Hari ini hari senin, hari yang cukup berat dan menyebalkan bagi Taufan. Karena upacara di laksanakan di hari ini, dan setelahnya langsung di sambung dengan pelajaran oleh raga yang sama sama menguras tenaga.
Ditambah, dengar dengar kepala sekolah yang akan berpidato yang jelas akan sangat lama dan panjang. Ia heran, apa kepala sekolah nya itu tidak lelah mengatakan hal hal sepanjang itu, apalagi harus merangkai kata dan semacamnya. Sementara memaksa murid murid terus berdiri di tengah teriknya sinar matahari.
Ingin sekali Taufan membolos. Atau pura pura sakit sepertinya ide yang bagus. Akan lebih baik jika dirinya bersantai di UKS daripada berpanas panasan. Tapi Taufan dengan terpaksa menyingkirkan pikiran itu. Ia tak ingin menambah gelar baru di sekolah nya.
Sudah cukup ia mendapat gelar 'biang onar' dan 'tukang bolos' ia tak ingin mendapat gelar 'penipu' kali ini.
Ketahuilah, dirinya masih lelah setelah mendaki kemarin. Waktu istirahat nya masih belum cukup. Ia masih membutuhkan liburan. Kenapa hari senin ke minggu itu begitu lama, sedangkan hari minggu ke senin hanya seakan jarum jam yang berdetik ke angka berikutnya saja. Sungguh singkat.
Dan tepat seperti yang ia duga, upacara kali ini berlangsung lebih lama karena ceramahan pak kepala sekolah yang begitu panjang. Ingin sekali Taufan kabur, tapi tekat nya sudah bulat kali ini untuk tetap bertahan, walau dalam hati ia terus menggerutu tidak jelas.
Setelah upacara selesai, Taufan langsung merebahkan tubuh nya di meja. "Akhirnya... Aku merasa hidup kembali."
Namun, ketahui lah, ketenangan itu tak akan berlangsung selama nya.
Bruk!
"Woy! Siapa sih yang seenaknya lempar baju gini?" Protes Taufan kesal. Jelas saja, dirinya sedang santai tiba tiba dilempar baju siapa yang tidak kesal?
"Cepat ganti baju mu. Aku tau kau sengaja tidak bawa baju olahraga biar bisa bolos kan? Aku ada pertandingan basket, paling balik siang nanti. Jadi gak usah banyak alasan lagi. Kau tahun lalu dah hampir tinggal kelas karena absen mu kurang tau." Oceh Arga panjang lebar.
Ya, Taufan sekarang duduk di kelas 2 SMA. Tahun lalu ia tak begitu mempedulikan kehadiran nya di sekolah. Memikirkan hidup nya saja sudah membuat nya stress. Tapi karena janji dengan sahabat satu satunya itu, ia akan memperbaiki nya dan coba untuk lebih rajin di tahun ini.
Selain itu, tentu saja ia tak ingin satu kelas dengan Ken adik nya.
Tapi, ketahuilah, dirinya masih lelah karena mendaki kemarin.
"Iya iya aku tau. Kau enak ya, bisa gak ikut pelajaran olahraga yang melelahkan itu." Ucap Taufan dengan polosnya.
"Gini gini aku juga harus tetap kejar pelajaran tau. Lagian hari minggu yang seharusnya buat istirahat kenapa malah kau pake buat mendaki yang jelas buat tambah cape?" Sungguh, Arga tidak paham dengan apa yang Taufan pikirkan.
"Lagian di rumah buat apa? Cuma nambah sakit. Mending mendaki, bisa refreshing lihat pohon pohon." Taufan tidak berbohong. Ia lebih memilih di luar rumah daripada menambah sakit dan sesak di dada nya.
Arga hanya menghela nafas. "Hidup mu berat juga ya."
"Emangnya kapan hidup ku tenang?"
Pertanyaan itu membuat Arga terdiam seketika. Ia telah mengenal Taufan sejak TK, dan ia tau jelas sahabat nya itu. Di saat Taufan merasa hidupnya sudah tak berarti lagi, Arga lah yang menjadi penopang sekaligus penyemangat Taufan untuk tetap bertahan. Ia tau pasti berat terus di salahkan atas apa yang tidak di lakukan nya. Tapi apa yang bisa ia lakukan?
Dirinya tidak bisa melawan saudara saudara Taufan. Jelas pemuda itu akan marah nanti. Walau kedua saudara nya begitu membenci Taufan, tapi tetap saja, pemuda bermanik biru itu tak akan membiarkan siapapun menyakiti hati kedua saudara nya.
Arga menghela nafas. "Dahlah, cepet gih. Dah di tunggu sama lainnya tuh."
Taufan akhirnya hanya bisa pasrah. Ia tak ingin mendengar ocehan Arga lebih lama lagi.
"Baiklah, aku bakal ganti baju.
[08.20 lapangan sepak bola_]
Matahari bersinar dengan terik. Langit biru dan gumpalan awan sebagai penghias di langit sana. Angin sepoi sepoi bertiup sedikit mengurangi panas yang menyengat. Ini masih terbilang lagi, tapi suhu udara sudah cukup panas bagi Taufan.
Sudah lewat 10 menit sejak jam pelajaran di mulai, dan pemuda bermanik biru baru saja menunjukkan batang hidung nya. Siapa lagi jika bukan Taufan, pemuda hyperactive yang terkenal di sekolah karena selalu membuat onar?
"Kau tau ini sudah jam berapa? Teman teman mu sudah memulai olahraga sedaritadi. " Ujar guru olahraga.
Tanpa menunjukkan rasa bersalah, Taufan hanya menunjukkan senyuman nya. Walau sebenarnya ia terus menggerutu tentang hari ini. Sudah lelah upacara, masih saja di lanjut pelajaran olahraga yang jelas menguras tenaga.
"Ya maaf Pak. Dari kelas ke lapangan kan juga perlu jalan." Jawab Taufan asal.
Guru olahraga hanya menghela nafas. Entah ia harus bersikap bagaimana lagi dengan anak itu. "Sudah kesekian kali nya kau telat di jam pelajaran ku. Selain itu alasan mu tidak masuk akal."
"Kalo tidak masuk akal, tinggal di masukin aja kan bisa."
Sungguh, berurusan dengan Taufan hanya membuat emosi.
"Sekarang lari lima putaran mengelilingi lapangan sepak bola!" Lanjut guru olahraga sambil menunjuk ke arah lapangan sepak bola.
"Siap pak!" Cengir Taufan sambil memasang pose hormat.
Dengan cepat Taufan langsung berlari. Biasanya, lari lima putaran lapangan sepak bola bukanlah hal yang berat bagi pemuda itu. Ditambah, ia yang juga sering mendaki Bukit dan gunung jelas memiliki stamina yang besar. Tapi, tidak untuk kali ini.
Tiga putaran pertama ia masih baik baik saja, namun memasuki putaran ke empat, nafas pemuda itu sudah mulai tidak berarturan. Memasuki putaran ke lima, kepala nya mulai terasa pusing, seakan semakin sulit untuk menghirup oksigen di sekitar nya. Taufan menggerutu dengan dirinya sendiri. Tidak biasanya ia seperti ini. Ada apa sebenarnya?
Setelah menyelesaikan putaran terakhirnya, Taufan langsung menjatuhkan dirinya di tepi lapangan sambil mengelap keringat yang menetes dari pelipis nya. Ia masih mencoba mengatur nafas nya yang terasa berat. "Huuh... Apa aku seperti ini sebelumnya?" Tanya Taufan pada dirinya sendiri.
"Hoy Taufan. Tanding yuk!" Ujar salah satu teman sekelas Taufan.
Pemuda bermanik biru itu menghela nafas kesal. "Aku tidak kuat... Lain kali saja lah aku ikut..." Ujar Taufan.
"Katanya sering jelajah hutan, manjat bukit masa stamina cuma segitu sih. Ayolah Fan... Kami kekurangan orang tau!"
Taufan langsung berdiri. Perempatan imajiner muncul di dahi nya. Dirinya lelah, tapi ia paling tidak suka jika dirinya di remehkan. Lagipula apa yang bisa terjadi hanya dengan satu pertandingan? Yang perlu ia lakukan hanya memasukkan gol sebanyak mungkin dan mengalahkan tim lawan bukan?
"Jangan meremehkan ku. Baiklah, aku ikut!"
*****
"GOOLL!!"
Sebuah tendangan di luncurkan Taufan telah ke gawang lawan. Teman teman nya langsung bersorak melihat itu. Jangan remehkan Taufan dalam urusan sepak bola. Sejak kecil Taufan sudah sering bermain sepak bola dan beberapa kali memenangkan kejuaraan.
"Bagus Taufah!"
"Yeah! Ugh.."
Salah satu teman Taufan yang kebetulan ada di dekat nya langsung menoleh.
" Kau baik baik saja Fan?"
Taufan langsung menggeleng cepat sambil menunjukkan senyuman nya. "Tentu aku baik baik saja. Tenang saja!" Elak nya. Walau kenyataan ia mencoba menahan nyeri yang tiba tiba muncul di dada nya. Ditambah nafas nya yang juga semakin tak beraturan. "Ugh nagasku.. " Desis nya pelan. Beruntung kali ini tidak di dengar oleh siapapun.
Pertandingan terus berlanjut, Taufan berlari kencang menggiring bola menuju gawang lawan, beberapa orang gampak mencoba menghadang pemuda bermanik biru itu, namun Taufan selalu bisa menghindari nya.
"Dasar menyebalkan!" Ujar salah satu lawan Taufan dan berusaha merebut bola. Namun, tanpa sengaja dia menyikut dada Taufan cukup keras, mebuat pemuda itu langsung terjatuh.
"Ugh!"
"TAUFAN"
"Hoy! Santai dong main nya, gak usah kasar gitu!" Seru salah satu sekan satu tim Taufan. Beberapa orang tampak mendekati pemuda bermanik biru itu yang terlihat kesakitan.
"Taufan, kau baik baik saja? "
Nafas Taufan mulai kembali tak teratur. Ia meremas dada nya. Rasa nyeri semakin menjalar di dada nya, oksigen seakan semakin menjauh dari nya, membuat nya kesulitan bernafas.
"Akh! Haaah... S-sesak..." Ucap nya sambil mencoba mengambil nafas.
Pandangan nya mulai mengabur, pelipisnya terasa dingin dan keringat dingin membasahi tubuh nya.
"Taufan kau bisa mendengar ku?" Tanya salah satu teman Taufan.
Namun, suara seakan tersangkut di tenggorokan nya, yang membuatnya tidak bisa mengucap.
"Taufan tenanglah... Bernafas lah perlahan."
Tidak bisa... Aku tidak bisa bernafas. Rasanya seperti di tarik gravitasi ke dalam lautan yang dalam. Kepala nya semakin terasa pusing. Ia mencoba mempertahankan kesadaran nya, namun sayangnya itu tak bisa bertahan lama.
Gelap...
Kesadaran nya menguap, membuat nya tenggelam dalam kegelapan.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻Marzina Wertani
Ya nanti malah di bilang pemalas, sudah cukup rasa tertekannya di rumah jangan sampai di sekolah ia mendapatkannya juga.
2023-04-21
1
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻Fasrina Sisira
Pemikiran guru dan murid kadang berbeda jauh, meraka hanya ingin muridnya bisa berubah menjadi yang lebih baik. Tapi harusnya mengambil poin penting terlebih dahulu, karena situasi yang menghilangkan kefokusan yang mendengarnya.
2023-04-21
1
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻Sefati Winari
Hal yang paling membuat malas bukan masalah menaikkan bendera tapi cahaya terik matahari dan pidato yang cukup panjang tentunya membuat kaki tak kuat bertahan lama.
2023-04-21
1