Bagi mereka yang menghargai kehidupan mereka, tergantung cara mereka menerima yang Tuhan berikan. Apa yang kita tunaikan hari ini akan kita panen hari berikut nya. Seperti senja, kadang ungu cantik, kadang jingga keren, kadang juga kelabu menyedihkan. Apapun itu langit selalu menerima senja apa adanya.
Tiang yang menjulang dengan bohlam di ujungnya mulai menerangi jalanan kota yang padat. Sesekali lampu berubah dari hijau dan menjadi merah. Para pejalan kaki berlalu lalang di hadapan kuda besi yang mengantarkan hajat orang-orang yang merindukan keluarga di rumah.
Di waktu sebagian orang melepas penat dengan secangkir kopi atau bercengkrama, bertukar kisah luar biasa yang mereka alami. Tak berbeda jauh dengan lelaki beriris sky itu, yang hobby memetik gitar akustis sembari bernostalgia dalam kisah klise.
Lembaran setiap orang pasti berbeda, tak terkecuali dengannya. Halaman barunya tergores tinta dengan cerita yang berbeda.
Latihan telah usai, Arga yang kala itu berada di sebelah Taufan sedikit nenyikut pinggang pemuda bermata biru di samping nya. Ia menunjuk pada jam tangan yang dikenakan nya, yang sudah menunjukkan pukul 21.00.
Hari semakin larut, Taufan dan Arga berniat untuk langsung pulang sekarang. "Kalian yakin mau pulang sendiri? Aku bisa antar kalian sampai rumah."
"Gak perlu, kami bisa pulang sendiri kok. Lagian rumah kami tak begitu jauh." Ujar keduanya yang entah kebetulan atau apa, berucap secara bersamaan.
"Kompak amat. Ku lihat lihat, apa kalian sahabat dekat? Atau saudara?" Tanya Leon yang memperhatikan kekompakan keduanya.
"Ya, dia dah kaya kakak ku sendiri yang selalu overprotective dan cerewet nya melebihi emak emak. Jadi wajar saja kurasa." Ucap Taufan asal. Mengingat hanya Arga yang memperlakukan nya selayaknya keluarga sebenarnya, wajar saja Taufan berkata seperti itu.
"Selain itu, kami sudah saling mengenal sejak TK." Sambung Arga.
"Pantas saja, jika begitu, sampai jumpa esok." Ujar Sevan sambil melambaikan tangan.
"Tentu! Bye semua!" Balas Taufan dengan ceria.
Taufan melangkahkan kakinya menjauhi rumah Sevan. Raut wajah nya berubah sendu. Ia memasukkan tangan nya ke dalam saku jaket nya. Helaan nafas terdengar dari mulut pemuda itu.
"Masih harus kerja part-time." Gumam nya pelan.
"Jangan memaksakan diri. Ingat kesehatan mu." Arga mencoba mengingatkan. Jujur saja ia cukup khawatir dengan kondisi sahabat nya itu.
Namun, gelengan dan senyuman yang ia dapatkan. "Aku tidak apa kok! Kalo gitu, aku duluan ya!" Ujar Taufan kemudian mengambil jalan di persimpangan.
"Hati hati di jalan!" Seru Arga lalu berjalan menuju rumah nya.
*****
Angin berhembus di malam itu. Suhu udara malam ini lebih dingin dadi biasanya. Asap putih mengepul dari sela bibir nya yang kering memucat. Sambil terus kakinya menapaki jalanan lengang, ia mengeratkan jaket birunya.
"Haah, malam ini lebih dingin dari kemarin." Gumamnya.
Langit selalu berubah, matahari terbit dan tenggelam, waktu terus berjalan, hari silih berganti. Setidaknya sudah terhitung 3 minggu ia pulang selarut ini. Memang belum lewat tengah malam, namun setiap malam dilewati nya dalam hening.
Ya, begitulah kesehariannya kini. Sekolah, latihan band dan kerja. Sungguh sibuk, tapi jauh lebih baik daripada harus tinggal di rumah seharian atau mendengar hujatan dari orang lain.
"Aku pulang." Ucapnya lirih, terdengar lesu. Entah kenapa hari ini sangat melelahkan. Ingin rasanya segera merebahkan tubuh yang tanpa ia sadari semakin tak terisi.
Mata nya beralih pada jam di pergelangan tangannya. Ia tidak salah membaca jam kan? Hampir pukul 11 malam, lampu belum dimatikan dan televisi masih memutar sebuah film yang sepertinya masih di jaga seseorang.
Dilihatnya Hali yang duduk membelakanginya. Tak biasanya kakak nya itu menonton tv selarut ini. Tapi hal itu tak begitu ia pedulikan, ia sudah lelah, sangat lelah.
"Dari mana kau?" tanya Hali tanpa memalingkan wajah nya.
Taufan terkejut, sedikit terkejut mendengar Hali bicara padanya. Langkah nya terhenti di anak tangga pertama, memandang punggung kakaknya yang dulu ia kagumi. Sekian detik ia terpaku tanpa niatan menjawab pertanyaan itu.
"Aku tanya, darimana kau seharian ini sampai pulang jam segini?" Ulangnya dengan nada yang meninggi.
Ia berpaling, siluet Taufan tercermin jelas dalam iris ruby itu.
Ia mulai beranjak, "Berkelahi dengan kakak kelas, sering membolos, nilai tak pernah tuntas, dan sekarang kau sudah berani pulang malam seperti anak yang tak pernah diajari aturan." Ia terdiam sejenak sambil menunjukan secarik kertas. "Aku mendapat undangan dari sekolah, gara-gara semua tingkah bodoh mu selama ini."
Taufan berdecak, "Ya sudah, kalau ngga mau datang, ya ngga usah datang kan?" Sebisa mungkin ia tidak menatap netra kakak nya. Entah takut atau kecewa, Taufan sendiri tak mengerti dengan yang dirasakan nya.
Namun sayangnya ia salah berharap, ia pikir kakak nya itu akan mengkhawatirkan nya. Selama ini Hali tak pernah menegur apapun yang dilakukan nya. Seolah bersikap bodoh akan kehidupan nya. Bukankah harusnya ia senang karena kali ini kakak nya sedikit memperhatikan nya?
Jawabannya, TIDAK! Itu bukan perhatian, melainkan bentuk penghakiman terhadap nya. Dia tau dia bodoh, dibandingkan dengan adiknya yang selalu menempati peringkat 1, atau kakak nya yang bisa diandalkan di segala bidang, dia bukanlah apa-apa. Tapi bukan berarti dia bisa dibodohi, apalagi mengenai perasaan.
"Kalau kau sudah tak bisa diatur, kau boleh angkat kaki dari rumah ini." Sahut Hali mengancam.
"Haha, diatur? Kapan Kak Hali mengaturku? Kakak selalu mengabaikan ku seolah aku tak pernah ada! Dan sekarang kak Hali menuduhku tak bisa diatur? Haha, menggelikan."
"Kau sudah besar, harusnya kau tau apa yang harusnya kau lakukan dan bagaimana kau bersikap! Berhenti bersikap seperti bocah, apa kau tak merasa kalau kau itu hanya beban!?" Emosi Hali pecah, sudah lama ia memendam semua ini.
Akhirnya tersampaikan, diantara lega dan perasaan lain yang membuatnya sesak dan juga, sedikit sakit. Entahlah, saat ini amarah lebih menguasainya ketimbang logikanya.
Taufan menggertakan giginya, "Beban? Begitu Kah kakak menganggap ku selama ini? Kakak ingin tahu apa yang aku lakukan sampai pulang selarut ini? Aku bekerja untuk membantumu! Karena aku tau hidup tanpa orang tua itu tak mudah! Aku juga mencoba belajar menjadi lebih dewasa. Jadi bisakan kak Hali mempedulikan ku?"
Haruskah ia mengemis seperti ini agar kakaknya bersimpati padanya? Meskipun sedikit saja, itu sudah cukup. Ia tak meminta lebih. Terlalu tinggikah harapannya itu?
"Diam! Berhenti memanggilku kakak! Aku tak pernah punya adik sial sepertimu! Kau pikir hal yang terjadi saat ini gara-gara siapa? Hah!? Kalau saja kau tidak terlahir dalam keluarga ini, orang tuaku tak akan pergi secepat ini. Akan lebih baik jika kau tidak pernah terlahir di dunia ini. Aku dan Ken pasti akan hidup tenang dengan ayah dan ibu tanpa orang sialan seperti mu! "
Deg!
Nafasnya tercekat seketika bersama jantungnya yang berhenti sesaat. Ucapan Hali seperti meriam yang menghancurkan pertahanan Taufan yang sudah lama ia bangun dari kepingan-kepingan manis di masa lalu. Hal yang mampu membuatnya bertahan hingga detik ini. Namun akhirnya runtuh juga.
Bibirnya terkatup rapat, tak sanggup berucap. Ia terdiam dalam kekacauan batin. Kepalanya berdenyut serasa ingin pecah. Matanya memanas. Sudah tak ada harapan lagi, tak ada lagi alasan baginya untuk menghirup udara lebih dari ini.
"Okke, kalau itu yang kak Hali inginkan. Aku akan pergi. Anggap saja aku tak pernah hadir dalam keluarga ini sesuai harapan kak Hali. Tapi sebelum itu, beri aku waktu sebelum aku benar-benar menghapus namaku dari keluarga ini."
Entah bagaimana bisa Taufan menyembunyikan suara paraunya. Ia benar-benar hancur. Langkahnya seperti orang lunglai mulai meniti tangga, meninggalkan Hali yang terpaku di bawah sana yang hanya menatap punggung adiknya yang menghilang di persimpangan lantai 2.
Sisa tenaga Taufan gunakan untuk kembali pada zona nyamannya. Tubuh ringkih itu merosot dibalik pintu sambil memeluk lutut. Ia mulai terisak, segala emosi dan ego luntur bersama air matanya.
Ia putus asa.
Haruskah ia menyerah pada keadaan? Atau pergi untuk menemukan kebahagiaan nya yang baru dengan hati yang terlanjur hancur
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
diliat doang kagak di baca
lah aku baca ini jam 23.42🙂 itu bukan begadang.... aman.. itu karna ada acara dirumah... jadinya lambat tidurnya
2023-07-04
0
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻Fasrina Sisira
Suka banget sih sama orang yang bisa mainin gitar, rasanya asyik aja. Apa lagi sama - sama klaborasi yang satu nyanyi yang satu petik bakal keren banget kalau pas dan cocok
2023-04-21
1
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻Sefati Winari
Menerima bukanlah hal yang mudah, karena rasa syukur juga bisa hilang akibat lidah insan yang tak pernah berpikir ketika mengucapkan sesuatu.
2023-04-21
1