Orang yang berteriak padanya ternyata Murong Yu. Bocah kecil imut tersebut muncul dari balik semak-semak setelah Murong Qin pergi. Dia berlari kepada Wei Linglong, memeluk wanita itu karena dua hari ini dia tidak bertemu dengannya. Wei Linglong membalas pelukan Murong Yu dengan kehangatan seperti seorang ibu kepada anaknya.
“Xiao Yu, dari mana kau tahu kalau aku ada di sini?” tanyanya sambil membawa bocah itu masuk ke Istana Fenghuang.
“Kemarin sore aku datang ke Istana Dingin. Kasim Du bilang bibi sudah pindah ke Istana Fenghuang.”
“Lalu kenapa Xiao Yubersembunyi di semak-semak?”
“Aku takut pada ayah. Dia datang membawa prajurit. Orang bilang, ayah akan menghukum orang jika sudah membawa prajurit. Bibi, ayah tidak menghukummu kan?”
“Anak manis, jangan khawatir. Ayahmu datang bukan untuk menghukumku.”
“Tapi, kenapa taman istananya sangat berantakan? Bibi, kakimu juga kotor.”
“Tadi, ada beberapa kucing liar yang merusak taman istana. Aku membantu ayahmu mengusir mereka.”
Murong Yu yang imut hanya mengangguk.
Selagi Wei Linglong membersihkan diri, Xiaotan menemani Murong Yu bermain catur. Anak sekecil itu ternyata sudah begitu hebat bermain strategi. Orang dewasa seperti Xiaotan saja kalah di setiap ronde. Mungkin juga karena Xiaotan tidak terlalu pintar hingga kalah dengan seorang bocah berumur tujuh tahun.
Wei Linglong segera memakai pakaiannya. Seluruh tubuhnya terasa lebih segar. Harum aroma bunga yang dicampur dalam air mandinya meresap ke dalam kulit, melembutkan dan mengecilkan pori-porinya. Sejak datang ke dunia ini, baru pertama kalinya Wei Linglong merasa seperti di spa.
Usai merapikan rambut dan merias wajahnya dengan bedak tipis, dia segera menghampiri Murong Yu. Bocah itu masih asyik menindas Xiaotan yang sudah pasrah karena kalah berkali-kali. Wei Linglong kemudian duduk di kursi dekat keduanya. Matanya menatap sebentar papan catur yang dipenuhi bidak hitam milik Murong Yu.
“Xiao Yu, dari mana kau belajar catur?” tanyanya.
“Saat aku bosan, aku selalu bermain sendirian. Bibi, kau mau bertanding denganku?”
“Tapi, aku tidak bisa bermain catur.”
“Ayolah bibi,” Murong Yu memohon. Karena tidak tega, Wei Linglong akhirnya setuju.
Dia dan Murong Yu duduk berhadapan. Bidak catur warna putih dimainkan oleh bocah itu, sementara yang hitam dimainkan olehnya. Pertandingan dimulai. Orang yang bertugas menjadi pengawas sekaligus wasit adalah Xiaotan. Satu persatu bidak-bidak tersebut mulai naik ke papan.
Satu langkah putih ditutup dua bidak hitam. Satu bidak hitam berjalan kemudian dihadang tiga bidak putih. Pertandingan antara Wei Linglong dan Murong Yu berlangsung cukup sengit.
Interaksi keduanya tidak mirip seperti rival, tapi lebih seperti seorang ibu yang sedang menemani anaknya bermain. Tidak ada yang tahu kalau di balik jendela, seseorang tengah mengawasi mereka secara diam-diam. Orang itu kemudian pergi setelah beberapa saat.
Sekitar satu setengah jam kemudian, Wei Linglong berhasil menang dua babak dari Murong Yu. Skor akhirnya adalah 2-1.
“Bibi, kau bilang tidak bisa bermain,” keluh Murong Yu. Wajah imutnya cemberut.
“Kemampuanku tiba-tiba meningkat.”
“Kau bahkan tidak melepaskan anak kecil seusiaku. Seharusnya kau mengalah padaku. Orang dewasa harus bersikap rendah hati terhadap anak kecil kan?”
Wei Linglong mengelus kepala Murong Yu dengan gemas. Bocah kecil itu sepertinya marah karena Wei Linglong tidak mau mengalah.
“Xiao Yu anak yang baik. Kau tahu kalau papan catur ini seperti medan pertempuran?”
Murong Yu menggelengkan kepala.
“Di dalamnya ada bidak catur. Mereka ini adalah kekuatanmu. Jika kau tidak bisa mengendalikan lawan, maka kekuatanmu akan hilang satu persatu. Xiao Yu, dalam pertempuran tidak ada yang namanya mengalah. Pedang tidak punya mata. Kau harus tetap berjalan dengan kuat.”
“Bibi, perkataanmu ini sama seperti perkataan Pembimbing Agung. Apa kau adalah muridnya?”
“Bukan. Guruku adalah seorang profesor hebat di masanya. Dia punya lebih dari lima ratus jurnal ilmiah dan tiga puluh judul buku lebih. Dia punya perpustakaan yang sangat besar dan lengkap.”
“Profesor itu apa? Jurnal ilmiah itu apa?”
“Profesor itu seperti Pembimbing Agung tapi lebih hebat. Jurnal ilmiah itu semacam laporan hasil penelitian atau artikel berdasarkan fakta.”
“Apa aku boleh mengunjungi gurunya bibi?”
Wei Linglong terdiam sejenak. Pikirannya terpaut kembali ke masa depan. Profesor yang dia sebutkan sering disebut Profesor Min, seorang guru besar yang baik hati. Dia adalah pembimbing Wei Linglong dan selalu membantunya setiap kali dia menemui kesulitan. Di semester akhirnya yang hanya tinggal hitungan bulan, Profesor Min selalu mengingatkannya perihal skripsi yang harus diselesaikan.
Profesor Min adalah guru terbaik bagi Wei Linglong. Dia mengajarkan banyak hal padanya. Sayang, Wei Linglong belum sempat bertemu dengannya untuk yang terakhir kali. Waktu berjalan begitu cepat, entah Profesor Min tahu atau tidak perihal kondisi dirinya yang koma di masa depan. Juga entah kapan dia bisa bertemu dengan sosok itu lagi.
“Bibi, kenapa melamun?”
“Ah, maaf. Xiao Yu tanya apa tadi?”
“Apa aku boleh mengunjungi gurunya bibi?”
“Hm, tentang itu ya. Entahlah, bibi juga belum bertemu lagi dengannya. Mungkin kalau jodoh, bibi akan membawamu pergi menemuinya.”
“Baik. Aku akan menunggunya.”
Bosan dengan permainan catur, Wei Linglong mengajak Murong Yu ke dapur khusus. Semua bahan makanan segar yang didapat dari kebun Istana Dingin dan Dapur Utama sudah ditata dengan rapih. Wei Linglong sengaja meminta pelayan kepercayaan Murong Qin untuk menatanya sesuai dengan keinginannya.
Api di tungkunya sudah menyala. Wei Linglong meminta Murong Yu duduk di kursi dekat pintu masuk agar tidak terkena panas dan asap. Wanita itu mulai memotong bahan-bahan makanan dan memasukannya ke dalam beberapa wadah.
Setelah dicuci bersih, Wei Linglong kemudian memanaskan minyak di dalam wajan. Dia menumis beberapa sayuran organik segar dari kebunnya, membumbuinya kemudian mencicipi rasanya. Aromanya begitu menggugah selera.
Di wajan yang lain, Wei Linglong memasak sup ayam yang dicampur dengan potongan daun kol, wortel, seledri dan beberapa sayuran lain. Aromanya juga sangat harum. Selesai dengan dua hidangan, Wei Linglong melanjutkan kegiatannya dengan memasak daging sapi yang dipotong tipis berbentuk persegi panjang. Wei Linglong membumbuinya dengan rempah-rempah langka yang dia minta dari Dapur Utama. Merasa tidak puas, Wei Linglong memasak beberapa hidangan lain.
