“Dia menolaknya?”
Kasim Liu mengangguk ketika Murong Qin bertanya pada keesokan harinya. Dugaanya benar, wanita itu pasti akan menolak undangannya. Sejak tahu Wei Linglong bisa melawan wanita istana lain yang diutus Ibu Suri saat dirinya berada di Istana Dingin, Murong Qin sudah memprediksi kalau wanita itu berbeda dari wanita istana yang lain.
Awalnya dia meyakinkan dirinya sendiri kalau dia hanya tertipu sesaat oleh tingkah Wei Linglong. Murong Qin selalu berpikir kalau semua wanita yang datang ke istana selalu sama, licik dan manipulatif. Mengejar kekayaan dan kemakmuran adalah tujuan utama. Tujuan sampingannya adalah menaikkan popularitas dan menaikkan derajat keluarga.
Terkadang, Murong Qin bingung sendiri mengapa para wanita begitu ingin masuk ke istana dan mengantri menjadi wanitanya. Baginya, kebebasan adalah sebuah harta yang berharga. Para wanita itu mengorbankan kebebasannya sendiri dan rela terkurung di dalam istana yang temboknya sangat tinggi dan aturannya sangat ketat hanya demi sebuah nama dan gelar.
Apa arti kebanggaan di mata mereka?
Jika harus dikatakan, para wanita yang ada di istananya hanyalah sebuah pion keluarga yang sewaktu-waktu bisa disingkirkan. Dia sudah menemui banyak kasus ketika wanita istana yang menjadi selir terkena masalah, seluruh keluarganya memilih lepas tangan dan tidak mau mengurusi.
Wei Linglong di matanya pada awalnya juga seperti itu. Dia berpikir bahwa Wei Linglong akan memohon padanya untuk membebaskannya dari Istana Dingin dan memberinya status yang tinggi sebagai ganti dari diberikannya plakat militer yang membuat ayahnya pensiun dan pulang kampung. Ya, Murong Qin selalu berpikir kalau Wei Linglong hanyalah sebuah alat transaksi antara dia dengan Jenderal Yun.
Murong Qin tidak menyangkal kalau para penghuni Istana Dalam sebenarnya sama nasibnya dengan Wei Linglong. Mereka masuk istana karena kebutuhan dan kepentingan politik, bukan semata-mata karena dia menginginkannya. Apalagi, di sana ada Ibu Suri yang memegang kekuasaan tertinggi atas Istana Dalam.
Dia yang kerap kali bersinggungan dengannya hanya bisa mengiyakan setiap kali ada wanita baru yang masuk istana. Begitu dan begitu sepanjang usia pemerintahannya hingga jumlahnya meningkat sampai seratus orang lebih.
“Bagaimana hasil penyelidikannya?” tanya Murong Qin pada Komandan Bu, pengawal pribadinya yang setia namun agak bodoh.
“Yang Mulia, Selir Chun kehilangan ingatan karena sakit saat masih berada di Istana Dingin,” jawab Komandan Bu. Pengawal tersebut menyampaikan semua informasi yang dia dapat dari beberapa kasim dan pelayan istana.
“Oh? Dia pernah menjadi wanita yang berputus asa juga?”
“Tidak, Yang Mulia. Selir Chun tidak pernah mengeluhkan apapun saat dia masih dikurung di Istana Dingin.”
“Apa yang kau katakan benar?”
“Saya tidak berani berbohong. Menurut kasim di Istana Dingin, Selir Chun begitu tenang dan gembira. Pada waktu tertentu, Selir Chun bahkan sering bertingkah seolah dia adalah seorang wanita yang sangat bebas dan tidak terikat dengan siapapun.”
“Apa karakternya memang seperti ini?”
“Tidak, Yang Mulia. Pelayan bernama Xiaotan yang berada di sisinya mengatakan kalau Selir Chun memang agak kurang ajar sebelumnya. Setelah masuk istana, kekurang ajarannya semakin parah. Bahkan, dia dengan berani menentang Ibu Suri di hari keduanya masuk istana.”
“Apa yang mereka ributkan?”
“Ibu Suri menanyai Selir Chun perihal plakat perintah militer milik ayahnya yang diserahkan kepada Yang Mulia. Selir Chun dengan terang-terangan mengatakan kalau Ibu Suri adalah rubah tua yang licik.”
Setelah berminggu-minggu berlalu, Murong Qin baru mengetahui alasan sebenarnya yang membuat Wei Linglong dikurung di Istana Dingin. Tidak heran saat Selir De datang untuk menindasnya, Wei Linglong tidak ragu menghina dan mengejek Ibu Suri dengan sebutan burung perkutut yang tua.
Berdasarkan tingkahnya ini, Murong Qin menarik kesimpulan kalau Wei Linglong sama sekali tidak berniat menjalin hubungan atau bekerja sama dengan Ibu Suri untuk memata-matai atau menjatuhkannya. Sebaliknya, wanita itu malah berusaha menghindar dari keramaian dan memilih hidup damai di Istana Dingin.
Wei Linglong pasti tidak ingin terlibat dalam persaingan wanita istana. Itu juga yang mungkin membuatnya menolak undangan perjamuan. Bayangkan saja, dia sudah melawan dan menentang lima orang wanita utusan Ibu Suri. Jika Ibu Suri tidak bertindak kepadanya, itu baru hal yang aneh.
“Yang Mulia, ada satu hal lagi yang perlu saya laporkan kepadamu,” ucap Komandan Bu dengan raut wajah serius.
“Apa?”
“Selir Chun adalah adik sepupu dari mendiang Permaisuri Hong.”
“Mereka benar-benar satu keluarga ternyata.”
“Apa saya masih perlu menyelidikinya lagi?”
“Tidak perlu. Pergilah, urusi urusanmu sendiri!”
Pandangan Murong Qin jatuh pada sebuah buku laporan. Lagi-lagi buku laporan itu! Melihat Kaisarnya hendak turun dari kursi kerjanya, Kasim Liu dengan sigap meraih tangan kiri Murong Qin dan membantunya berdiri. Pakaian berat yang dipakai Kaisarnya cukup merepotkan.
Murong Qin berjalan menghampiri sebuah rak buku yang ada di bagian samping aula kerjanya. Di depan susunan buku yang berjajar rapi, dia mengambil sebuah buku yang paling tebal dan paling berat. Saat dia membukanya, aroma kertas usang yang lembab langsung menusuk hidungnya. Pada halaman awal buku tersebut, dia mengusap sebuah peta yang menjadi penanda halaman pertama dari buku tebal tersebut.
Buku tebal yang kini ada di tangannya adalah buku catatan pangan dari seluruh wilayah Dinasti Yuan dari tahun pertama sejak dia naik takhta hingga usia pemerintahannya yang kedelapan. Buku itu berhenti ditulis pada dua tahun lalu karena orang kepercayaan Murong Qin yang ditugaskan untuk mencatatnya sudah meninggal karena usia tua. Sampai saat ini, dia belum menemukan orang yang tepat untuk mencatatnya lagi.
“Sudah berapa lama aku tidak menemuinya?” tanyanya.
“Yang Mulia, sudah dua tahun sejak kepergian Tuan Bai. Terakhir kali Yang Mulia bertemu adalah pada saat hari pemakamannya.”
Murong Qin menghela napas. Jika orang yang disebut Tuan Bai masih hidup, dia mungkin bisa meminta saran dan pendapat dari orang itu mengenai bencana yang terjadi di wilayah utara. Walaupun Murong Qin adalah seorang Kaisar Mingzhu yang hebat di mata orang, dia tetap seorang manusia yang punya kekurangan. Terkadang, dia memerlukan seseorang yang bisa diajak diskusi secara pribadi.
Tuan Bai, pencatat buku pangan kepercayaan Murong Qin adalah orang bijaksana. Dia pejabat terjujur yang pernah dikenal olehnya. Tuan Bai membantunya menjaga kestabilan pemerintahan saat takhtanya baru seumur jagung. Berkat Tuan Bai, Murong Qin bisa sedikit berbagi beban terutama di masalah pangan rakyat. Sayang, pria bijaksana itu tidak berumur panjang.
“Liu Ting, siapkan kuda.”
“Yang Mulia ingin mengunjungi Tuan Bai?”
“Ya.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Suruh Selir Chun kemari!”
“Baik, Yang Mulia.”
Sambil menunggu kasimnya kembali, Murong Qin mengganti pakaiannya dengan pakaian bangsawan biasa. Mahkotanya dia letakkan di tempat biasa. Murong Qin juga mengikat rambutnya hingga penampilannya kini tidak jauh berbeda dengan tampilan para tuan muda dari keluarga bangsawan ternama. Murong Qin tidak pernah lupa pada penyamarannya setiap kali dia pergi keluar istana.
Menjelang siang hari, Kasim Liu kembali ke Istana Yanxi. Di belakangnya ada Wei Linglong dalam balutan hanfu sederhana berwarna cokelat muda. Dia memandang Murong Qin dari atas ke bawah, memperhatikan setiap detail yang menempel pada tubuh kekar berparas tampan tersebut. Sekilas, pria di hadapannya ini seperti seorang model papan atas yang sedang ber-cosplay menjadi orang zaman kuno keturunan darah bangsawan.
“Kau sudah datang.”
“Yang Mulia memanggilku?”
“Ayo kita berangkat.”
“Berangkat? Ke mana?”
Murong Qin menolak menjawab pertanyaan Wei Linglong. Dia menarik tangan gadis itu tanpa memperhatikan reaksi dan ekspresi Wei Linglong yang heran sekaligus bingung. Ada apa ini? Mengapa Kaisarnya memintanya datang ke Istana Yanxi tanpa penjelasan lalu menarik tangannya seperti ini? Wei Linglong bahkan belum sempat mencerna semuanya dengan baik.
Mereka keluar lewat pintu samping Istana Yanxi. Setelah berjalan beberapa lama, mereka sampai di sebuah gerbang rahasia yang terletak di halaman belakang Istana Yanxi. Kasim Liu mengeluarkan sebuah kunci kemudian membuka pintu gerbang tersebut. Setelah gerbangnya terbuka, kasim itu kembali memasukkan kuncinya ke saku di pinggangnya.
Di luar gerbang, sebuah kereta kuda sederhana lengkap dengan seorang kusir terparkir. Kusir itu memberi hormat pada Murong Qin dan Wei Linglong. Tangan Wei Linglong masih digenggam erat oleh Murong Qin hingga gadis itu sedikit meringis karena cengkramannya cukup kuat.
"Hei, bisakah kau lepaskan tanganku dulu?" pinta Wei Linglong pada Murong Qin. Perkataan Wei Linglong telah menyadarkan Murong Qin bahwa sedari tadi dia terus menggenggam tangannya tanpa sadar. Refleks, Murong Qin langsung melepaskan cengkeramannya.
“Main tarik-tarik tangan orang sembarangan. Yang Mulia, sebenarnya apa yang mau kau lakukan?”
Murong Qin menunjuk kereta kuda dengan dagunya. Kening Wei Linglong berkerut, berusaha menebak maksud dari isyarat tersebut. Beberapa detik setelahnya, dia baru tahu bahwa isyarat tersebut bermakna, “Naiklah. Temani aku pergi ke suatu tempat.”
Wei Linglong dan Murong Qin duduk berhadapan. Kereta kudanya cukup besar dan bagian dalamnya cukup luas. Jarak antara dia dan Murong Qin terpaut cukup dekat. Kusir pengendali segera menarik tali, kudanya dipecut dan kereta mulai berjalan. Di gerbang itu, Kasim Liu memandang kepergian Kaisar dan selirnya dengan tatapan heran.
Gadis itu menyibak tirai jendela kereta. Matanya berbinar saat tahu kalau mereka sudah sampai di tengah kota, tempat orang-orang kuno melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Suasana begitu ramai dan hangat di penghujung musim gugur yang panjang ini. Kedai-kedai makanan dan minuman disesaki banyak orang. Toko kosmetik, toko kain, toko peralatan tulis, toko perhiasan, dan toko makanan pun tidak jauh berbeda.
Wei Linglong tertawa kecil setiap kali melihat pedagang yang sedang berdebat perkara tawar menawar harga dengan pembelinya. Interaksi tersebut membuatnya teringat akan kejadian beberapa bulan lalu saat dirinya menyusup keluar istana dan menyamar menjadi seorang penjual akar teratai, menipu ibu-ibu setengah tua bahkan menipu Murong Qin yang sedang menyamar.
