inchi tubuhku.
Pikiranku melayang. Sekilas terbayang di pikiran ku jika aku mati hari ini, apa yang akan terjadi? Apakah akan ada air mata untukku. Aku jadi teringat ucapan Stella, dia bilang akan menangis untukku, sedangkan dia sendiri sudah berada di dunia lain.
Aku lelah...
Dengan hidupku..
Dengan tubuh lemah ku..
Dengan kondisi yang menyedihkan seperti ini...
Namun beberapa alasan menguatkan tekad ku untuk tidak pasrah pada keadaan.
Aku terdiam terpaku. Sang luna yang dibingkai kaca jendela dihias tirai putih yang dipermainkan angin malam membuatku ragu untuk mengalihkan pandangan. Malam yang tenang, mungkin aku juga bisa tidur dengan tenang.
Bayang bayang rembulan terpantul di keramik putih nampak buram.
Perlahan namun pasti, siluetnya kian meredup. Batas antara kesadaran kian menipis, ringan kurasakan. Dalam kegelapan aku terlelap, tanpa sedikitpun cahaya, aku pun tenggelam di dalamnya.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻Fasrina Sisira
Taufan setelah semua ini kamu masih saja tampak begitu kuat, suatu hari nanti kamu juga akan mampu mengetuk pintu hati saudaramu agar lebih sadar.
2023-04-21
2
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻Sefati Winari
Padahal kan ada kasur, kalau udah terasa begitu lelah pindah aja. Nanti pas bangun jangan salahkan tubuh yang tiba - tiba terasa kesemutan sampai keram.
2023-04-21
1
Yongli yuro
Taufan kasihan....
2022-05-11
3