Jangan tanya dari mana dia bisa memiliki kemampuan tersebut. Dia adalah seorang mahasiswa. Dulu, saat pertama kali masuk kuliah, Wei Linglong sempat menjadi anak kos bersama dua orang temannya. Dia belajar hidup mandiri dan tidak mengandalkan orang lain.
Mencuci, membersihkan kamar, merapikan, termasuk memasak juga dilakukan sendiri. Karena satu dan lain hal, dia dan teman-temannya memilih menempati ruang masing-masing. Wei Linglong pindah ke sebuah apartemen yang dibelikan oleh ayahnya.
Jadi, dia sudah terbiasa memasak. Wei Linglong selalu membeli sayuran segar atau membawa hasil panen kebun kampus ke tempat tingggalnya, mengolahnya menjadi makanan enak yang bergizi dan menggugah selera. Dia juga sering jalan-jalan dan wisata kuliner hingga dia mengetahui beragam jenis masakan baik sayuran, daging, maupun olahan bahan lain.
“Bibi, kau bisa memasak?” tanya Murong Yu setelah Wei Linglong selesai menata hidangan di atas meja.
“Ya. Makanlah.”
“Bibi kan putri jenderal. Kenapa bisa memasak?”
“Memangnya tidak boleh?”
“Menurut buku, memasak itu pekerjaan kasar bagi para nona besar. Apa bibi tidak dimarahi oleh Paman Jenderal?”
“Sssttt… Jangan beritahu siapapun.”
“Wah, orang dewasa punya banyak rahasia ya.”
Wei Linglong menyuruh Murong Yu agar tidak banyak bertanya. Hidangan lezat yang tersaji sudah cukup untuk membungkam mulut kecilnya yang selalu melontarkan banyak pertanyaan yang terkadang sulit untuk dijawab. Tanpa Murong Yu tahu, sebelum hidangan itu disajikan, Wei Linglong terlebih dahulu memisahkan beberapa mangkuk kecil untuk diberikan pada seseorang.
...***...
Murong Qin begitu tenggelam dalam pikiran kacaunya tentang situasi di area utara wilayah yang dipimpinnya. Laporan dari duta di sana mengatakan terjadi bencana kekeringan besar melanda beberapa desa. Sungai mengering, mata air tidak muncul dan sumur tidak bisa ditimba. Buah-buahan tidak mau berbuah, padi-padi gagal panen.
Musim gugur sebentar lagi berakhir, berganti dengan musim dingin. Jika pangan tidak tersedia dalam jumlah yang cukup, bencana kelaparan dan kematian pasti terjadi sepanjang musim dingin. Sebagai seorang Kaisar Mingzhu, Murong Qin dibebani permasalahan yang sukar ditemukan jalan keluarnya.
Kasim Liu, kasim pribadinya datang tergesa-gesa membawa sebuah berita dari Istana Dalam. Melihat wajah murung Kaisarnya, kasim itu menjadi ragu apakah dia harus menyampaikan berita tersebut atau tidak. Murong Qin sempat meliriknya sekilas, menandakan bahwa kasim itu bisa memulai ceritanya.
“Yang Mulia, hari ulang tahun Ibu Suri tinggal tiga minggu lagi.”
“Lalu?”
“Apakah Yang Mulia sudah memulai persiapannya?”
“Begitu banyak orang di Istana Dalam. Apa aku perlu mengurusi hal-hal repot seperti itu?”
“Yang Mulia, ini sepertinya kurang baik.”
Kasim Liu yang tahu betul permusuhan antara Ibu Suri dengan Kaisar Mingzhu-nya dan tidak ingin masalah berkembang lebih besar. Semua orang sudah tahu situasi politik internal di antara para keluarga kerajaan. Bagaimanapun Ibu Suri tetaplah seorang sesepuh yang memiliki kekuasaan tinggi. Jika pada perjamuan tersebut Murong Qin menunjukkan sikap benci yang nyata, maka para pejabatnya akan kembali mengkritiknya.
“Sudahlah. Jangan ganggu aku!”
Murong Qin melemparkan sebuah buku laporan ke lantai dengan kasar. Berita bencana di utara Dinasti Yuan membuat kepalanya kembali berdenyut. Sisa pasukan kerajaan yang dulu berjaga di sana sudah ditarik kembali ke ibukota sehingga Murong Qin kesulitan membuat perencanaan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Jika dalam waktu satu minggu dia tidak membuat keputusan, rakyatnya yang ada di utara sana akan meragukan kemampuannya. Mereka bisa jadi tidak akan bisa percaya lagi kepada kerajaan dan memilih memisahkan diri dari
wilayah kekuasaan Dinasti Yuan.
Betapa memalukannya bagi seorang Kaisar ketika sebuah wilayah melepaskan diri dari kekuasaannya karena ketidakcakapannya dalam memerintah. Selain harga diri yang ternodai, namanya juga akan tercatat sebagai Kaisar tidak kompeten sepanjang sejarah.
“Yang Mulia,” panggil Kasim Liu.
“Apa lagi?” Murong Qin bertanya balik dengan ketus.
“Ada kiriman dari Istana Fenghuang.”
Murong Qin seketika mendongakkan kepala. Apa katanya tadi? Istana Fenghuang? Maksudnya, dari Selir Chun alias Wei Wei Linglong? Untuknya? Kiriman apa? Murong Qin menatap sebuah kotak kayu yang biasa dipakai untuk mengirim makanan di tangan Kasim Liu. Dia menerawang jauh, mencoba menebak apa isi dari kotak tersebut. Baru pertama kalinya dia mendapatkan kiriman seperti itu dari seorang wanita yang baru dipindahkan ke istana.
Kasim Liu meletakkan kotak kayu tersebut di atas meja. Tutupnya langsung dibuka dan terlihatlah sebuah mangkuk berwarna putih berisi bubur berwarna oranye yang masih mengepul asapnya. Aromanya sedikit aneh namun cukup menggugah selera. Murong Qin menatap kasimnya dengan tatapan tanya namun hanya dijawab dengan gelengan kepala.
“Apa ini?”
“Pelayan bernama Xiaotan bilang ini bubur wortel yang dibuat Selir Chun untuk Yang Mulia.”
“Bubur wortel? Kenapa dia membuatnya untukku?”
“Hamba juga tidak tahu, Yang Mulia.”
Murong Qin belum pernah mencoba makanan bernama bubur wortel. Dia bahkan tidak tahu kalau wortel juga bisa dijadikan bubur. Murong Qin menyendoknya kemudian memasukannya ke dalam mulut. Dahinya berkerut sesaat, matanya bergerak seperti sedang merasakan dan menebak sesuatu di saat yang bersamaan.
Rasa bubur wortelnya enak. Ada rasa asin, gurih dan manis yang bercampur. Lidahnya juga merasakan manis dari susu segar yang kemungkinan dimasukkan ke dalamnya. Harum aroma persik dari bunga di atas bubur itu semakin menambah cita rasa untuk siapapun yang menikmatinya.
Melihat tuannya begitu menikmati bubur wortel, Kasim Liu bisa bernapas lega. Setidaknya Selir Chun telah menyelamatkannya dari kemarahan sang Kaisar. Hanya dengan sebuah bubur saja, Selir Chun sudah bisa memenangkan hati raja. Suasana hati Kaisarnya sudah buruk sejak tadi. Jika dia terus menganggunya dengan undangan Istana Dalam, kepalanya mungkin akan tergantung di alun-alun kota dan dia akan dikenang sebagai kasim Kaisar yang paling malang sepanjang masa.
Kasim Liu hendak pamitan. Tidak ada urusan yang bisa dia selesaikan di aula besar itu. Langkahnya mundur dengan kepala tertunduk. Ketika beberapa langkah sudah ia lewati, Murong Qin tiba-tiba berkata,
“Berikan undangan itu kepada Selir Chun!”
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Fifid Dwi Ariyani
trudssbar
2024-01-29
0
Sang
jangan GR duluan, undangan spesial untuk jadi koki khusus kaisar aja loh 🤣🤣🤣🤣
2022-12-04
1
fifid dwi ariani
trus bahagia
2022-10-19
1