“Apa kau begitu gembira?” tanya Murong Qin setengah sinis.
“Tentu saja. Setiap hari aku terkurung di istana, pemandangan seperti ini sangat langka. Dunia kuno benar-benar memberikan sensasi yang berbeda!”
“Tingkahmu menunjukkan seperti kau tidak pernah keluar dari rumah.”
Bukan tidak pernah keluar rumah, aku memang bukan penduduk asli dunia ini.
Hati gadis itu berharap kalau mereka akan berhenti di depan kedai makanan atau minuman. Harapannya putus saat kereta kuda lewat begitu saja di depan kedai makanan dan minuman yang paling banyak dikunjungi orang. Tidak apa-apa, Wei Linglong masih punya harapan lain. Mungkin, kereta kudanya akan berhenti di toko alat tulis atau toko kain. Sayang, harapannya yang satu itu juga pupus. Bahkan setelah beberapa toko, kereta kuda tetap tidak berhenti. Wei Linglong semakin kehilangan harapannya ketika kereta kuda sudah sampai di ujung jalan pusat kota.
Memang, harapan adalah hal yang paling menyakitkan ketika tidak terwujud.
Kereta kuda berbelok ke arah kiri, ke sebuah jalan kecil yang di sisi kanan kirinya ditumbuhi pohon maple yang sedang berjuang menghadapi musim gugur. Murong Qin tidak memberitahukan ke mana mereka akan pergi. Pria itu hanya duduk diam sambil memejamkan mata, mengabaikan seorang wanita yang duduk satu kereta bersamanya.
“Cih, benar-benar pria berhati dingin!” ungkap Wei Linglong pelan.
Jalan yang sempit berubah jalur ke sebuah jalan lain. Arahnya menuju ke sebuah hutan yang gundul karena musim gugur.
Daun-daun yang jatuh bertumpuk menutupi tanah, terhampar seperti permadani. Jejak roda kereta membekas di atas tanah dan daun-daun tersebut.
Sampai suatu waktu, kusir menghentikan laju kuda.
“Tuan, kita sudah sampai.”
Murong Qin keluar dari kereta tanpa berkata apa-apa. Wei Linglong mengikutinya dari belakang. Dia melompat dari atas kereta. Saat jejak kakinya sudah menapak di tanah dan tubuhnya sudah seimbang, dia mengernyit bingung mendapati pemandangan yang tidak biasa di hadapannya.
“Di mana ini?"
Hutan maple yang berguguran, udara yang tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin, hamparan daun-daun tua, juga bangunan aneh di hadapan berbentuk bulat dengan sebuah batu tinggi membuat Wei Linglong semakin kebingungan. Batu tinggi itu, sepertinya adalah sebuah batu nisan!
“Pemakaman.”
“Yang Mulia ingin menguburku hidup-hidup?”
Murong Qin seketika mendelik. Apa isi otak wanita ini? Apa katanya tadi? Menguburnya hidup-hidup? Untuk apa? Murong Qin memalingkan wajah. Dia menatap nisan yang menjadi penanda bahwa seseorang telah dipendam di dalam tanah ini.
Ada kesedihan yang membayang di matanya. Tatapan mata setajam elang berubah menjadi sayu. Kabut tipis seperti menyelimuti bola matanya. Pelupuk matanya basah, namun air yang sangat berharga itu tidak keluar meluncur dari sarangnya. Murong Qin seperti sedang menahan sesuatu.
“Ini adalah makam Tuan Bai.”
“Tuan Bai? Siapa dia? Ayahmu? Leluhurmu?”
Murong Qin menghela napas sejenak.
...***...
...Ternyata jadi pemimpin itu susah ya, apalagi kalau udah kehilangan orang kepercayaan. Yuk kasih semangat buat Murong Qin! ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Fifid Dwi Ariyani
trussehst
2024-01-29
0
Hasan
nah coba lu tanyain saja tuh selir chun mu pasti dapat solusi jitu🤭🤭
2023-02-21
3
Wanda Wanda i
terlalu barbar thor mc cewknya
2023-01-08
1