Ratih masih sibuk menata baju dan perkakas lain yang dia butuhkan untuk bersiap pindah ke daerah pedesaan dekat dengan pegunungan, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota yang semakin memojokkan diri dan keponakannya.
Ratih dan Lexa memang tinggal di kota besar. Dekat dengan ibu kota. Tinggal di rumah bergaya minimalis modern dengan cat bertema monokrom sangat sederhana dengan dua lantai. Di teras ada meja dan kursi rotan yang dikelilingi tanaman hias. Bunga berwarna-warni pun terlihat di halaman depan rumah itu yang beralas rerumputan hijau. Walaupun berada di tengah kota, tapi rumahnya tampak memberi kesejukan sejauh mata memandang. Tapi tidak dengan suasana pemilik rumah yang terasa gundah gulana. Seperti menyimpan banyak rahasia dan luka yang tidak ingin dibagi dengan siapapun.
Lexa masih berada di kamar. Tampaknya dia sudah berkemas. Koper sudah siap di samping ranjang putihnya. Ada juga beberapa tas tentengan kecil yang sudah diisi perlengkapan pemiliknya di atas ranjang. Meja belajar sudah rapi tak tersisa tetapi Lexa masih saja termenung di kursi dekat meja belajarnya. Menatap nanar jauh menembus kaca jendela kamarnya yang tertutup. Tirai jendela masih saja menutupi kaca-kaca yang beradu dengan sinar mentari pagi itu. Lexa memang selalu membiarkan ruangan kamarnya tertutup. Dia tak mengizinkan siapapun masuk ke ruangan yang dia sebut kamar itu, bahkan untuk Ratih sekalipun. Sinar matahari pun jadi saksi, betapa tertutupnya kamar Lexa bak belenggu.
"Tok tok tok"
Ratih mengetuk lembut pintu kamar Lexa, menyuruhnya untuk segera keluar karena kendaraan sudah menunggunya di luar.
Lexa masih saja enggan beranjak dari tempatnya. Tatapannya masih sama sendu. Tangannya terlihat mencengkram kuat kain hitam yang menutupi kaki jenjangnya. Bibirnya sedikit mengeram. Entah apa yang dia pikirkan sampai-sampai nafasnya pun tidak beraturan. Ada rasa kesal, marah yang bercampur sedih berkecamuk dalam hatinya. Sementara Ratih masih berusaha mengajak ponakannya keluar untuk segera pindah dari rumah itu. Saking tak sabarnya Ratih, atau lebih tepatnya kekhawatiran Ratih yang mulai membuncah. Dia tanpa ragu menggerakkan gagang pintu kamar Lexa agar bisa terbuka lebar. Lexa tidak mengunci pintu kamarnya kali ini sehingga Ratih dengan leluasa masuk ke kamar Lexa. Ruangannya memang selalu rapi, tapi auranya kian memudar. Tidak seceria dulu. Kamar Lexa lembab, gelap, lesu, tak ada gairah. Ratih mengambil nafas dalam sambil berjalan menuju tempat Lexa berada. Dielusnya pundak Lexa yang terlihat gontai, tampak ada remasan dari jemari Ratih di pundak Lexa. Lexa sedikit tersentak, karena sedari tadi dia tidak sadar jika Ratih sudah masuk ruangannya dan sekarang tepat di belakangnya.
"Ayo, Nak..! Mobil sudah menunggu di luar. Kita harus cepat berangkat agar tidak terlalu malam sampai disana."
Pinta Ratih penuh harap.
Lama mereka dalam diam hingga akhirnya Lexa memulai pembicaraan.
"Untuk apa kita kesana tante?
Apa yang istimewa disana? Apa yang akan berubah jika kita tinggal disana?
Apa yang akan kita lakukan disana?"
Pertanyaannya ketus bak pisau tajam.
Pertanyaan yang berbondong-bondong itu meluncur dari mulut Lexa dengan suara parau. Ratih belum sempat membalas rentetan pertanyaan Lexa, tapi dia terus saja menekannya dengan perkataan-perkataan lain yang tidak kalah membuatnya sesak.
"Apa yang akan kita cari disana, tan?
Kebahagiaan macam apa yang akan terjadi disana, tan? Apa ada harapan disana untuk hidup Lexa?"
Lexa sudah mulai terisak. Tangisnya hampir pecah. Ratih tak kuasa menjawabnya, dia hanya bisa merengkuh tubuh lusuh Lexa dari belakang mendekapnya erat ke dalam pelukannya. Sambil terus mengecup rambut keponakannya yang hitam berkilau menjuntai sampai punggungnya.
"Untuk apa kita pindah kesana tan?
Sudah tidak ada tempat untuk Lexa lagi di dunia ini. Mau kemanapun Lexa pergi, rasa sakit ini masih akan terus ada. Menempel. Ga bisa lepas. Ga bisa hilang." Perkataannya penuh penekanan.
Lexa memukul-mukul kepalanya. Sepertinya otaknya sudah sangat berpikir keras dan ingin ia paksa berhenti agar semuanya baik-baik saja. Tapi tidak. Tangis Lexa benar- benar menggema di ruangan itu.
