Lia masih pada posisinya ketika dokter Adi masuk ke kamarnya, tampaknya ia masih larut dalam lamunannya sehingga tidak menyadari kehadiran dokter Adi. Matanya terus terfokus pada pemandangan yang ada di balik jendela. Udara di kamar itu terasa sangat dingin, bahkan dokter Adi yang memakai jas kerjanya saja merasakan kedinginan, apalagi Lia yang hanya menggunakan pakaian pasien.
Dokter Adi mengambil selimut yang ada di ranjang Lia, menyibakkannya dan menyelimuti tubuh Lia. Lia tersentak dan tersadar dari lamunannya. Matanya beralih pada wajah dokter Adi yang berada dekat dengan wajahnya.
"Udaranya sangat dingin!" bisik dokter Adi. Lia tidak merespon, ia hanya terus menatap wajah dokter Adi tanpa bersuara sedikitpun. Dokter Adi membalas tatapan Lia itu, sesaat mereka hanya saling memandang.
"Malam itu jauh lebih dingin dari ini." ucap Lia pelan. Suaranya terdengar sangat pelan bahkan hampir tidak terdengar. Dokter Adi terpaku. Lia memalingkan pandangannya kembali ke pemandangan yang ada di balik jendela.
"Tidak berpakaian di cuaca seperti itu rasanya seperti akan membeku. Aku bisa merasakan udara malam itu menerobos sampai ke tulang-tulangku." ungkap Lia. Wajahnya menunjukkan ekspresi dingin, ia tampak sangat tenang, bahkan air matanya pun tidak ada tanda-tanda akan mengalir, padahal ia sedang menceritakan apa yang melukainya. Dokter Adi memperhatikan Lia dengan seksama dan kemudian ia duduk berlutut di samping Lia.
...
Suster Indah dan suster Tia berkeliling untuk memeriksa keadaan pasien malam ini. Tiba-tiba langkah mereka terhenti di kamar nomor 208. Mereka terpaku dengan apa yang mereka lihat, mereka tampak tajub dengan apa yang terjadi di hadapan mereka.
"Akhirnya kita bisa tahu kenapa dia bisa mendapat julukan 'Dokter Cinta'!" ucap suster Tia. Suster Indah mengangguk-anggukkan kepalanya tanda kalau ia menyetujui pernyataan suster Tia.
"Aku saja belum pernah diperlakukan seperti itu dengan pacarku." tukas suster Tia.
"Dia memang pria idaman!" puji suster Indah. Tampak di hadapan mereka dokter Adi berlutut di samping Lia, mata mereka saling bertukar pandang, dan jemari mereka bersatu dalam sebuah genggaman.
"Tiaaa.. aku ingin punya pacar!!" rengek suster Indah.
"Tuh pak Rama jomblo, Ndah!" canda suster Tia. Mendengar candaan suster Tia, suster Indah kontan memukuli lengan suster Tia. Mereka melanjutkan tugas memeriksa kamar pasien yang mereka lakukan tadi.
"Harusnya Rina menyaksikan semua ini ya! Dia kan yang bekerja keras merawat Lia selama ini." tukas suster Indah.
"Iya benar!" ucap suster Tia.
"Tapi... kalau melihat kejadian tadi, apa dokter Adi tidak pernah benar-benar terbawa perasaan dengan pasiennya ya?" tanya suster Tia.
"Ga mungkinlah dia terbawa perasaan, kan pasiennya orang sakit mental semua!" tukas suster Indah.
"Tapi kalau orang sakit mentalnya secantik Lia bisa saja dokter Adi terbawa perasaan!" seru suster Tia.
"Walau cantik tapi kita semua tahu kalau Lia itu korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh beberapa orang, apa mau dokter Adi jatuh cinta pada 'bekas' orang banyak?!" ungkap suster Indah.
"Iya juga sih!"
"Lebih baik kan dokter sebaik dokter Adi itu bersamaku!" seru suster Indah.
"Huuu... ngarep!!" protes suster Tia.
...
Dokter Adi duduk berlutut di samping Lia, ia menatap wajah Lia dengan seksama, memperhatikan bentuk matanya, lengkuk hidungnya, dan belahan bibirnya, matanya menjelajah setiap inch wajah Lia. Sekali lagi, jantungnya berdetak lebih cepat dan lebih kuat dari sebelumnya.
Perlahan tangannya bergerak dan menyentuh jemari Lia dengan lembut. Lia tersentak begitu merasakan sentuhan lembut di jari-jarinya, ia menoleh ke arah dokter Adi yang tampak bersimpuh di sampingnya. Mata mereka saling bertemu dan sesaat mereka saling memandang lagi tanpa suara.
Dokter Adi menyusupkan tangannya di bawah tangan Lia dan setiap jarinya masuk di sela antara jari-jari Lia. Ia bisa merasakan betapa lembutnya kulit tangan Lia. Dokter Adi menggenggam tangan Lia dengan hangat. Lia terpaku melihat apa yang dokter Adi lakukan padanya.
"Ketika kamu merasa ingin tertawa, tertawalah! Begitu juga kalau kamu merasa tertekan dan ingin menangis, berteriak dan menangislah! Aku ada di sini untukmu." ucap dokter Adi dengan suara berbisik. Perlahan sebulir air mata Lia mengalir keluar dari matanya dan menetes tepat di tangannya yang berada dalam genggaman dokter Adi. Mata mereka masih terus saling memandang satu sama lain.
...
Lia merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara itu dokter Adi menutup jendela kamarnya dan setelahnya ia menggeret kursi yang tadi diduduki oleh Lia mendekati ranjang Lia. Lia memiringkan tubuhnya menghadap dokter Adi. Dokter Adi merapikan selimut yang menutupi tubuh Lia.
"Kamu akan terus di sini?" tanya Lia pelan.
"Kamu mau aku meninggalkanmu sekarang?" ucap dokter Adi balik bertanya. Lia terdiam.
"Kalau kamu tidak nyaman ada aku di sini, aku akan keluar." tukas dokter Adi. Lia menatapnya.
"Apa kamu akan tidur di kursi itu lagi?" tanya Lia.
"Apa kamu mau aku tidur di ranjangmu?" canda dokter Adi. Lia mengerutkan keningnya dan mengeluarkan tatapan tajamnya membuat dokter Adi terbahak-bahak.
"Di ruanganku pun aku akan tidur di kursi." terang dokter Adi.
"Tapi kalau kamu tidak nyaman, aku akan kembali ke ruanganku." lanjutnya. Lia kembali menatap wajah dokter Adi dengan seksama.
"Sebenarnya aku takut sendirian." ucap Lia pelan.
"Kalau begitu aku akan menemanimu di sini!" seru dokter Adi sambil duduk di kursi kayu yang ada di samping ranjang itu.
Dokter Adi tersenyum manis pada Lia, tapi Lia malah membalikkan tubuhnya membelakangi dokter Adi.
"Hei!" protes dokter Adi.
"Aku masih membenci orang yang tersenyum!" ucap Lia. Dokter Adi menghela nafas panjang.
"Dok!" panggil Lia pelan.
"Hmm." sahut dokter Adi. Lia terdiam sejenak.
"Kenapa kamu bersikeras mau menyembuhkanku?" tanya Lia.
"Karena aku di bayar untuk itu!" jawab dokter Adi. Lia terdiam, ia menutupi sebagian wajahnya dengan selimut. Suasana di ruangan itu menjadi sangat hening.
"Sama sepertimu, akupun punya luka yang belum bisa aku lupakan sampai saat ini." ucap dokter Adi pelan. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan menyilangkan kedua tangannya di dada, pandangan matanya lurus menatap rambut panjang Lia yang berwarna hitam pekat.
"Sampai saat ini aku masih terjebak dengan luka itu. Aku tidak mampu melangkah maju untuk masa depanku. Aku tahu rasanya terjebak dengan sesuatu yang tidak kita inginkan." tambahnya.
"Makanya aku ingin menyemangati setiap orang yang memiliki luka, agar mereka bisa melangkah maju. Tidak sepertiku!" lanjutnya dokter Adi.
"Bertemu denganmu, aku merasa seperti takdir. Kisah kita hampir sama tapi berbeda posisi." Dokter Adi menghela nafas panjang.
"Ayo kita berjuang bersama, Lia!" ajak dokter Adi.
"Kamu akan jadi pasien terakhirku sebelum aku melangkah untuk masa depan. Jadi setelah ini, ayo kita melangkah untuk masa depan kita masing-masing!"
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Kim Yoona
kok jadi aq yg baper sih...bagaimana kalau lia sembuh nanti.. aq kok jadi g rela kalau lihat dr adi meninggalkan lia...
2021-09-07
1
Krisna New
aku deg degan trus di setiap part nya...cerita ini menganggu kesehatan jantung ku
2021-02-19
1
Fiki Septiadi
kisah rina dong thor penasaran
2020-11-11
1