Seorang perawat bertubuh tinggi semampai berjalan cepat di sepanjang koridor rumah sakit menuju ruangan direktur rumah sakit jiwa itu. Setibanya di depan ruangan yang di tujunya itu, ia mengatur nafasnya sejenak sebelum mengetuk pintu.
"Tok.. tok.. tok.." Perawat itu akhirnya memberanikan diri untuk mengetuknya.
"Masuk.." Begitu mendengar suara dari dalam yang menyuruhnya masuk, perawat itu masuk ke dalam ruangan.
"Suster Rina.." sapa dokter Arief, direktur rumah sakit jiwa ini.
"Selamat pagi, dok." sapa perawat berkulit sawo matang yang ternyata bernama Rina itu.
"Silahkan duduk." ucap dokter Arief. Suster Rina pun duduk di kursi yang ada di hadapan dokter Arief.
"Suster Rina yang bertanggung jawab dengan pasien di kamar nomor 208, benar?!" Dokter Arief memulai pembicaraan.
"Iya benar, dok. A.. ada apa ya, dok?" tanya suster Rina. Suster Rina tampak gelisah, ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada pasien di kamar nomor 208 itu.
"Hari ini kita akan kedatangan dokter dari Jakarta khusus untuk merawat pasien kamar 208 itu." ungkap dokter Arief.
"Maaf dok, dokter yang akan datang itu laki-laki atau perempuan ya, dok?" tanyanya lagi.
"Laki-laki.." jawab dokter Arief.
"Hah?! Laki-laki dok??" ucap suster Rina. Ia tampak gelisah mengetahui kalau yang akan menangani pasien spesialnya itu seorang dokter laki-laki.
"Kenapa suster Rina? Kamu kelihatanya tidak suka.." tukas dokter Arief.
"Bukan tidak suka, dok, tapi..." Suster Rina tampak ragu akan menjelaskan kegelisahanya.
"Dokter kan tahu, beberapa tahun yang lalu pasien itu pernah di tangani oleh dokter laki-laki juga, tapi yang terjadi malah semakin memburuk keadaanya.." ungkap suster Rina.
"Memang benar, saya juga mempertimbangkan hal itu tapi saya melihat reputasi dari dokter ini sangat baik dan metode pengobatan yang beliau gunakan ini berbeda dengan yang lain." terang dokter Arief.
"Dokter Riyon juga reputasinya baik, dok. Bahkan beliau lulusan terbaik dari universitas terbaik di Indonesia." tukas suster Rina. Suster Rina sangat peduli dengan pasiennya satu ini karena ia sudah merawat pasien itu sejak pertama kali ia bekerja di rumah sakit jiwa ini.
"Tapi tidak ada salahnya kita mencoba kan, sus?!" Dokter Arief tersenyum lembut pada suster Rina. Ia menyadari kalau suster Rina tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada pasiennya itu.
Suster Rina terdiam. Ia pun kembali merasa ragu dengan dokter baru yang didatangkan dari Jakarta ini untuk mengobati pasiennya, tapi ia merasa ucapan dokter Arief ada benarnya juga, kalau tidak dicoba pasiennya itu tidak akan pernah sembuh.
"Baiklah, dok." ucap suster Rina pasrah.
"Suster Rina yang mengenal pasien 208 dengan baik, bantulah dokter dari Jakarta itu dengan baik!" pinta dokter Arief.
"Baik, dok!"
...
Suster Rina memasuki kamar nomor 208 perlahan, tampak seorang wanita berumur sekitar 29 tahun berkulit putih itu duduk di sudut ruangan dekat jendela, kedua tangan wanita itu memeluk erat kedua kakinya dan rambut hitam lurusnya menutupi seluruh wajahnya.
"Selamat siang, Lia.." sapa suster Rina lembut. Pasien kamar 208 itu tidak bergeming sama sekali, ia tidak merespon sapaan suster Rina dan tetap dalam posisinya semula.
Suster Rina mendekati pasien 208 itu. Perlahan tanganya menyentuh punggung wanita itu dengan lembut. Pasien 208 itu tersentak, ia berteriak ketakutan tanpa melihat siapa yang menyentuhnya. Perempuan berambut lurus itu menangis dengan keras.
"Lia, ini Rina.. suster Rina.." ucap suster Rina. Ia berusaha menenangkan pasien spesialnya itu. Tak berapa lama pasien 208 itu menjadi tenang, ditatapnya suster Rina dari balik rambutnya.
Suster Rina menyingkap rambut pasien 208 itu dari wajahnya hingga mengekspos wajah cantik pasien 208 itu. Wajahnya sangat cantik, bersih, dan cerah. Matanya besar dan berwarna cokelat terang.
"Hmm.. cantiknyaa!" puji suster Rina. Ia tersenyum manis pada pasien kesayanganya itu.
"Wajahmu ini sangat cantik jadi jangan ditutupi terus!" ucap suster Rina. Pasien 208 itu tidak merespon ucapan suster Rina, ia hanya terus terdiam sambil memandangi suster Rina dengan tatapan kosong.
"Aku sisir ya rambutnya.." Suster Rina mulai merapikan rambut pasien 208 itu.
"Kamu harus tampil cantik hari ini karena kita akan kedatangan dokter baru yamg khusus hanya akan menanganimu.." terang suster Rina. Pasien 208 itu mengangguk pelan tanpa suara.
Pasien 208 ini sangat berarti untuk suster Rina. Masuknya pasien 208 ke rumah sakit jiwa ini bertepatan dengan hari pertama suster Rina bekerja di sini. Dari awal, suster Rina lah yang bertanggung jawab dengan pasien 208 ini sedangkan dokter yang menanganinya selalu berganti karena tidak ada yang berhasil menangani pasien ini. Terakhir 2 tahun lalu seorang psikiater senior bernama dokter Riyon menjadi dokter yang bertanggung jawab mengobati pasien 208 tapi keadaan pasien 208 malah semakin memburuk. Pasien 208 memiliki trauma berat dengan laki-laki sehingga kalau ada laki-laki yang mendekatinya walaupun itu seorang dokter pun ia akan berteriak, meronta, dan menangis keras. Hanya satu minggu dokter Riyon bertahan menangani pasien 208 karena ia tidak bisa didekati sama sekali. Sejak saat itu, belum ada lagi psikiater yang bersedia menangani pasien 208 ini.
Sempat juga seorang psikiater perempuan yang menanganinya tapi pasien 208 tidak mau merespon dokter itu sama sekali, seolah pasien 208 ini memang tidak menginginkan kesembuhan pada mentalnya. Sepanjang pengobatan dengan dokter itu, ia terus saja terdiam seperti sebuah patung di pojok kamarnya ini. Tidak hanya kepada dokter saja, tetapi kepada para perawat pun pasien 208 tidak pernah memberikan respon. Awalnya pasien 208 itu pun tidak mau merespon suster Rina, tapi disaat perawat yang lain menyerah dengan sikap dan keadaan pasien 208, suster Rina justru semakin gencar melakukan pendekatan hingga akhirnya pasien 208 itu mau meresponnya, makanya pasien 208 ini sangat berarti untuk suster Rina.
Sudah tujuh tahun lebih suster Rina bertanggung jawab atas pasien 208 ini, membuat chemistry di antara mereka terbangun hingga akhirnya mereka sudah seperti saudara. Sejak berada di rumah sakit ini, tidak ada satupun keluarga dari pasien 208 ini datang mengunjunginya, mungkin mereka malu dengan keadaan pasien 208, tapi mereka terus membayar tagihan pengobatan setiap bulannya tanpa pernah terlambat. Tragis memang, tidak ada yang mau menjadi orang yang jiwanya sakit apalagi sakitnya pasien 208 ini di karenakan trauma yang mendalam, seharusnya keluarganya tetap mendukung dan mendampinginya secara emosional agar pasien 208 ini bisa memperbaiki jiwanya yang telah rusak.
Suster Rina mengikat rambut hitam pekat milik pasien 208 menjadi satu dengan ikat rambut.
"Sekarang kita lap dulu yaa.." ucap suster Rina pelan. Tangannya dengan lembut mengusap setiap bagian tubuh pasien 208 untuk membersihkannya dari kotoran dengan menggunakan sarung tangan handuk yang sudah di basahi.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Kim Yoona
sepertinya seru... lia itu yg korban pemerkosaan ya? kasian😭😭
2021-09-07
1
Jusmiati
kasihan banget ya Thor....😔😔😔😔
2021-08-02
1
Indrijati Saptarita
woohhh sakit jiwa yaa...
2021-07-23
1