****
Ratih membawa oleh-oleh di tangannya, sebuah kotak kue aneka rasa. Dia baru saja tiba setelah 3 hari berkelana. Muka lelah masih terpampang jelas di raut wajahnya. Tapi tidak ada waktu untuk beristirahat, harinya akan sangat panjang. Banyak hal yang harus diselesaikan.
Ratih berjalan dari rumahnya menuju tetangga yang sangat dia hormati, karena sudah terlalu sering membantunya. Bahkan anaknya juga sangat peduli kepadanya. Mungkin sebuah bingkisan kecil akan meringankan bebannya, bingkisan sebagai tanda ucapan terimakasih. Walaupun akan jauh dari kata cukup.
'Tok...tok...tok..'
Ratih sudah memulai mengetuk pintu. Ingin segera memberikan barang yang ada di tangannya.
Tak lama pintu rumah Ratih terbuka. Ratih mengembangkan senyum. Tapi raut wajah Martha menunjukkan hal lain.
"Maaf, Bu Martha... Saya membawakan ini untuk Bu Martha dan Erick." Sambil menyodorkan bingkisan yang dia bungkus rapi dengan hiasan pita berwarna pink.
Martha masih saja menunjukkan raut wajah yang tak biasa. Ratih sedikit gugup.
"Ini hanya kue, Bu Martha. Saya membelinya di kota untuk Bu Martha dak Erick. Tolong terimalah. Maaf hanya ini yang bisa saya bawakan." Ucap Ratih merendah.
Lama Martha terdiam.
"Maaf, Bu Ratih. Saya tidak bisa menerimanya. Anda dan Lexa sudah membohongi saya dan anak saya. Saya sungguh tidak menyangka saya memiliki tetangga seperti Lexa." Raut wajah Martha benar-benar menunjukkan ekspresi marah bercampur kesal dan malu.
Ratih terperanga. Menatap Martha dengan penuh kesedihan.
"Mulai sekarang, saya mohon kepada anda dan keponakan anda untuk tidak mengganggu kami. Mohon diingat Bu Ratih." Tegas Martha yang langsung berpaling menutup pintu meninggalkan Ratih yang membeku disana.
Ratih berjalan gontai menuju ke sekolah Lexa. Bingkisan yang sedari tadi dia bawa, dia tinggal di teras depan rumahnya. Pikirannya kalut. Hatinya perih teriris mendengar perkataan Martha. Airmatanya tak berhenti bercucuran ke pipinya, walaupun sudah sering dia seka tapi air itu terus saja mengalir.
Ratih tertatih menuju sekolah Lexa, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia tak berhenti menangis ketika memikirkan nasib Lexa. Semakin dia memikirkan Lexa, semakin dia tak berhenti untuk menyalahkan dirinya sendiri.
****
Erick bergegas pulang, tak peduli kepada Ari yang meneriakinya dengan perasaan waswas. Dia berlari secepat yang dia bisa. Menuju rumahnya dan bertemu dengan Lexa yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya.
Erick berada tepat di depan rumah Lexa, mengatur napas setelah berlari secepat kilat. Tubuhnya tertunduk sambil memegang lutut. Napasnya masih dia usahakan agar kembali normal. Lantas dia bergegas pergi ke arah pintu dan dengan lantang memanggil nama Ratih dan Lexa bergantian.
"Erick..." Suara teriakan itu mengalihkan pandangan Erick.
Di sebelah ternyata sudah berdiri Martha. Memberi isyarat kepada Erick untuk lekas menemuinya.
Erick bimbang. Di satu sisi dia ingin tetap diam di tempat sampai pintu rumah Lexa terbuka, tapi di satu sisi Erick tidak bisa mengacuhkan Martha. Akhirnya dengan perasaan kesal Erick memilih Martha.
"Ada apa, Ma?" Tanya Erick penasaran.
"Ayo, ikut Mama masuk dulu." Pinta Martha.
Erick nurut dengan mengikuti langkah ibunya.
ckrkekek
Martha mengunci pintu rumahnya.
"Ma, kenapa dikunci?" Tanya Erick heran.
Martha melirik tajam anak laki-lakinya itu.
"Mama ga mau kamu deket-deket keluarga Ratih lagi! Udah cukup, Rick. Mama ga mau, terutama kamu. Kamu ga boleh deket-deket sama Lexa! Paham, Rick!" Perintah Martha.
Erick tercengang dengan kata-kata Martha.
"Kenapa tiba-tiba Mama ngomong kayak gitu? Kenapa, Ma?" Erick masih terheran-heran.
"Mama ga mau dibantah soal ini, Rick. Tolong!" kata-kata Erick menegaskan.
