Rasanya kepalaku pusing sekali.
Mungkin otakku tak sanggup mencerna masalah ini,
Aku membaringkan badanku di kasur, menenggelamkan wajahku di bantal.
Sungguh aku tak sanggup harus melawan mereka sendirian.
Drttt drttt drttt...
Aku mengangkat telpon dari mamah.
Bahkan aku sampai lupa menghubungi Nita dan mamah karena masalah ini.
[Hallo mah] ucapku.
[Hallo nak apa kamu sudah sampai] tanya mamah.
[Sudah mah, maaf aku tak mengabari mamah kemarin, aku sibuk mah] jawabku.
[Iya gak papa Pan, Nita terus menanyakan kamu] ucap mamah sambil terkekeh.
[Iya mah nanti Topan telpon Nita] ucapku.
Aku memutuskan panggilan sepihak tanpa mendengar jawaban mamah lagi.
Aku membuka aplikasi WhatsApp mencari nama Nita.
[ Nit maaf mas gak telpon kamu, mas sibuk banget] pesanku pada Nita.
Hanya centang dua abu, berarti Nita sedang tak megang hp.
Aku mengambil handuk, membersihkan diri.
'Mungkin dengan mandi aku bisa melupakan masalah ini untuk sejenak' batinku.
Lima hari sudah aku tinggal di kota orang penghianat ini.
Aku masih dengan keadaan yang tak bisa apa apa untuk melawan paman dan Radit.
Aku tak tau bagaimana keadaan kantorku apa karyawanku bisa menghandle semua pekerjaan.
Aku berpikir tentang pengacara papah, semoga saja dia masih memegang surat wasiat dari papah.
Dengan gegas aku mengambil ponselku yang terletak di atas nakas.
Tanganku dengan lincah mencari kontak pengacara papah.
'Pak Ardi' gumamku.
Aku menekan nomor itu tapi sayang nomornya sudah tak bisa di hubungi, apa mungkin dia sudah mengganti kartunya.
aku menelpon sekali lagi nomor pak Ardi, tapi hasilnya Nihil dia tak menjawab telponku.
"Sial " umpatku sambil membanting hpku ke atas kasur.
Aku mengacak rambut prustasi.
Aku duduk di kasur memikirkan lagi cara agar bagaimana keluar dari masalah ini.
Aku mengambil lagi hpku.
Mencari nama Rio disana.
\[Cari pak Ardi sekarang\] pesanku padanya.
Lama tak ada jawaban aku mengambil dompetku dan memasukannya ke kantong celana.
Niatku ingin pergi ke suatu tempat yang membuat aku sedikit tenang.
Aku duduk di taman, memandangi orang orang yang lalu lalang.
'Semoga saja Rio cepat menemukan pak Ardi' batinku.
Aku melihat seorang anak yang sedang menangis, tangisannya sangat menyayat hati.
"Kamu kenapa, dimana ibu kamu" tanyaku pada bocah itu.
Dia hanya menggeleng dan masih tetap menangis.
Aku mengusap rambutnya yang sebahu itu.
"Sudah jangan nangis ya" bujukku.
Setelah lamaku bujuk, akhirnya dia berhenti nangis.
"Kamu kenapa nangis, cerita ke om ya" ucapku pada gadis itu.
"Omm mamah saya sakit" ucapnya sesegukan sambil mengusap sisa air mata yang jatuh.
"Memang ibu kamu sakit apa" tanyaku.
"Tidak tau omm, tapi ibu harus di beri obat" jawabnya dengan tangisan yang pecah.
"Baiklah nak kita beli obat biar om yang antar" ucapku.
"Tapi aku tak punya uang omm" ucapnya.
Aku membuka dompetku ternyata masih ada 12 lembar uang seratus di sana.
"Uangnya dari omm ya, kamu tau gak obatnya apa" tanyaku.
"Tau om" jawabnya dengan anggukan.
Aku berjalan ke apotik menuntun gadis itu karena banyak sekali mobil yang lewat.
"Nama obatnya apa nak" tanyaku saat sudah sampai di depan apotik.
"Namanya inhaler om" ucapnya.
Aku langsung membeli yang di maksud anak itu.
Aku membayarnya dan memberikannya kepada bocah itu.
"Nak apa ibumu sakit asma" tanyaku.
"Ibu sering sesak nafas om dan kalau gak cepat pake obat ini ibu pasti pingsan dan harus ke rumah sakit" jawabnya polos.
Jujur hatiku sedikit tersentuh oleh anak ini, sekecil ini dia sudah memikirkan kesehatan ibunya,
"Nak apa bisa om nganter kamu sampai ke rumah" tanyaku.
"Boleh" ucapnya.
Tak lupa aku pun membeli coklat dan es krim untuk anak itu.
"Nak siapa nama kamu" tanyaku karena dari tadi aku tak tau namanya.
"Nama aku Silvi kalau nama om siapa" tanyanya.
"Nama om Topan" ucapku
Akhirnya aku sampai di rumah sederhana dan minimalis itu.
"Jadi ini rumah kamu" tanyaku.
"Iya om" jawabnya.
Tanpa menunggu lagi Silvi masuk ke dalam rumah memanggil neneknya dengan sedikit berteriak.
"Ada apa nduk" tanya wanita paruh baya itu dengan tergesa gesa membukakan pintu.
"Ada om Topan nek" jawab Silvi sambil menunjukku.
"Maaf ada perlu apa " tanya wanita paruh baya itu.
"Saya hanya mengantar Silvi pulang buk" ucapku dengan sopan.
Nenek Silvi melihat kantong keresek yang tenteng oleh Silvi.
"Ini apa Sil" tanya ibu itu.
"Ini obat ibu nek, om Topan yang membelikannya" ucap Silvi dengan polos.
"Terima kasih nak" ucap ibu itu.
Aku di persilahkan masuk ke dalam rumah, aku duduk di kursi kayu yang sudah sedikit tua dengan warna yang sudah memudar.
Ibu itu mengambilkanku air minum.
"Diminum nak" ucapnya sambil menyodorkan segelas air putih.
"Terima kasih buk" ucapku.
Ibu itu masuk ke kamar menggandeng seorang wanita yang masih terlihat sangat muda dengan wajah pucat dan jalannya sempoyongan.
"Ini jeng yang udah membelikanmu obat dan mengantar Silvi pulang" ucap ibu itu pada wanita yang di sebut ibu oleh Silvi.
"Terima kasih pak anda baik sekali" ucapnya dengan lemas.
"Iya sama sama" jawabku sambil menganggukkan kepala.
"Sepertinya anda orang baru disini" tanya ibu Silvi.
"Iya saya baru ke sini, tujuan saya kesini saya ingin menyelesaikan pekerjaan saya" ucapku.
Mereka hanya mengangguk paham.
Aku melihat ke sekitar rumah hanya ada perabot yang terbuat dari kayu yang sudah tua.
Aku melihat satu poto yang di pajang di dinding.
Sepertinya aku tak merasa asing saat melihat lelaki di poto itu.
Foto siapa itu??
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments