The Legend Of Chunfei
Sebuah ambulans melaju kencang dari sebuah lahan pertanian menuju rumah sakit. Seorang gadis muda yang terbaring penuh dengan darah masih memejamkan mata. Denyut nadinya melemah dan napasnya hampir tidak terasa. Di sisinya, dua orang perempuan menangis tanpa henti sambil meneriakkan namanya.
Ruang Instalasi Gawat Darurat menjadi sibuk dalam seketika. Para suster hilir mudik membawa peralatan medis. Sementara itu, dua orang dokter sibuk memberikan pertolongan pertama. Dari balik kaca yang tertutup tirai, dua perempuan yang tadi menangis menyaksikan proses tersebut dengan panik dan khawatir. Air mata masih mengalir. Suara keduanya sudah parau.
Satu jam kemudian, pintu ruang IGD baru terbuka. Dua dokter keluar dengan wajah lelah dan murung. Beberapa suster juga keluar. Wajah mereka juga sama murungnya dengan dua dokter tadi. Mereka langsung diburu dengan pertanyaan dari dua orang tersebut.
"Bagaimana keadaannya?"
"Apa dia baik-baik saja?"
Sebelum menjawab, salah seorang dokter menghela napas terlebih dahulu.
"Organ dalam pasien rusak berat. Racun dari pestisida yang masuk ke tubuh pasien sudah mencapai otak," terang dokter yang tadi menghela napas.
"Apa maksudnya? Maksudmu, dia tidak akan selamat?"
"Sifat toksin dari pestisidanya merusak organ vital. Kemungkinan hidup pasien sangat kecil. Maaf, kami tidak bisa berbuat lebih."
Kedua perempuan itu terduduk lesu. Harapan, apakah harapan itu benar-benar ada? Kejadian tadi sungguh berada di luar dugaan. Keduanya tidak menyangka kalau teman sekelas mereka akan keracunan pestisida dan berakhir di rumah sakit. Bahkan, nyawanya saja entah bisa terselamatkan entah tidak.
Wanita yang sedang terbaring di dalam IGD itu bernama Wei Linglong. Dia akrab disapa Linglong. Terkadang juga dipanggil Weiwei. Dia adalah seorang mahasiswi jurusan pertanian yang tengah menempuh studi di tingkat akhir. Dia mengalami kecelakaan kerja ketika melaksanakan tugas lapangan yang diberikan oleh dosennya.
Matahari bersinar terik ketika Wei Linglong menuangkan sebotol pestisida ke dalam ember berisi lima liter air bersih. Agar pestisidanya larut, dia mengaduk ember tersebut dengan sebuah tongkat kayu sepanjang delapan puluh sentimeter. Setelah dirasa semuanya sudah larut, dia kemudian menuangkan cairan tersebut ke dalam semprotan otomatis hingga tangkinya penuh.
Lahan yang belum selesai diberi pestisida masih luas. Perlu waktu sekitar satu setengah jam jika Wei Linglong benar-benar ingin menyelesaikan semuanya. Di beberapa tempat yang tidak jauh darinya, lima orang temannya juga sedang sibuk mengaduk dan menyemprotkan pestisida ke tanaman-tanaman hijaubyang tumbuh di lahan ini.
Di musim panas seperti ini, dia dan lima teman sekelasnya diminta untuk praktek penyemprotan pestisida pada tanaman dan mengukur efektivitasnya dalam membasmi hama sebagai tugas akhir perkuliahan pada semester kali ini. Tidak tanggung-tanggung, lahan perkebunan tanaman yang harus mereka sirami adalah seluas satu setengah hektar dengan berbagai jenis tanaman hijau yang berbeda di setiap tiga ratus meter persegi luasnya.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang baik, dia dan teman-temannya tentu harus memberikan teladan yang baik untik para adik tingkat mereka. Mereka dengan sukarela tanpa komentar atau keluhan melaksanakan prakteknya pada hari ini, pada pertengahan musim panas yang seharusnya dipakai untuk hari libur.
Wei Linglong dan teman-temannya mulai bekerja pada pagi hari. Selain mengukur kadar pestisida, mengaduk, menyemprotkan dan mengamati pertumbuhan tanaman, dia dan timnya juga harus menganalisis seberapa jauh pengaruh pestisida terhadap hama dan kualitas tanaman itu sendiri. Hasil akhirnya harus dilaporkan dalam bentuk portofolio dan laporan praktek, kemudian jika sempat, juga harus disusun dalam bentuk jurnal terindeks yang bisa dipublikasikan di ranah nasional dan internasional.
Meskipun sudah terbiasa, tetapi rasa kesalnya tetap saja ada. Pasalnya, dosennya itu tidak hanya otoriter, tapi juga killer dan anti kritik. Sekali saja berkomentar, maka nilai akan menjadi taruhannya. Wei Linglong tidak ingin nilainya jelek hanya karena dia mengeluh sesaat. Dia harus menuntaskan studinya dengan nilai sempurna. Dengan begitu, dia akan menjadi seorang sarjana pertanian yang hebat, mendapatkan beasiswa lalu melanjutkan studinya ke tingkatan yang lebih tinggi.
Tetapi, yang membuatnya kesal seribu kali kesal sebenarnya bukan hanya praktek dari dosen ini saja. Wei Linglong kesal karena di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga, yang kebetulan bertepatan dengan hari ini, kedua orang tuanya malah pergi keluar kota untuk berbisnis. Entah karena lupa atau memang disengaja, Wei Linglong merasa hari ini akan menjadi ulang tahun terburuk untuknya.
Wei Linglong kembali melanjutkan aktivitasnya. Semakin cepat, maka semakin baik. Dia menekan tombol power pada penyemprot otomatis, kemudian memutar tombol pengatur kecepatan ke angka lima. Penyemprot yang tangkinya berisi cairan pestisida tersebut kemudian berputar menyemburkan air. Daun-daun dan tangkai tanaman yang ada dalam jangkauan putaran penyemprot tersebut basah bagian atasnya, kemudian mengering dan sisa ainya menjadi putih. Daun-daun yang semula hijau bersih menjadi putih pada beberapa bagian.
Wanita yang hari ini genap berusia dua puluh tiga tahun tersebut mengistirahatkan diri di bawah sebuah pohon yang rindang. Cuaca memang panas, tetapi angin juga berhembus. Wei Linglong meneguk minuman dinginnya. Tenggorokannya yang semula kering sekarang terasa basah kembali.
“Mengapa rasanya sedikit pahit?” Wei Linglong bertanya pada dirinya sendiri. Rasa minuman jeruk itu seharusnya manis dan asam, bukan asam pahit. Dia tidak berani berpikir macam-macam. Mungkin, si pedagang terlalu banyak memasukkan sari jeruknya atau mungkin biji jeruknya ikut tercampur hingga rasanya sedikit pahit.
Beberapa saat kemudian, Wei Linglong kembali melarutkan pestisida ke dalam dua liter air. Pekerjaannya akan selesai ketika tangka penyemprot otomatis ini terisi penuh kembali. Setelah prakteknya selesai, dia berencana pergi ke toko kue. Wei Linglong akan merayakan ulang tahunnya sendirian.
Awalnya semua terlihat baik-baik saja. Namun, setengah jam kemudian, Wei Linglong merasakan sakit yang luar biasa di bagian perutnya. Tenggorokannya terasa panas dan terbakar, mulutnya kering. Kepalanya pusing. Dunia seperti berputar dengan cepat. Rasa sakit itu bercampur menjadi satu.
Menyadari ada yang tidak beres dengan tubuhnya, Wei Linglong mencoba bersuara. Rintihannya terdengar oleh salah satu temannya. Ketika menoleh, temannya itu berteriak sangat keras. Hidung Wei Linglong mengeluarkan cairan merah yang kental. Tidak lama kemudian, gadis itu muntah. Namun, yang keluar dari lambungnya bukan makanan, tetapi darah kental yang bergelambir. Kesadarannya perlahan hilang hingga dia dilarikan ke rumah sakit.
Sementara itu, di dalam ruang IGD, Wei Linglong yang sedang terbaring merasakan seluruh tubuhnya sangat sakit. Ribuan jarum terasa sedang menusuk dirinya berulang kali. Terutama di bagian perut, tenggorokan dan kepala. Matanya masih tertutup, namun ajaibnya dia masih bisa mendengar suara di sekitarnya.
“Apa aku akan mati di hari ulang tahunku?”
“Tidak, aku belum mau mati. Aku belum mengunjungi perkebunan anggur di pedesaan Perancis, belum mengunjungi kebun jeruk Florida, belum pergi tamasya ke Kawasan agrowisata Bagus Agro Pelaga Bali, Shangira Leisure Farm, dan banyak tempat lainnya. Aku belum mau mati…”
Tiba-tiba, dia tidak bisa lagi melihat, mendengar atau merasakan apapun. Seluruh rasa sakitnya terasa hilang dan tubuhnya seperti melayang di lautan kapas yang empuk dan ringan. Suara-suara tangisan yang asing terdengar. Dia mungkin sudah sampai di alam baka.
Wei Linglong ingin membuka matanya. Dia sangat penasaran pada suara tangisan asing yang sepertinya ditujukan kepadanya. Ah, apakah di pemakamannya ada seorang teman lama yang datang dan menangis? Ataukah itu suara ayah dan ibunya yang sudah lama tidak dia dengar? Tapi, mengapa kata-kata di sela-sela tangisan itu terdengar sangat aneh dan klasik? Apa yang sebenarnya terjadi?
Wei Linglong mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka mata. Hal pertama yang dia lihat ketika berhasil adalah sebuah langit-langit berhias kain hijau muda, ditambah pilar kayu kokoh berbentuk limas segi empat yang gelap. Wei Linglong mulai merasakan keanehan. Apa ini alam baka? Tetapi, mengapa di alam baka ada kain dan pilar seperti itu?
Tunggu, mengapa suara tangisan asing itu terasa begitu dekat?
Dia menoleh ke asal suara. Di sampingnya, seorang gadis muda berpakaian biru muda tengah duduk dengan kepala tertunduk. Gadis muda tersebut menangis hingga sesenggukan. Wei Linglong memicingkan mata. Dia bangkit, kemudian kembali memperhatikan gadis muda tersebut.
Pergerakan Wei Linglong rupanya disadari oleh Si Gadis. Gadis itu mengangkat kepala, barulah terlihat wajahnya yang putih dan tampak polos dengan linangan air mata di kedua pipinya. Ekspresi yang semula sedih berubah menjadi terkejut dan senang di waktu yang bersamaan.
“Nona! Akhirnya kau bangun!”
Dahi Wei Linglong berkerut.
“Nona?”
Wei Linglong berusaha mengingat sesuatu. Mengapa gadis muda itu memanggilnya dengan sebutan itu? Suaranya, suara tangisannya, sama persis dengan suara tangisan asing yang didengar oleh Wei Linglong saat dia berada di alam bawah sadarnya. Mungkinkah suara tangisan asing yang telah membangunkannya adalah milik gadis muda ini?
“Nona, mengapa kau tidak bersuara?”
“Kau memanggilku?”
Gadis muda mengangguk dengan cepat.
“Kau bukan malaikat maut?”
Dahi Si Gadis Muda berkerut. Ekspresinya berubah bingung.
“Nona, apa yang kau bicarakan?”
Wei Linglong memejamkan mata. Pikirannya sudah tidak menentu.
“Tidak, ini tidak nyata. Aku pasti sedang bermimpi. Alam baka seharusnya tidak seperti ini. Ini hanya khayalan, ini hanya ilusiku. Jika aku membuka mata semuanya pasti akan kembali. Ini hanya ilusi, ini hanya ilusi.”
Dia membuka mata. Namun, semua yang dilihatnya tetap sama. Lokasi anakronistik, gadis muda yang menangis, kain penutup hijau muda, pilar kayu kokoh, semuanya masih sama. Tidak hilang, tidak lenyap. Wei Linglong kembali mengerutkan dahi. Alam ilusi seharusnya hilang, bukan tetap seperti ini.
“Nona, ada apa denganmu?”
Beberapa detik kemudian, Wei Linglong baru menyadari sesuatu.
Tanpa bertanya apapun, dia melompat dari atas ranjang. Dengan pakaian seadanya, Wei Linglong berlari sekencang mungkin. Dia keluar dari sebuah bangunan tua yang tampak sepi dan tidak terawat. Sepuluh anak tangga dia turuni, kemudian dia kembali berlari tanpa alas kaki.
“Nona, jangan berlari! Kakimu bisa terluka!”
Si Gadis Muda menyusulnya. Wei Linglong semakin panik. Dia berlari semakin kencang, berputar-putar di halaman bangunan tua tersebut tanpa henti. Orang aneh itu terus mengejarnya. Dia tahu ini bukan sedang proses syuting film karena Wei Linglong tidak melihat satupun kamera atau kru atau sutradara atau yang lainnya. Rumput yang dia pijak adalah rumput asli, bangunan yang dia lihat adalah bangunan asli dan orang yang mengejarnya adalah manusia asli, bukan setan ataupun makhluk halus. Semuanya asli.
“Gadis kecil, mengapa kau sangat berisik?”
Dari samping bangunan tua, muncul seorang pria yang pakaiannya lebih aneh dari Si Gadis Muda. Pria itu bertopi hitam panjang ke atas, berbaju panjang hijau tua dan membawa sebuah tongkat kecil.
“Cepat bantu aku menangkap nona! Kakinya bisa terluka jika dia terus berlari!”
“Haish, merepotkan sekali!”
Tadi hanya satu orang aneh, sekarang bertambah satu orang aneh lagi. Wei Linglong terus berlari dan berlari. Adegan kejar-kejaran tersebut berlangsung hampir setengah jam lamanya. Baik Wei Linglong maupun kedua orang aneh itu, mereka sama-sama tidak bisa mundur.
“Hei, aku hanya seorang petani. Jika kalian menginginkan uang, mintalah pada orang yang lebih kaya! Jangan menindasku dan mengejarku seperti ini!”
“Apa nonamu sudah gila?”
“Sssttt… Dia tidak gila, dia hanya linglung sesaat!”
Langkah Wei Linglong terhenti di depan sebuah pintu gerbang kokoh yang cat entah apa namanya, sudah kusam dan mengelupas. Pintu gerbangnya tertutup rapat seperti sengaja dikunci dari luar. Dia terdiam sejenak, memikirkan kembali semua yang terjadi. Di belakangnya, dua orang aneh yang tadi mengejarnya berhenti dengan napas ngos-ngosan, serupa dengan ikan yang kehabisan napas ketika berada di daratan.
“Ini pasti pintu gerbang kematian,” ucapnya pelan, menatap lurus ke arah pintu yang tertutup rapat.
“Nona, kau baru bangun. Jangan berlari lagi!”
Wei Linglong masih terdiam. Dia sedikit lelah setelah berlari. Tubuhnya ambruk di depan pintu.
“Nona! Tolong, nonaku pingsan lagi!”
...***...
...Halo para pembaca kesayangan otor! Otor balik lagi nih bawa cerita baru. Kisahnya masih time travel ya, cuma rencananya yang ini bakal dibikin agak beda sama kisah Jiman-Anlan, Yue-Yunxi. Nah kalau mereka kan mulus-mulus tuh jalan cintanya, kalau yang ini bakal ada bumbu-bumbu kecil biar manis ceritanya. Eits, tapi tenang, nggak berat kok konfliknya. Seperti biasa, otor juga nggak suka konflik yang berat hehe. So, enjoy with the story, stay tune terus ya! ...
...Salam hangat dari Otor yakss! ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Oi Min
ngikut dulu ye tor....... klo bagus dan dapat feel nya y lanjut, tp klo tiba2 aq skip berarti sebaliknya ye. g apa2 kan??
2024-08-02
0
Helen Nirawan
blm connect
2024-05-10
1
Nene Juan
Ijin numpang baca Thor, baru Nemu..
2024-04-26
0