Hari berganti...
Lexa sudah berada di sekolah berbincang dengan Ana, Ari dan Erick yang bergabung di dekat mejanya. Mereka tampak asyik bergurau, walaupun Lexa hanya sesekali menimpali candaan mereka lewat senyum simpul kecil yang menawan tapi mereka terlihat sangat menikmati kebersamaan di antara meraka.
Waktu pelajaran setelah jam istirahat belum dimulai kembali, karena Irma masih berada di ruang guru sedang mendengarkan Bu Lusi menyampaikan arahan kepada seluruh jajarannya. Sebentar lagi akan ada acara turnamen basket tingkat SMA yang kebetulan akan dilaksanakan di sekolah mereka. Jadi kali ini, para siswa sedang menikmati masa bebasnya.
Ana dan Erick tampak riang berbalas pengalaman seru yang mereka dapatkan ketika turnamen bola basket tahun lalu ketika mereka masih duduk di awal tingkat. Mereka menjadi supporter tim basket sekolahnya yang kebetulan bertempat di sekolah lain. Lexa tampak tenang mendengarkan cerita teman-temannya itu dan sesekali Ari ikut menyambung cerita yang kebetulan dia alami juga. Terlihat cukup seru, karena banyak gelak tawa yang tercipta dari obrolan mereka itu.
"Selamat siang anak-anak..."
Sapa Irma dengan muka ramahnya.
"Selamat siang, Bu Irma..."
Jawab para murid kompak.
"Maaf, rapat agak sedikit lama. Karena banyak hal yang harus kita siapkan untuk menghadapi turnamen basket tahun ini." Ucap Irma.
"Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa sekolah kita dipercaya menjadi tuan rumah di ajang kompetisi basket tingkat SMA di wilayah kita. Jadi, Ibu harap kita bisa bekerja sama untuk mensukseskan acara tersebut." Sambungnya.
"Daaann... Untuk acara besar tersebut, Ibu Kepala Sekolah memilih Ibu untuk menjadi Ketua Panitia. Karena Pak Bayu akan menjadi juri di ajang lomba tersebut." Jelas Irma, seraya gemuruh tepuk tangan dan sahutan bangga dari anak-anak kebanggaannya itu.
"Terimakasih anak-anak. Ibu agak sedikit khawatir, tapi Ibu minta kalian bisa bekerja sama dengan Ibu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ana, Ibu minta bantuan pengurus OSIS untuk acara ini ya?"
Pinta Irma kepada Ana yang ternyata adalah Ketua OSIS di sekolah tersebut.
"Siap, Bu Irma..." Jawab Ana dengan suara mantap.
****
Bel istirahat kedua telah berbunyi, Lexa dan Ana segera meluncur ke perpustakaan meninggalkan Erick dan Ari yang sedang dimintai tolong oleh Irma mengurus sesuatu di gudang perlengkapan. Mungkin untuk mencari beberapa bendera warna-warni atau semacamnya.
Lexa masih berkeliling mencari buku yang ingin dia baca. Matanya sangat berbinar, seperti dimanjakan oleh buku-buku yang membuatnya haus untuk membacanya. Sementara Ana sudah asyik duduk di kursi perpustakaan sedang membaca novel yang Lexa pilihkan untuknya.
Jemari Lexa masih mencoba memilah-milih judul buku bacaan yang berjejer rapi di rak perpustakaan yang tinggi itu. Dan akhirnya diputuskan untuk membaca sebuah novel bersampul biru yang bertuliskan "Merpati Biru", tetapi tangannya tersendat, seperti ada yang ingin mengambil buku itu dari arah yang berbeda. Lexa sedikit melepaskan tangan merelakan buku itu, walaupun wajahnya terlihat masam karena kecewa.
Dari balik rak buku tempat Lexa berdiri, sudah ada sosok laki-laki berparas tampan sudah menggenggam buku yang ingin Lexa baca. Tatapan si remaja laki-laki itu tajam menatap Lexa, tak lama langsung berpaling dari hadapan Lexa dan entah melenggang kemana. Lexa mengambil nafas kecil, mencoba untuk memilih kembali buku yang lainnya.
"Kamu yang namanya, Lexa?"
Suara lembut tapi agak sedikit tegas itu menyapa Lexa dari belakang.
Lexa terkejut dibuatnya. Dengan segera berpaling ke asal suara dan menemukan si remaja yang mengambil buku yang ingin dia baca tadi.
Perawakannya tinggi semampai, agak berisi di bagian lengan, dadanya bidang, dan bertubuh tegap atletis. Matanya tajam tapi sayu, penuh rayuan di setiap pancaran matanya. Rambutnya pendek rapi dengan gel yang membentuk rambutnya agak kaku. Matanya masih mengamati Lexa dengan jeli. Lexa sedikit risih dengan tatapannya.
"Koq ga dijawab? Kamu yang namanya Lexa kan?" Tanya si remaja itu kepada Lexa. Dan tentu saja Lexa hanya menjawab dengan anggukan seperti biasanya. Mata Lexa tak berani menatap si remaja itu.
"Kamu pengin baca buku ini?" Suaranya begitu halus menyapa Lexa yang kini melirik buku yang dia tunjukkan.
"Ambillah, kalo kamu pengin membacanya."
Kata sang remaja laki-laki sambil menyodorkan novel "Merpati Biru".
Lexa masih diam, terlihat ragu-ragu untuk mengambil buku itu dari tangan si remaja. Sampai akhirnya...
"Ini.. Jangan sungkan."
Si remaja meraih tangan Lexa dan menaruh novel tersebut di telapak tangannya. Lexa sedikit terperanjat. Matanya menatap kaget si remaja yang malah menunjukkan senyum manis dengan lesung pipi di hadapan Lexa yang membuatnya sedikit menelan ludah.
"Te..rimakasih." Jawab Lexa terbata-bata.
"Aku Adhit." Ucap si remaja yang mulai memperkenalkan diri. Tangannya tidak terulur kepada Lexa, tapi hanya mengembangkan senyum yang masih saja menunjukkan lesung pipinya yang membuat meleleh para gadis remaja.
Benar. Remaja berlesung pipi itu adalah Adhit. Si laki-laki favorit di sekolahnya yang jago main basket. Remaja lelaki yang selalu dibanding-bandingkan dengan Erick. Keduanya memang benar-benar bisa menyentuh hati para gadis remaja di sekolahnya. Bahkan keduanya juga cukup populer di sekolah lain karena gaya dan kelebihannya masing-masing.
Lexa berusaha membalas senyum Adhit dengan baik, dengan sedikit usaha yang tidak mudah mencoba mengembangkan senyum untuk Adhit. Sudah pasti senyum Lexa terlihat kaku dan tidak tulus.
"Hai, Dhit. Ayo, udah di tunggu Pak Bayu!" Kata salah seorang teman Adhit yang tak kalah atletis berbisik ditelinga Adhit.
"Boleh kita ngobrol lagi nanti?"
Tanya Adhit dengan muka menanti jawaban yang bagus dari mulut Lexa. Lexa hanya melirik dan mencoba mengangguk pelan pertanda mengiyakan.
Begitu dirasa mendapat jawaban yang diinginkan dari Lexa, Adhit segera berlalu meninggalkannya. Sementara Lexa segera mencari Ana untuk menemaninya membaca buku.
Di tempat Ana ternyata sudah ada Erick dan Ari yang sudah sejak tadi berada di ruang perpustakaan. Lexa agak sedikit gelisah, tapi dia mencoba untuk tetap bersikap biasa saja, mencoba melempar senyum kepada teman-temannya itu yang juga membalasnya dengan senyum yang sama seperti tidak terjadi apa-apa.
****
Bel pulang sudah berbunyi. Lexa dan Erick berjalan bersama. Tatapan teman-teman sekolahnya seperti tertuju pada mereka, membuat Lexa merasa takut. Tetapi tidak dengan Erick yang berjalan sepeti biasa, cuek, tidak mempedulikan sekitarnya. Lexa berusaha untuk menjaga jarak dengan Erick. Langkahnya sedikit menjauh, tak enak hati dengan tatapan yang tajam menghujani dirinya. Terutama tatapan teman-teman wanitanya.
Erick masih saja mengiringi langkah Lexa, dia malah sibuk bertegur sapa dengan teman-teman yang berusaha menyapanya. Lexa semakin tak karuan, segera dia percepat langkahnya agar sesegera mungkin keluar dari sekolah itu.
Langkahnya sudah mulai santai karena Lexa sudah berada di luar sekolah, kini sudah berjalan menyusuri jalanan dekat rumahnya yang asri. Sejuk rasanya jalanan itu, walaupun matahari sudah nampak terik tapi karena terhalang pepohonan yang masih menjulang tinggi dan rimbun, sinarnya tak membuat gerah siapapun yang melewatinya.
Di jalanan itu, Erick masih setia disampingnya dengan jarak yang masih sama jauhnya seperti saat di sekolah. Tapi wajah Lexa sudah tak terlihat takut dan kaku.
Masih belum terucap sepatah katapun dari keduanya. Mereka hanya berjalan dalam diam tanpa mengganggu, menikmati kedamaian jalanan yang lengang dan tenang itu.
Tak lama, Lexa berusaha melirik Erick yang berjalan tegap di sampingnya. Seperti ingin mengatakan atau menanyakan sesuatu, tapi masih ragu untuk mengungkapkannya. Sementara Erick masih sama, cuek, sesekali bersiul mendengungkan sebuah lagu yang familiar bagi Lexa.
"Mau dengerin lagu?" Kata Lexa dengan segera menghentikan langkahnya.
Erick sontak terkejut dan serta merta berhenti melangkah dan langsung menatap Lexa. Keduanya saling membalas mata. Kemudian Lexa langsung mengalihkan pandangannya mencari MP3 player kesayangannya di dalam saku samping tasnya kemudian menyiapkan earphone yang akan dia gunakan untuk mendengarkan musik.
Setelah semua siap, Lexa mengulurkan satu buah earphone kepada Erick yang sedikit ragu menerimanya. Tapi Lexa menunjukkan isyarat agar Erick segera menerimanya, karena pasangan earphone yang sebelah sudah melekat nyaman di telinga Lexa sebelah kiri. Akhirnya Erick meraih earphone Lexa untuk segera dia pasang di telinganya. Rasanya sangat berbeda ketika dia mendengarkan lagu dari MP3 Player Lexa hari kemarin, saat itu dia merebutnya dengan paksa. Tapi kini dengan suka rela, Lexa berbagi musik dengannya. Hal yang ajaib pikir Erick. Atau, bisa saja kini Lexa sudah bisa menerima dirinya. Dan akhirnya hanya senyum tersipu dari wajah Erick memikirkan hal-hal ajaib dari diri Lexa.
Lagu sudah mulai Lexa putar. Terdengar suara Chris Martin mengalun indah di telinga mereka. Erick sangat familiar dengan lagunya. Dia mendengarkan dengan hangat lagu tersebut seirama dengan suasana yang Lexa bangun siang itu kepadanya.
Karena jarak earphone yang terbatas, membuat Erick dan Lexa sedikit mendekatkan diri mereka menyisakan beberapa senti saja. Melanjutkan sisa-sisa perjalanan pulang menuju rumah mereka.
~~~ It's such a shame for us to part...
~~~ Nobody said it was easy...
~~~ No one ever said it will be so hard...
~~~ Oh take me back to the start...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments