“Yang Mulia, siapa Tuan Bai? Mengapa kau mengunjungi makamnya?”
“Penasihat pribadiku.”
Wei Linglong melihat ekspresi sedih yang tertahan di wajah Murong Qin. Orang yang dipendam di dalam tanah ini kemungkinan adalah pejabat kesayangannya. Tidak mungkin tidak begitu. Murong Qin tidak akan jauh-jauh datang kemari mengunjungi makam seseorang jika orang itu bukan orang penting. Meskipun pejabat, Wei Linglong tahu tidak semuanya bisa mendapatkan kehormatan berupa kunjungan dari Kaisar Mingzhu.
Angin berhembus pelan, menepuk pundak Wei Linglong yang terbuka. Murong Qin masih membisu di tempatnya berdiri. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.
Wajahnya tampak sedih, tetapi berusaha tegar agar orang lain tidak melihatnya. Wei Linglong tiba-tiba berdecak, mengejek tingkah Murong Qin yang lebih mementingkan image dan harga dirinya dibanding perasaan hatinya sendiri. Apa semua politikus harus seperti ini?
Kalau mau menangis, maka menangis saja. Toh di sini tidak akan ada orang yang mengejeknya. Di tempat ini hanya ada dia, Murong Qin dan satu orang kusir saja. Tidak ada pelayan istana, kasim, prajurit, atau mata-mata Istana Dalam yang mengawasi Murong Qin. Pohon dan ranting juga tidak akan membocorkannya karena mereka tidak bisa bicara.
“Dia pejabat terbaik yang pernah kupunya.”
“Ah sayang sekali umurnya tidak panjang.”
“Mengapa kau ikut menghela napas?”
“Lalu apakah aku harus menari di depan makam pejabatmu dan di depan Yang Mulia?”
Benar-benar tidak bisa ditebak!
Murong Qin membersihkan dedaunan yang menutupi fengshui makam Tuan Bai dengan tangannya. Nisan yang berlumut dia bersihkan hingga tulisannya terlihat dengan jelas.
Huruf kuno bertuliskan “Bai Li, Penasihat Pribadi Kaisar Mingzhu” kini dapat dibaca dengan jelas. Wei Linglong ikut membantu membersihkan karena dia sungguh tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Setelah cukup bersih, Murong Qin kembali mematung. Otaknya dipenuhi dengan berbagai masalah ruwet yang membuatnya ingin muntah berkali-kali. Kegelisahannya beberapa hari ini terasa tumpah. Ingin sekali dia mengungkapkan semua benalu yang tumbuh melilit hatinya. Ada sebuah simpul kusut yang menahan dia untuk mengungkapkan segalanya.
“Paman Bai, apa kau sudah bertemu ibu dan ayahanda di sana?”
“Hei, orang mati mana bisa bertemu orang mati yang lain. Yang Mulia, hal seperti ini saja kau tidak tahu?”
Murong Qin berdecak.
“Bisakah kau jangan menganggu suasana?”
“Oh benar, kau sedang bersedih.”
“Paman, apa yang harus kulakukan sekarang? Wilayah utara mengalami bencana sepanjang tahun. Istana ingin mengirimkan bantuan, tapi sangat rentan karena para menteri begitu sensitif.”
Murong Qin menceritakan semua masalah yang tengah dihadapinya kepada nisan Tuan Bai. Komunikasi satu arah yang dilihat Wei Linglong membuat dia kebingungan harus melakukan apa. Di sini, di hutan ini, hanya ada Murong Qin saja yang dia kenal.
Dia ingin pergi mengusir rasa suntuk selagi menunggu Murong Qin, namun khawatir tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Lama kelamaan, keluhan yang disampaikan Murong Qin di depan makam Tuan Bai Li membuat Wei Linglong tertegun. Jadi, hanya karena masalah ini pria itu mengajaknya datang kemari?
Wei Linglong tidak habis pikir mengapa pria dewasa seperti Murong Qin malah bertingkah seperti seorang anak kecil yang malang di situasi ini. Apalagi dia seorang Kaisar, penguasa daratan dan lautan Dinasti Yuan. Pria dewasa biasanya selalu bisa menyelesaikan masalah sendiri tanpa banyak berkata. Kebanyakan bahkan tidak suka bercerita perihal kesulitan yang sedang diderita.
Apakah beban di pundaknya benar-benar terlalu berat?
Rasa simpati sempat hinggap di hatinya. Akan tetapi, mengingat bagaimana cara pria itu memperlakukannya hari ini, rasa simpati itu langsung hilang terbawa angin musim gugur. Wei Linglong malah semakin kesal karena Murong Qin bersikap seolah dia tidak ada dan tidak terlihat. Pria itu begitu asyik berbicara dengan makam penasihatnya yang mungkin tidak bisa mendengar semua kata-katanya.
Lewat tengah hari, pria itu baru selesai dengan aktivitasnya. Wei Linglong bernapas lega, akhirnya penderitaannya selesai juga. Kakinya sudah kesemutan karena duduk terlalu lama. Saat berdiri, pasokan darah ke otaknya mengalami sedikit masalah hingga dia sedikit oleng. Untung saja ada jubah Murong Qin yang dia tarik hingga keseimbangannya kembali normal.
Kusir pengendali kereta kuda datang beberapa saat kemudian. Di tengah perjalanan kembali ke istana, Wei Linglong dan Murong Qin sama-sama diam. Pria itu duduk bersandar pada bilik kereta tanpa mengindahkan seorang gadis muda yang telah menghela napas berkali-kali di depannya. Murong Qin begitu sunyi sejak kembali dari makam Tuan Li. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Wajah cemberut Wei Linglong tidak bisa disembunyikan. Perempuan itu tidak pandai menyembunyikan ekspresi hingga apa yang dia rasakan akan tergambar jelas dari raut wajahnya. Hari sudah siang, tetapi bahkan pria ini sama sekali tidak menganggapnya ada.
“Kusir, berhenti!”
Kereta kuda berhenti. Di persimpangan jalan, Wei Linglong melompat turun dari kereta. Murong Qin yang tengah terdiam ikut bangkit saat menyadari selirnya telah keluar dari kereta. Di persimpangan tersebut, dia bisa melihat empat jalan besar yang dipadati penduduk
Wei Linglong berjalan dengan rok terangkat menuju sebuah kedai makanan di pinggir jalan. Dia duduk di kursi paling depan yang berhadapan langsung dengan jalan utama. Pemilik kedai menghampirinya, lalu menanyakan makanan apa yang ia inginkan. Di sisinya, Murong Qin ikut duduk namun tidak menyebutkan menu.
Satu mangkuk bubur datang beberapa saat kemudian. Wei Linglong makan dalam diam. Perutnya yang sudah keroncongan dari pagi tadi sekarang mulai terisi kembali. Syukurlah, cacing-cacing di perutnya tak akan mendemonya lagi.
“Apa makanan seperti ini sangat lezat?” tanya Murong Qin.
“Kau tidak tahu, ya? Street food is the best hunger buster. Kau tidak memberiku makan, apa kau mau aku pingsan di tengah jalan?”
“Apa kau selalu seperti ini?”
“Apanya yang seperti ini?”
“Cara bicara dan cara makanmu.”
“Siapa yang peduli?”
“Tingkahmu tidak mirip seorang selir.”
“Bukankah sudah kukatakan kalau aku tidak mau jadi selir? Sejak kapan aku setuju menjadi selirmu?”
“Lalu apa yang kau inginkan?”
“Kau penasaran?”
“Tidak.”
Pria tidak konsisten seperti Murong Qin lama kelamaan membuat Wei Linglong jengah. Tatapannya tidak lepas dari mangkuk bubur kecil yang kini sudah hampir kosong. Satu mangkuk saja tidak cukup, dia ingin menambahnya lagi. Akan tetapi, sebanyak apapun dia makan bubur, perutnya akan tetap tidak puas.
“Yang-Tuan, tolong bayarkan makananku,” perintah Wei Linglong pada Murong Qin. Betapa terkejutnya pria itu saat dia diminta membayar tagihan makanan seorang perempuan.
“Kenapa? Apa jangan-jangan kau tidak membawa uang?”
“Ada.”
Tiga keping perak disodorkan pada si pedagang. Merasa puas, Wei Linglong kemudian bangkit dan berjalan tanpa menunggu Murong Qin. Ini kali keduanya keluar istana, dia harus baik-baik menggunakan kesempatan ini untuk menghirup udara segar dan melihat-lihat keadaan ibukota di zaman kuno. Kali ini, dia tidak perlu takut dihukum karena dia keluar secara legal bersama Kaisar.
Pemandangan anakronistik yang begitu nyata terpampang jelas di depan matanya. Sebelumnya dia tidak terlalu memperhatikan setiap detail dari pasar kota ini akibat kesibukannya dalam berdebat bersama pelanggan saat menjual teratai. Setelah diperhatikan baik-baik, semuanya terasa sangat unik dan menarik.
Murong Qin mengikutinya dari belakang. Tingkah laku selirnya seperti seekor burung yang baru lepas dari kandangnya. Murong Qin akui dia memang sama sekali tidak tahu seperti apa kehidupan Wei Linglong sebelum masuk istana.
Bisa saja dahulu kehidupannya sangat bebas seperti seekor burung yang suka terbang di udara. Kemudian, malah terkurung di dalam istana yang bisa semua situasi dan kondisinya sering berubah tanpa bisa diprediksi.
Dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya. Selama ini, dia hanya sering bepergian sendiri, atau bersama Komandan Bu saat sedang dalam penyamaran. Kasim Liu saja tidak dia bawa, lalu mengapa dia mengajak Wei Linglong yang sebelumnya tidak dia kenal sama sekali?
“Nona, belilah sepasang gantungan ini. Kulihat nona dan kekasih nona sangat cocok,” ucap seorang pedagang gantungan giok.
“Kau bilang apa? Kekasih? Dia?”
Pedagang itu mengangguk antusias.
“Dia bukan kekasihku. Dia itu pamanku.”
Si pedagang membelalakan mata.
“Tapi, usia nona dan tuan sepertinya tidak berbeda jauh.”
“Kemari. Dia putra bungsu nenekku.”
Si pedagang hanya bisa mengangguk-ngangguk. Masa bodoh, yang terpenting dagangannya laku terjual.
“Paman, berikan aku uang.”
Murong Qin menghela napas sekali. Gadis tidak bisa ditebak itu sudah membuatnya mengeluarkan uang dua kali. Jika seperti ini, dia benar-benar tampak seperti seorang paman yang sedang mengajak bermain keponakan kecilnya. Wei Linglong sungguh gadis yang ajaib. Statusnya masih seorang selir dan Murong Qin adalah suami sekaligus Kaisar Mingzhu, seharusnya dia masih bisa mengingat itu hingga menjaga batasan. Akan tetapi, Wei Linglong justru memperlakukannya seperti seorang manusia biasa.
Mata Wei Linglong bersinar cerah. Dua gantungan giok berwarna biru berhasil dia dapatkan. Bentuknya belah ketupat dengan hiasan rumbai-rumbah sepanjang dua pulu sentimeter berwarna abu-abu. Tali pengaitnya berwarna senada. Kemudian, dia menggantungkannya di pinggangnya. Satu lagi dia berikan kepada Murong Qin.
“Aku tahu gantungan murahan seperti ini tidak berarti bagimu. Akan tetapi, karena kau yang membayarnya, aku harus membaginya denganmu.”
Murong Qin hanya pasrah. Wei Linglong kembali berjalan sambil bersenandung. Pada beberapa tempat yang dia lewati, dia akan berhenti sebentar untuk melihat adakah sesuatu yang bisa menarik matanya. Jika ada, dia akan menyurug Murong Qin membayarnya. Jika tidak ada, dia akan kembali menjelajah.
Matahari sudah bergerak ke arah barat. Sebentar lagi senja, tetapi gadis itu masih tidak ingin pulang. Dia berputar-putar mengelilingi jalan kota, menjelajah seperti seorang pengembara yang baru sampai di tempat baru. Cara berjalannya tidak seperti seorang wanita. Cara dia berinteraksi dengan orang lain pun tidak biasa. Dia memandang semuanya sama, siapapun dia dan apapun kastanya.
“Paman, berikan aku uang lagi,” pintanya pada Murong Qin.
“Untuk apa?”
“Ayolah. Berikan sedikit uangmu padaku.”
“Kau sudah menghabiskan banyak uangku.”
“Yang Mu-Tuan Muda, tidak boleh pelit pada istri sendiri.”
Di dalam hatinya, Wei Linglong justru tertawa puas. Dia menyukai situasi seperti ini. Murong Qin sudah membuatnya kesal dari pagi tadi, jadi dia harus membayarnya dengan menyenangkan hatinya. Menghabiskan sekantong uang sepertinya bukan masalah besar karena pria itu sangat kaya.
Murong Qin akhirnya memberikan sekantong uang pada Wei Linglong. Tidak ingin terus-terusan dimintai uang seperti seorang orang tua, maka lebih baik dia memberikan semuanya saja. Terserah dia akan membeli apa. Yang terpenting, gadis itu berhenti memanggilnya dengan sebutan paman.
Wei Linglong menghampiri seorang pedagang bakpau. Asap dari kukusan bakpau mengepul ke udara, menebarkan aroma khas dari roti kukus tersebut. Setelah berbicara beberapa kata, dia menyerahkan beberapa keping uang kepada si pedagang, lalu memanggil beberapa anak kecil berpakaian lusuh dengan wajah kusam ke sana. Kukusan bakpau dibuka. Pedangang tadi membantunya mengeluarkan bakpau ke baki, lalu disodorkan kepada anak-anak itu.
“Makanlah. Pelan-pelan.”
Murong Qin berdiri tak jauh dari sana. Bibirnya menyunggingkan senyum yang sangat tipis. Anak-anak lusuh tersebut sepertinya adalah para yatim piatu yang terlantar. Dulunya, daerah ini pernah dijadikan tempat penampungan pengungsi dari kota sebelah. Anak-anak itu mungkin datang dari sana.
Dia berjalan mendekat. Lengan baju Wei Linglong ditarik, kemudian dia berkata,
“Pulang.”
Wei Linglong belum mau pergi. Dia masih ingin melihat anak-anak ini kenyang.
“Pulang.”
“Baiklah, baiklah. Bos, tetap berikan anak-anak ini makan. Tagihannya kau berikan saja pada kediaman Adipati Jing. Bilang kalau Wei Linglong yang menyuruhmu.”
Si pedagang bakpau mengangguk. Beberapa detik kemudian, pedagang tersebut baru menyadari sesuatu. Gadis tadi bilang, kediaman Adipati Jing? Wei Linglong?
“Nona adalah….”
Sayang sekali saat pedagang bakpau menyadari identitas nona, dia sudah hilang.
...***...
...Kalau Murong Qin jadi paman Linglong kayaknya cocok juga ya. Jadiin paman aja ya, jangan suami? Setuju nggak? ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Fifid Dwi Ariyani
trudberkarya
2024-01-29
0
fifid dwi ariani
trus bahagia
2022-10-19
0
kadang bingung sendiri dengan tingkah ajaib linglong
2022-05-20
1