"Aku pikir kamu mencemaskan keadaanku,tapi justru kamu mencemaskan uangku.
Kamu anggap aku ini apa sebenarnya haa?"
Alim menatap nyalang istrinya, nadanya mulai sedikit meninggi karena kesal dengan cara berpikir Piana.
Yang ada di otaknya hanya uang dan uang.
"Ya, mas suamiku lah..."
Piana menjawab dengan nada tak kalah tinggi.
Batinnya kesal karena laki laki yang bergelar suaminya itu tak cukup peka dengan mau nya.
"Sudahlah, aku tak ingin berdebat lagi karena hanya akan semakin memperkeruh keadaan.
Lebih baik aku pergi ke gudang, melihat para pekerja dan langsung mengecek barang yang datang." Tanpa ingin memperdulikan Piana, Alim berlalu pergi dengan membawa rasa kesal hingga menghadirkan penyesalan yang tak bertepi.
"Mas, kenapa kamu diam saja?
Seolah tidak suka aku menemui kamu, mas tunggu mas, kamu mau kemana?"
Piana merapatkan tubuhnya untuk lebih dekat dengan suaminya.
'Aku harus bisa mengambil hati mas Alim dan membuatnya tunduk dengan segala keinginanku.'
Piana membatin.
"Aku mau pergi ke gudang dulu, karena hari ini ada kiriman kedelai yang masuk.
Aku harus pastikan sendiri kalau kedelai kedelai yang masuk memiliki kualitas yang bagus.
Kalau bagus, harga jualnya juga pasti lebih mahal.
Lebih baik kamu pulang saja dan temani Zidan di rumah.
Akhir akhir ini, aku perhatikan kamu sering meninggalkan Zidan dirumah dengan bik Inah.
Aku tak suka, segala urusan Zidan kamu berikan sama pembantu.
Zidan butuh perhatian dan kasih sayangmu."
Alim bicara dengan pandangan lurus ke depan, ekspresinya sangat datar, rasa kecewa dan penyesalan kini sedang membuatnya merasa sangat frustasi, di tambah dengan sikap Piana yang selalu menuntut lebih.
"Sudahlah mas, tak perlu berlebihan begini.
Lagi pula, aku pergi juga karena aku mencarimu."
Piana pun mencebik tak suka, dia selalu mempunyai jawaban jika ditegur suaminya.
"Aku sudah mengingatkanmu Piana, aku mau kamu menjadi ibu yang baik untuk anakku, hanya itu."
Alim mengusap wajahnya kasar dengan dada yang bergemuruh menahan ledakan emosi.
Setiap kali dinasehati, Piana selalu saja berdalih dan melawan.
"Yasudah, aku akan pulang.
Tapi aku minta uangnya dua juta saja untuk belanja.
Karena kebutuhanku sudah hampir habis.
Mas gak mau kan, istrimu ini jadi tak menarik lagi untuk dipandang?"
Piana bergelayut manja di lengan suaminya.
Di tatapnya Alim dengan tatapan menggoda.
Begitulah Piana kalau sudah tentang uang.
Dia akan berubah manja dan lembut.
Karena dia tau, kalau Alim pasti tak mampu untuk menolak keinginannya kalau sudah begitu.
Alim menghembuskan nafasnya dengan kasar, lelah dengan istrinya yang selalu uang, uang yang ada di pikirannya.
"Nanti aku tranfser, aku akan mampir ke ATM saat perjalanan ke gudang.
Habis belanja, cepatlah pulang.
Jangan lama lama ninggalin Zidan dirumah." Alim sekuat tenaga menahan emosinya, karena tidak mau ribut di rumah kakaknya.
"Iyaa mas, aku akan segera pulang kok, janjii..."
Dalam hati piana bersorak senang, karena suaminya itu selalu menuruti maunya.
"Kita pamitan dulu sama mbk kayah."
Alim berjalan menuju kamar kakaknya.
Diketuknya pintu kamar kakak perempuannya itu.
"Mbak, aku sama Ana mau pamit ini."
Alim dan piana sudah berdiri didepan pintu kamar rokayah, menunggu kakaknya keluar.
Ceklek..suara pintu dibuka dan Rokayah pun menyembul dari balik pintu yang hanya dibuka setengah tertutup itu.
"Mbak, kami pamit dulu yaa.
Aku mau ke gudang dan Ana juga mau belanja dulu untuk beli keperluan rumah."
Rokayah pun mengangguk dan tersenyum ke arah adik laki lakinya itu.
"Asalamualaikum."
ucap alim pada kakaknya berpamitan, sedangkan Piana hanya diam saja tanpa ekspresi, karena dia tau kalau kakak iparnya tidak pernah suka dengannya.
"Waalaikumsallam, hari hati di jalan ."
Jawab rokayah ramah dengan tatapan iba pada adik nya.
Alim masuk ke mobilnya, begitupun piana.
Setelah adik dan iparnya pergi, Rokayah kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya.
Saat ini, Rihana sedang berada satu mobil dengan bos nya.
Meski mereka tak hanya berdua, ada pak Andi sopir pribadi Dimas.
Namun tetap saja membuat Hana merasa tak nyaman.
Karena ini untuk pertama kalinya Hana ikut serta di pertemuan kantor cabang dengan bos nya.
Rasanya sangat canggung sekali.
Hana hanya diam memandang ke arah depan dan sekali kali memalingkan wajah ke arah samping sambil melihat kendaraan berlalu lalang.
Tak ada obrolan selama perjalanan, hanya hening dan itu membosankan untuk Rihana dalam hatinya, dia merutuki dirinya yang sama sekali tidak nyaman dengan keadaan seperti ini.
Setelah sekian jam hanya saling diam, akhirnya Dimas bersuara juga memecah keheningan.
"Saya dengar, kamu sudah pisah dengan suamimu, apa itu benar Hana?" suara pertanyaan dari bos nya membuat Hana kaget, kenapa bos nya menanyakan hal yang bersifat privasi.
Hana tersentak dengan pertanyaan bos nya itu.
'Apa apa'an ini,kenapa pak Dimas tiba tiba bertanya demikian?' batin Hana tak suka.
Hana hanya diam, mau jawab apa, dia gugup dan tak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan bosnya itu.
"Hana, kamu dengarkan apa yang saya ucapkan?"
merasa tak direspon, Dimas mengulangi pertanyaannya lagi.
Dimas berkata dengan wajah datar, sambil menatap ke arah Hana yang hanya diam sambil menunduk.
Hana pun mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah bosnya itu dengan tatapan yang entahlah.
Hana mengangguk dan mengiyakan dengan suara lirih hampir tak terdengar.
Dimas pun merasakan ketidak nyamanan Hana atas pertanyaannya itu.
Dimas memalingkan wajahnya.
Dan berucap lirih, 'masih ada kesempatan.'
Meski sangat lirih namun kalimat itu jelas terdengar oleh Rihana.
"Kesempatan?
Maksud bapak apa ya?"
Dimas pun salah tingkah dan memilih diam dengan pandangan lurus ke depan.
Melihat bosnya enggan menjawab, Hana pun hanya diam dan tak ingin lagi bertanya.
#eheeeeem ada apa nih dengan pak Dimas Yaaa.
Apa selama ini Dimas memiliki rasa terhadap Rihana ??
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments