Don'T Leave Me
Ranjang mungil itu, masih nyaman. Selimut masih tergelar rapi dipinggir ranjang. Bantal dan guling tak kalah kokoh tergeletak tak terjamah.
Ruangan yang biasa disebut kamar itu tampak sunyi.
Lampu tidur masih menyala walaupun mentari pagi sudah menyapa si empunya ruangan melewati celah tirai abu-abu di pojok ruangan. Di atas meja belajar, masih tersusun rapi buku-buku pelajaran anak SMA yang pasti tidak terjamah. Ruangannya gelap. Jendela terkunci rapat. Sedikit usang. Nampaknya jarang sekali terbuka.
Dinding kamar bercorak putih, tidak penuh pajangan foto atau hiasan lain tertempel disana. Hanya ada foto anak kecil yang dipangku seorang wanita muda. Keduanya sama-sama cantik, mungkin karena mereka ibu dan anak, sama-sama cantik dan berwajah mirip. Memiliki wajah lembut, ceria dan penuh asih. Di sebelahnya ada selembar kalender bertuliskan 3 September 2005 yang terdapat lingkaran merah mengelilinginya.
Lantai keramik putih itu, menjadi saksi tubuh kurus tinggi semampai yang terduduk di sebelah pintu menghadap jendela yang sinarnya temaram merasuk ke setiap celah ruangan. Disinilah si gadis menghabiskan waktu malam panjangnya. Tidak tidur santai di atas ranjang. Dia memilih tidur dengan posisi duduk seperti mencermati jendela dengan penuh pengharapan. Harapan yang entah dia sendiri tak begitu memahaminya.
Mata sayu dan bulu mata lentiknya masih tertutup rapat. Kulit wajah kuning langsat dengan hidung yang sedikit mancung mempertegas kecantikannya. Bibirnya masih ranum dengan pipi yang merona walaupun tidak memakai riasan. Sweater biru gelap membungkus tubuhnya. Celana legging gelap berpadu serasi dengan ruangan kamarnya. Telapak kakinya terbalut kaos kaki putih dan sandal rumah tipis berwarna abu-abu. Bibirnya sedikit merintih dengan tangan yang semakin dia kencangkan untuk mendekap tubuhnya sendiri. Entah apa yang dia rasakan.
Mungkin rasa nyeri, sakit, lelah, gelisah, kegundahan atau sebuah pilu yang ada dalam benaknya yang tidak bisa dia luapkan. Entahlah. Hanya si gadis yang tahu dan yang bisa menjawabnya.
"Tok Tok Tok"
Suara pintu ruangan itu mendadak bergetar. Suaranya terdengar berulang kali.
"Buka pintu, Nak... Sudah pagi. Ayo sarapan!"
Kata-kata itu juga terucap berulang kali.
Suara dari seorang wanita yang masih tampak muda berdiri di luar kamar, jelas sekali ingin melihat si gadis keluar dari tempat persembunyiannya.
Beberapa kali dia mengetuk pintu ruangan itu seperti berulang kali juga dia mengetuk pintu hati si gadis agar bisa menemuinya, tapi tak juga berujung balas yang membuatnya bahagia.
Gadis itu masih terpejam. Kelopak matanya tidak bisa berbohong, dia sudah bangun sedari tadi hanya saja matanya masih ingin terpejam dalam. Semakin dalam, seperti tak ingin bangun menyapa dunia yang begitu hangat hari ini. Bahkan untuk menyapa wanita yang sedari tadi sudah berusaha merayunya untuk segera bertemu.
"Ayo, Nak... Kita Sarapan!"
Masih saja menggemakan kata-kata yang sama.
Suaranya semakin lantang merasuk mencari celah ruangan si gadis. Tapi suaranya semakin berat, serak, parau dan ada sedikit rintihan pilu disana.
Memahami hati seorang remaja tidaklah mudah. Berkali-kali si wanita memohon agar dibukakan pintu, dan berkali-kali juga rasanya si wanita ingin mendobrak saja benda yang menghalangi keduanya, agar mereka dapat bertemu berbagi rasa diantara keduanya pastilah sangat menyenangkan.
"Nak..."
Kali ini jelas. Nadanya tercekat lirih. Memohon dengan penuh pengharapan agar sang pemilik kamar membuka pintu dan menyahut suaranya.
"Ayo keluar, ada yang ingin tante bicarakan sambil kita sarapan. Keluarlah, Nak..."
Nadanya sangat memelas.
Si Gadis mendesah panjang dan kuat. Dia memulai membuka mata indahnya yang sedari tadi dia sembunyikan. Sepertinya dia juga tak kuasa mendengar tantenya terus-terusan memohon kepadanya.
****
Pagi yang hangat menyapa mereka yang sudah duduk di meja makan yang sudah tersaji roti sandwich dengan isian potongan sosis, sayuran, saus dan mayonais. Sebelahnya sudah ada susu putih segar. Di depan sandwich sudah ada roti tawar yang akan dioles selai cokelat yang kokoh berdiri di samping secangkir teh panas. Belum ada percakapan berarti diantara keduanya. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ratih menatap gadis itu lekat, mengamatinya dengan seksama. Memperhatikan apakah dia baik-baik saja. Mengingat kejadian semalam yang begitu mengganggu pikirannya. Dia coba memulai obrolan dengan memilih kata-kata yang pas untuk susananya hari ini.
"Bagaimana tidurmu, Nak? Nyenyak?"
Kalimat itu terdengar basa-basi. Padahal bukan itu yang sebetulnya ingin Ratih Prameswari sampaikan kepada si gadis. Dia hanya berusaha menata kalimat agar tidak merusak suasana hatinya. Dia keluar dari ruangan saja sudah membuat Ratih lega. Bahagia bukan main rasanya.
Ratih berusaha menguasai dirinya sambil mengoles selai cokelat kesukaannya di atas roti tawar miliknya. Dia menyapa gadis yang baru saja keluar dari kamarnya. Dia sudah berganti baju dari sweater biru gelap ke blus panjang berwarna hitam yang dipadukan dengan rok lebar selutut berwana hitam berpola polkadot. Sebelum menjawab pertanyaan Ratih, gadis itu malah lebih memilih menyambar susu dan segenggam roti sandwich yang sudah tersaji untuknya. Belum ada sepatah katapun terucap darinya. Masih terlihat sayu. Walaupun terlihat segar karena sudah membersihkan diri, tapi matanya masih saja sendu.
"Tante punya berita bagus untukmu, Nak..."
Suara Ratih penuh semangat. Masih sambil mengamati si gadis yang masih sibuk mengunyah menu sarapannya. Tangan kirinya ditarik lembut oleh Ratih, tantenya. Diusapnya tangan mungil gadis itu penuh rasa. Ratih sepertinya sudah merencanakan ini sejak lama. Dia hanya berusaha mengungkapkannya di waktu yang tepat. Dan dia meyakini bahwa sekaranglah saatnya.
"Ayo kita pindah dari sini, Nak.. Tante sudah membeli sebuah rumah kecil di daerah pegunungan. Tempatnya agak jauh dari kota sayang, tapi cukup baik untuk kita memulai kehidupan baru disana. Kamu bisa pergi ke sekolah seperti teman-teman seusia mu disana. Tante akan bekerja membuka jasa jahit disana."
Ratih masih menatap lawan bicaranya dalam. Terlihat lawan bicaranya berhenti mengunyah. Tangan yang dia pegang sedikit meremas jemarinya. Ratih membalas dengan menangkap tangan kiri si gadis dengan kedua tangannya seperti memberi semangat. Berusaha meyakinkan si gadis agar mengiyakan usulnya.
"Tante, menghabiskan seluruh tabungan tante untuk membeli rumah disana?"
Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, bibir bawahnya dia gigit. Suaranya terasa sesak di hati Ratih. Tapi Ratih berusaha kuat.
"Tidak, sayang.... Tante masih punya tabungan. Cukup untuk membeli beberapa buku dan pakaian sekolahmu disana." Jawab Ratih penuh keyakinan.
Air mata gadis itu meleleh, tapi dengan sigap tangan Ratih langsung menepisnya.
"Stt... Jangan menangis cantikku.. Kita akan memulai hidup baru. Untuk apa bersedih. Ayo, saatnya kamu tersenyum dan hidup dengan bahagia. Ada tante mu disini!"
Ratih langsung berjalan menuju si gadis dan langsung mendekap hangat tubuh kurusnya penuh haru.
"Lexaaa...."
Gadis itu mulai terisak. sangat getir. Ratih tak kuasa mengalirkan air matanya lagi.
"Lexa..... Tante menyayangimu.."
Gadis hening itu, Lexa....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
pensi
Hai semangat ya.
novel ZANN mampir 🙏
2022-04-03
1