"Erick butuh alasan, Ma... Tolong!" Erick tak kalah tegas.
"Pokoknya, Mama ga mau kamu deket-deket sama mereka. Bawa penyakit aja!" Kesal Martha yang membawa kunci rumah dan meninggalkan Erick yang terlihat kesal.
Erick masih menggedor kamar Martha. Masih menginginkan penjelasan dari Ibu tersayangnya.
"Ma... Jangan perlakuin Erick kayak anak kecil, Ma! Erick udah besar, Ma! Mama harus ngomong apa alasannya kenapa Erick ga boleh nemuin tante Ratih dan Lexa... Ma...!" Teriak Erick.
Martha benar-benar tidak mempedulikan Erick, usaha Erick tidak akan membuahkan hasil. Erick putus asa, dia memilih ke kamarnya untuk menenangkan diri.
Dari kamar, Erick tetap berusaha menemukan Lexa di tempat yang bisa dia jangkau. Tapi sebesar apapun keinginan Erick untuk bertemu Lexa, takdir masih belum berpihak padanya.
****
Malam sunyi sedikit mencekam di rumah Erick. Hawa kebencian yang ditiup Martha membuat Erick tak bisa tidur. Makan malam terasa seperti perang dingin. Erick mengunci mulutnya untuk sekedar menyapa Mamanya, tak kalah dengan Martha yang juga melakukan hal yang sama. Benar-benar malam yang kelabu.
Di samping rumah Erick juga tak kalah kelabu, Lexa mengunci pintu kamarnya. Dia tak membuka sedikitpun pintu kamarnya walaupun Ratih menangis pilu disana. Lexa sekeras batu sekarang. Diam sendiri di sudut kamarnya. Kembali ke Lexa yang dulu, pilu, sunyi dan kelam.
"Lexa... Tante, mohon keluar Nak.. Makan dulu.." Pinta Ratih yang berurai airmata.
Tapi Lexa masih diam seribu bahasa. Tak beranjak dari sudut gelap kamarnya. Memandang keluar jendela yang dia tutup sekarang, merasakan angin di sela-sela lubang jendela yang seperti ingin menariknya untuk mendekatinya, membuka jendela selebar-lebarnya dan berteriak sekeras-kerasnya. Tapi tak bisa, dia hanya bisa mencengkeram karpet halus abu-abu yang didudukinya. Dan lagi, dia hanya bisa memejamkan matanya mencoba melarikan diri dari kenyataan pahit yang dia terima.
****
Sinar matahari sudah mulai muncul, melewati celah-celah terbuka di rumah Lexa. Ratih masih terpejam disana, di depan pintu kamar Lexa. Melewati malam dingin hanya beralas lantai. Matanya sangat sembab. Ratih pasti sudah menghabiskan banyak airmatanya. Bagaimana pun Sejak kemarin siang, Ratih tak bisa menemui Lexa. Lexa tak makan, Lexa tak minum obat, Lexa mengunci pintu, sungguh dia merasa kembali ke masa lalu yang berat. Setelah lelah berjuang, bersusah payah membangun kebahagian mereka yang hancur dan meninggalkan masa lalu yang kelam. Akhirnya mereka kembali lagi ke masa-masa itu.
Ratih mencoba untuk membangunkan Lexa. Masih berusaha mengetuk pintu kamar Lexa. Tapi tetap saja tak bisa. Lexa masih tetap dengan pilihannya, memalingkan diri dari dunia yang dia rasa menjauh darinya. Ratih mencoba untuk tegar. Melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk menjalani hari beratnya lagi.
****
Erick gelisah. Jendela kamar Lexa masih saja tertutup. Hampir dia begadang semalaman hanya karena menatap jendela kamar Lexa. Erick tak bisa hanya diam saja, dia memikirkan sesuatu.
Pandangan Martha menelisik ke setiap bagian tubuh Erick yang sudah tertutup seragam.
"Kamu beneran ke sekolah kan??!" Tanya Martha seperti telah membaca pikirannya.
Erick masih acuh. Dia meninggalkan Martha yang duduk menghadap sarapan yang dia siapkan.
"Makan dulu..." Perintah Martha.
Tapi Erick lebih memilih untuk segera berangkat ke sekolah.
Langkah Erick terhenti melihat rumah Lexa yang sepi. Dia kecewa. Mengambil langkah panjang untuk menyusuri jalan menuju sekolah tanpa Lexa lagi.
****
"Ri.. Kamu sudah beritahu Erick soal Lexa?" Ucap Irma berbisik kepada Ari di luar kelas.
"Belum, Bu... Saya belum bertemu Erick. Dia juga belum kelihatan di sekolah hari ini." Jawab Ari.
"Hhmmm, baiklah. Terimakasih. Ayo kita masuk kelas saja." Perintah Irma.
Di kelas sudah penuh siswa, hanya dua meja kursi yang kosong milik Lexa dan Erick. Erick belum datang ke sekolah.
Pohon besar nan rindang berdiri kokoh di pertigaan jalan menyabang antara blok rumah Erick, jalan menuju sekolah dan jalan menuju kota. Batang tubuh sang pohon sanggup menutupi tubuh Erick yang ramping tapi jangkung. Erick memilih bersembunyi disana, menanti Martha lewat untuk pergi bekerja. Karena Erick berencana membolos.
Tak lama, mobil yang dikendarai Martha lewat. Erick dengan cerdik bersembunyi dibalik pohon sampai Martha jelas tak nampak dari penglihatannya, lalu segera pergi dari tempat persembunyiannya. Erick jelas akan menuju rumah Lexa.
Ratih masih mengetuk pintu kamar Lexa, berharap Lexa keluar hanya untuk makan sarapan yang sudah disediakan olehnya. Tapi pintu hati Lexa masih tak mau terbuka, sehingga pintu kamar Lexa pun ikut tak terbuka.
Ratih menghela napas dalam. Menyatukan kepalanya di pintu kamar Lexa. Dan suara pintu dari luar menyadarkannya.
"Tante... Tante ada di dalam? Ini Erick tante, tolong buka pintunya." Pekik Erick di luar sana.
Ratih bimbang, ingin sekali dia membukakan pintu untuk Erick. Tapi sungguh dia juga tidak ingin Erick terluka karena sikap Lexa.
"Tante... Tolong buka pintunya, tan!" Mohon Erick.
Kreekkk...
Wajah Ratih muncul. Erick tersenyum lega.
"Tante..." Ucap Erick dengan nada lega.
Ratih hanya tersenyum kecil.
"Erick ga tau ada masalah apa antara tante Ratih dan Mama, tapi Erick ga peduli. Erick masih menganggap tante sebagai tetangga Erick dan tantenya Lexa. Lexa temen Erick, tan. Dan Erick udah janji sama tante bakal jagain Lexa. Dan Erick masih menepati janji itu." Tukas Erick dengan nada tegas.
Ratih hanya mencoba tersenyum simpul kepada Erick. Ratih tidak tahu apakah Erick akan berubah seperti Martha atau tidak.
"Lexa mana, tan? Lexa baik-baik aja kan?" Tanya Erick penasaran.
Belum sempat Ratih menjawab.
"Aku baik-baik aja, Rick." Jawab Lexa yang ikut muncul di belakang Ratih.
Ratih kaget, tapi ada rasa syukur yang tersirat karena dia sudah bertemu keponakannya.
****
Erick berdiri menatap Lexa yang sedang berayun kecil di ayunan belakang rumahnya. Erick terlihat puas menatap Lexa. Akhirnya wajah yang berhari-hari ini dia tunggu, jelas ada di hadapannya.
Lexa masih tertunduk, tak mampu menatap Erick yang sedang menatapnya. Pandangannya malah dialihkan ke hamparan rumput dan beberapa tanaman yang pernah dia tanam bersama Erick yang mulai tumbuh dengan baik.
"Kamu, baik-baik aja kan?!" Tanya Erick membuka pembicaraan.
Lexa mengangguk yakin.
Tapi Erick ragu dengan jawabannya.
"Kemana aja kamu? Kamu ga ngomong apa-apa sama aku, kalau kamu mau pergi." Ucap Erick yang mulai meluapkan emosinya.
"Kamu ketinggalan banyak pelajaran." kata-kata klise yang lebih terkesan basa-basi.
Lexa masih menundukkan wajahnya.
"Ayo ke sekolah?!" Ajak Erick.
Pernyataan Erick berhasil mendongakkan wajah Lexa. Tatapan mata Lexa sarat makna membuat Erick tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Ada warna merah terlihat di pipi Erick.
Lexa menggelengkan kepalanya yakin.
"Kenapa??" Tanya Erick yang sudah bisa menguasai dirinya.
Lexa membalasnya hanya dengan senyuman yang terasa asam.
"Apa karena Adhit??" Erick menyebut nama itu sedikit emosi.
Lexa melirik Erick dengan kening yang berkerut. Wajahnya sungguh manis dengan ekspresi seperti itu.
"Kamu ga usah khawatir, Adhit ga akan macem-macem lagi sama kamu." Balas Erick dengan ekspresi sedikit malu.
Lexa hanya bisa diam.
"Kamu bolos?" Tanya Lexa lirih, melihat Erick masih mengenakan seragam dan membawa tas di punggung. Kali ini Erick yang diam.
"Lebih baik kamu ga usah datang kesini lagi..."
Ucap Lexa sambil menggigit bibir bagian atas diiringi napas panjang.
"Kenapa??" Nada Erick kesal. Lexa kini bak menjelma menjadi Martha.
"Kenapa aku ga boleh kesini? Kamu pasti bisa beri aku jawaban." Tegas Erick.
Lexa hanya terdiam. Berusaha merangkai kata-kata sebagai alasan kepada Erick.
"Jawab, Lex!" Erick sedikit menekan.
Lexa hanya bisa menatap Erick dengan matanya yang sendu. Erick hampir saja luluh. Tak tega rasanya melihat Lexa seperi terpojok.
"Aku hanya ingin tahu, kenapa Mama dan kamu melarang aku datang kesini? Apa alasannya?" Tanya Erick dengan lembut.
"Turuti saja perintah Mamamu, Rick.."
Kata-kata Lexa membuat kecewa, tapi ada satu hal yang buat Erick lega yaitu Sapaan Lexa yang menyebut namanya. Ini kali pertama Lexa menyebut namanya, 'Rick'. Biasanya Lexa hanya mengganti panggilan namanya dengan kata 'kamu'.
"Aku ga mau!" Spontan Erick.
Lexa memandang wajah Erick lagi. Keduanya bertatapan. Erick tak lagi malu-malu. Dia seperti memiliki keberanian yang Lexa kirim lewat panggilan tadi. Tapi tatapan Erick malah membuat Lexa ciut hati.
"Akan lebih baik jika kita ga usah ketemu." Tegas Lexa yang langsung berdiri ingin meninggalkan Erick.
Erick dengan sigap menahan Lexa dengan memegang jemari lentik Lexa, membuat Lexa terhenti.
"Jangan pergi!" Pinta Erick.
Lexa membalikkan badan. Tubuhnya serasa ingin menatap Erick.
"Aku mohon, jangan pergi!" Ucap Erick lagi.
Lexa bergetar. Perasaannya tak karuan. Terlebih lagi Erick berjalan mendekatinya. Jantungnya berdebar hebat. Erick benar-benar dihadapannya sekarang. Tangannya membelai rambut Lexa, lembut dan hangat. Lexa berdiri seperti patung. Sentuhan lembut Erick benar-benar membuat Lexa tak berdaya. Erick menatap Lexa dalam-dalam, berusaha mencurahkan perasaannya.
Kini tangan mereka berdua berpegangan. Mereka bertukar rasa lewat mata. Erick masih mencoba lebih dekat dengan Lexa. Bau tubuh Lexa yang wangi langsung mengisi hidungnya. Begitupun Lexa. Tubuh tegap Erick dengan rambut kusut tapi wangi menutup bayangannya, sehingga Lexa seakan terkunci di dalamnya.
Wajah Erick perlahan mendekati Lexa membuat hembusan napas mereka tercampur. Erick menunduk mengarah bibir Lexa yang terlihat menelan ludah. Semakin menunduk. Semakin dekat. Dan...
"Aku AIDS, Rick..."
Bibir yang ingin di raih tiba-tiba mengucapkan sesuatu.
Erick terpaku sebentar. Mencoba mencermati apa yang baru saja dia dengar. Menegakkan kepalanya dan melihat ekspresi Lexa. Erick masih belum sadar tentang apa yang dia dengar tadi. Kata-kata Lexa terdengar ganjil. Sementara Lexa seperti sedang di ujung tebing, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk meloncat dan jatuh berkeping-keping di dasar jurang.
Erick sadar dengan apa yang Lexa ucapkan. Tubuhnya seperti terdorong mundur menjauh dari tubuh Lexa. Genggaman tangannya terlepas begitu saja. Lexa paham. Inilah saatnya untuk lompat ke jurang.
Lexa langsung pergi dari hadapan Erick yang terlihat syok dengan ucapan Lexa. Tubuhnya mendadak menjadi patung dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan.
Lexa lunglai. Terjatuh dengan merangkul sudut ranjang. Menenggelamkan wajahnya. Meremas kain yang menutupi kasurnya. Berteriak keras disana. Tangannya memukul-mukul ranjang yang tak berdosa. Menangis sejadi-jadinya, berusaha mengeluarkan penderitaan yang ada dalam hatinya. Tanpa suara. Karena wajahnya dia tenggelamkan dalam, jauh di ranjang yang menjadi peredam suaranya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
RahMana Lava
aduh ternyata lexa AIDS, kasihan banget. penasaran kelanjutanya sama erick
2022-05-30
1