Halaman Istana Fenghuang adalah tempat terbaik untuk bersantai.
Pemandangan Danau Dongting dan angin sejuk yang berhembus begitu memanjakan orang yang sengaja berada di sana untuk menghabiskan waktu luang. Apalagi, di sana terdapat sebuah ayunan besar yang bisa digunakan untuk merebahkan diri sambil menikmati secangkir teh dan kuaci.
Sebagai seorang selir baru, Wei Linglong tidak punya pekerjaan. Jika di kehidupan modernnya dia akan disibukkan dengan kegiatan perkuliahan dan praktikum lapangan, di sini dia hanya bisa makan, tidur, berbaring, bermain dan bersantai sepanjang hari.
Dulu Wei Linglong benci bangun siang karena dia akan terlambat masuk kelas. Sekarang, bangun siang adalah kata yang sangat akrab di telinganya dan menjadi bagian dari kehidupannya. Wei Linglong jadi punya kebiasaan baru. Dulu dia juga rajin berolahraga di akhir pekan, tetapi sekarang dia malah lebih suka makan dan bermain ayunan di halaman.
Wei Linglong benar-benar seorang selir pengangguran.
Sudah satu bulan sejak dia ditetapkan sebagai Selir Chun oleh Murong Qin, dia belum menerima gaji. Aturan di istana mengatakan bahwa meskipun selir tidak disentuh Kaisar dan tidak melayaninya, selir itu tetap akan menerima gaji bulanan sebagai tunjangan sesuai dengan tingkatannya.
Akan tetapi, Wei Linglong belum mendapatkannya. Padahal, dia diangkat langsung oleh Murong Qin, Sang Kaisar Mingzhu. Pihak Istana Dalam seharusnya tahu hal ini dan langsung mencatatkan namanya ke dalam daftar.
Entah administrasi seperti apa yang ada di dalam sini, Wei Linglong hanya ingin menerima gajinya sesuai aturan dan jatahnya saja. Terserah jika Ibu Suri dan Permaisuri Yi ingin menikamnya atau ingin apa, yang jelas gaji Wei Linglong tetap harus dibayarkan.
Dia ingin menanyakan ini kepada pelayan, namun dia kemudian teringat kalau pelayan yang ada di sisinya hanyalah Xiaotan. Melihat Xiaotan bekerja begitu rajin sejak pagi, dia jadi tidak tega. Pelayan itu sudah banyak melakukan pekerjaan berat sepanjang hari. Rencananya, Wei Linglong akan menanyakannya langsung kepada Murong Qin.
Pria itu tidak menemui atau memanggilnya sejak pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu. Hari itu, Wei Linglong menghabiskan semua uang yang Murong Qin bawa tanpa mempedulikan raut wajah pria itu yang sudah seperti udang rebus atau cacing terbakar. Mungkin, Murong Qin masih marah kepadanya.
Tidak apa-apa. Begitu justru lebih baik. Wei Linglong tidak perlu repot-repot berusaha agar Murong Qin memperhatikannya. Lebih bagus jika pria itu melupakan dirinya dan melupakan keberadaannya.
Jika Murong Qin benar-benar marah padanya, selama tidak mengancam nyawa, Wei Linglong akan baik-baik saja. Biarkan Murong Qin bergejolak. Wei Linglong akan senang hati menerima hukumannya, apalagi jika dia dikembalikan ke Istana Dingin.
Betapa tidak masuk akalnya harapannya itu.
Wei Linglong membuang cangkang kuaci ke sembarang tempat. Di ayunan kayu yang bagus tersebut, dia berbaring dengan santai. Xiaotan membantunya mengayunkan ayunan dari belakang sambil sesekali menikmati kuaci. Hari sudah siang, langit terang dan birunya begitu mempesona. Musim gugur memberikan dia sensasi menenangkan.
Saat dia memejamkan mata, dia tiba-tiba teringat sesuatu. Wei Linglong menduga kalau Murong Qin pasti sedang berkutat dengan dokumen negara dan sedang kebingungan mencari cara. Jika dia bisa menemukan solusinya, dia tidak mungkin seputus asa itu saat beberapa hari yang lalu.
“Xiaotan, menurutmu, apa bencana di bagian utara sangat parah?”
“Bencana apa?”
“Kau tidak tahu?”
Xiaotan menggeleng.
“Apa para dayang di sana tidak membicarakannya?”
Xiaotan kembali menggelengkan kepala. Apa maksud nyonyanya? Bencana? Bencana apa? Xiaotan bukan biang gossip yang bisa memberikan informasi seperti infotainment di televisi. Dia juga sama seperti Wei Linglong, baru masuk ke istana belum lama. Sebagai pelayan, dia tentu belum punya teman dan belum terlalu akrab dengan pelayan istana yang sudah lebih dulu masuk ke sini.
Bahkan saat dia ke dapur umum pun para pekerja di sana masih sempat membicarakannya, mengatakan kalau dia adalah pelayan selir baru penggoda Kaisar. Jika dipikir-pikir, perkataan mereka sungguh keterlaluan. Majikannya diangkat menjadi selir secara baik-baik, mana pernah menggoda Kaisar. Jelas-jelas majikan mereka yang sering menggunakan cara kotor untuk memikat Yang Mulia Kaisar.
“Hm. Berapa hari menuju perjamuan Ibu Suri?”
“Tiga hari. Nyonya, memangnya kau sudah menyiapkan hadiah? Bagaimana ini, gaji nyonya belum dibayarkan. Persediaan uang dari akar teratai juga sudah menipis. Kita tidak punya barang berharga yang bisa dijadikan hadiah,” keluh Xiaotan.
Wei Linglong menghela napas. Dia tidak ingin pergi. Jika bisa memilih, dia ingin menghilang pada hari itu agar dia tidak pergi ke perjamuan kuno yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah ajang pamer harta dan sindir menyindir. Wei Linglong lebih suka berdiskusi tentang sains atau hal-hal yang berhubungan dengan akademik, tidak dalam situasi menjemukan seperti perjamuan.
Dia memang mulai beradaptasi, namun tetap saja dunia ini masih terasa asing baginya. Bagaimana jika dia tidak sengaja menumpahkan teh atau arak di baju selir lain dan selir tersebut ribut dengannya?
Bagaimana jika dia salah melangkah dan terjatuh di hadapan banyak orang? Lalu bagaimana jika dia salah bicara dan kepalanya berakhir di tiang gantungan?
Wei Linglong dengar, hukum di zaman kuno begitu kejam, tidak berperikemanusiaan. Hidup di istana zaman kuno sama seperti hidup di dalam hutan, siapa yang kuat dia yang akan bertahan. Nyawa kecilnya yang susah payah didapatkan kembali ini tidak akan bisa menahan semua hal itu.
Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa Wei Linglong juga penasaran dengan suasana perjamuan di zaman kerajaan. Apakah sama seperti di dalam drama televisi? Apakah detailnya serupa dengan latar di dalam novel bergenre wuxia dan xianxia yang dia baca di waktu senggang?
Dia juga penasaran dengan rupa Ibu Suri yang telah membuatnya masuk Istana Dingin. Gara-gara wanita tua itu, Wei Linglong yang asli jatuh sakit dan jiwanya pergi entah ke mana. Gara-gara gagak tua itu, Wei Linglong dari dunia modern malah tersesat dan masuk ke tubuh Wei Linglong zaman kuno.
Wei Linglong juga penasaran seperti apa rupa Permaisuri Yi, permaisuri pengganti sepupunya, Wei Hongxue yang telah meninggal setelah melahirkan Murong Yu. Apakah cantik? Apakah dia punya wibawa? Apakah dia kaya raya atau miskin seperti dirinya? Apakah dia punya aura seorang ratu yang berkilauan seperti emas? Atau justru berwajah jelek dan bodoh?
Wei Linglong terlalu banyak punya rasa penasaran hingga dia tidak sadar kalau kuaci di piringnya sudah habis. Matahari sudah tergelincir, sekarang semburat senja menyembul di udara. Air di Danau Dongting bersinar, cahayanya terpantul ke udara dan sedikit menyilaukan mata. Pelayannya, Xiaotan, menatapnya dengan bingung.
“Nyonya, kenapa kau melamun begitu lama?”
“Aku melamun? Sejak kapan?”
“Lihatlah, kuacimu bahkan sudah habis.”
“Benar. Xiaotan, ambilkan lagi!”
“Nyonya, kuaci kita sudah habis.”
“Habis begitu saja? Ke mana perginya kuaci-kuaciku?”
“Apa nyonya lupa? Setiap malam kau selalu memakannya sebelum tidur.”
Wei Linglong tertawa hambar. Kuaci adalah lambang seseorang yang tidak punya pekerjaan pasti. Saat orang itu tidak punya kegiatan yang harus dilakukan, dia akan bermalas-malasan dengan makan kuaci. Itu artinya, Wei Linglong tidak lebih dari seorang pengangguran juga.
“Aku begitu senggang ya?”
“Nyonya tidak membaca atau menulis. Istana kita juga jauh dari istana lain. Kalau nyonya tinggal di komplek Istana Dalam, mungkin kau akan punya pekerjaan.”
“Pekerjaan? Apa menghasilkan uang? Apa? Katakan padaku!”
“Menghajar selir lain yang menganggumu setiap hari!”
Air muka Wei Linglong berubah. Bahunya yang semula tegak merosot. Sesenggang itukah dirinya hingga pelayannya sendiri mengatakan kalau menghajar selir lain juga sebuah pekerjaan? Wei Linglong benar-benar tidak mengerti. Dia seperti bunga yang sengaja ditanam di Istana Fenghuang lalu dibiarkan tumbuh liar, bahkan dibiarkan sendirian di antara banyak marmer dan hiasan dari emas yang berharga.
Daripada menghabiskan waktu dan tenaga untuk menghajar selir lain, lebih baik dia selamanya menjadi pengangguran. Tidak apa-apa kalau dia cuma punya sedikit uang, asalkan perutnya tetap terisi dan segala kebutuhannya terpenuhi. Itu sudah lebih dari cukup baginya. Satu lagi, dia akan sangat bersyukur juga jika Murong Qin tidak muncul selamanya.
“Ketimbang menghajar selir, lebih baik aku berkebun. Bagaimana keadaan kebunku di Istana Dingin?”
“Kasim Du mengirim surat kemarin. Dia bilang, wortel dan tomat yang ditanam nyonya sudah siap panen. Selain itu, sawi putih dan daun mint juga sudah tumbuh dengan subur.”
“Besok, kau ambil masing-masing dua keranjang.”
“Baik, Nyonya.”
Wei Linglong kembali berayun. Dia tidak memperhatikan waktu yang sudah merujuk pada malam hari. Beberapa lampu taman istana masih padam hingga semuanya tampak gelap. Hanya tempat dia berayun yang terang. Di langit, bintang-bintang bermunculan begitu banyak. Di dunia modern, bintang-bintang itu sudah tertutup kabut dan polusi hingga jarang bisa terlihat. Di sini, langit begitu jernih.
Setelah puas bersantai di ayunan, Wei Linglong memutuskan untuk masuk. Xiaotan menyalakan lilin penerang di seluruh penjuru istana hingga bangunan megah yang semula gelap kini bersinar seperti pelita di tengah kegelapan. Di dalam kamarnya, Wei Linglong merebahkan diri, kemudian memejamkan mata. Dia menggenapi sebutan selir pengangguran yang merujuk pada dirinya.
...***...
...Saatnya kuis! ...
...Apa saran pekerjaan yang cocok untuk Linglong sebagai Selir Chun? ...
...a. Tukang sapu taman...
...b. Penyelam profesional...
...c. Tukang kebun...
...d. Tetap jadi selir pengangguran...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Hairani Siregar
jdi tukang kebun aja thor. kan selir chun pintar bertani.
2024-04-28
0
Fifid Dwi Ariyani
trudceria
2024-01-29
0
Hasan
🤣🤣🤣ada perkerjaan tp menghajar para selir2 licik anjay
2023-02-21
1