Ratih berusaha untuk menghentikan tangan Lexa yang semakin kencang memukul kepalanya. Sampai akhirnya tangan Lexa terkulai lemas tak berdaya. Tangis keduanya melebur menjadi satu. Ratih dan Lexa benar-benar hancur. Tapi pelukan mereka semakin erat. Lexa tetap ingin meronta melepaskan Ratih dalam pelukannya.
"Lepas tante, lepas!!"
Teriak Lexa dengan tatapan tajam pada Ratih.
Ratih menggeleng cepat. Pertanda dia tidak ingin melepaskan Lexa.
"Lepas, Tante!!!!"
Suaranya meninggi diiringi tangisan yang tak kunjung mereda. Tapi Ratih masih bergeming. Semakin Lexa menangis kencang, tangan Ratih semakin kuat memeluk Lexa.
*****
Ratih dan Lexa sudah berada di sebuah mobil van berwarna hitam. Mobil yang disewa Ratih untuk mengantarnya ke tempat tujuan mereka. Terlihat sang supir masih sibuk menata barang bawaan keduanya. Sementara Lexa sudah duduk di kursi penumpang. Matanya sembab. Hidungnya kemerahan. Kepalanya tersandar lemas di sandaran mobil. Tenaganya seperti terkuras habis saat berada di dalam kamarnya tadi.
Ratih duduk di samping kursi supir, mengamati Lexa dalam-dalam. Berusaha menghibur diri sendiri untuk tetap tersenyum melihat keponakan yang dia sayangi itu. Raut wajah wanita itu terlihat lelah. Sepertinya adegan di kamar Lexa juga memompa habis tenaganya. Mata Ratih tak kalah sembab. Sesekali terlihat masih menyapu lelehan air mata yang masih tersisa di sudut-sudut matanya.
"Kita berangkat sekarang, Bu?"
Tanya si sopir yang sudah masuk ke mobil dan meminta izin kepada Ratih untuk mengemudi.
Anggukan Ratih dimaknai bahwa sang pemudi dipersilahkan untuk membawa Ratih dan Lexa ke tempat tujuan mereka.
****
Tak ada obrolan berarti dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu. Hanya sesekali Ratih mencoba melonggarkan suasana dengan mengajak sang sopir berbincang. Mata Ratih selalu melirik Lexa yang duduk santai di belakang. Matanya terpejam, mungkin karena air mata yang mengurasnya membuat Lexa lelah dan tanpa sadar dia sudah terlelap dalam tidur nyamannya di dalam mobil. Ratih tersenyum kecil melihat Lexa tidur dengan manisnya. Ada rasa haru juga terlihat di sorot mata Ratih.
****
Perjalanan cukup panjang, mereka memutuskan untuk tidak berhenti beristirahat. Hanya beberapa kali sang sopir saja yang mencari beberapa rest area untuk sekedar membeli kopi atau ke kamar kecil. Sementara Lexa hanya tetap memasang mode terlelap tidur. Dia hanya tidak ingin berbaur dengan yang lain. Dia terlalu lelah, terlalu takut, terlalu berat, dan banyak alasan terlalu lainnya yang menggeliat di pikirannya. Ratih paham betul dengan tindakan Lexa ini. Jadi Ratih juga memilih untuk tetap bersama dengan keponakannya itu di dalam mobil.
****
Sudah hampir sampai mobil itu ke tempat tujuan, Ratih menuntun sang sopir untuk memberi petunjuk jalan ke daerah dimana letak rumah yang Ratih maksud. Tangannya menunjuk sebuah belokan yang mengarah pada jalan yang memiliki gapura kokoh bertuliskan 'Perumahan Asri Blok F'. Ratih masih menuntun sang sopir untuk berhenti tepat di depan rumah barunya. Tepat di sebuah rumah yang tidak terlalu besar dengan rupa bangunan khas zaman kolonial dengan tembok putih dan memiliki jendela dengan ukuran besar serta dikelilingi beberapa tanaman hias yang menggantung cantik di rumah yang terlihat elegan itu.
"Ya, Pak. Berhenti disini."
Kata Ratih diikuti kaki sang sopir yang terlihat menginjak tuas rem.
Tanpa sadar Lexa mulai membuka matanya. Pandangannya masih tertuju pada rumah bergaya arsitektur Belanda itu dengan raut wajah yang menenangkan. Lexa sepertinya menyukai tempat baru ini. Ratih menangkap sirat kepuasan dalam raut wajah Lexa yang sedikit membuatnya merasa lega.
Hawa sejuk khas pegunungan mulai menyentuh tubuh Lexa. Gayanya begitu sederhana, dari bagian rambut yang hanya dia kuncir ke atas. Sweater panjang berwarna putih bersih menyatu dengan rok selutut yang berwarna hitam membalut tubuh semampai miliknya. Lexa mulai turun perlahan menuju rumah yang menarik perhatiannya itu. Lexa masih mengamati sekeliling, memutar ke segala arah berusaha menyatu dengan alam disini. Tak sengaja senyum kecil mengembang dari bibir mungilnya yang semakin membuatnya terlihat sungguh cantik.
Ratih dibantu sang sopir menurunkan barang bawaannya dari bagasi mobil dan memindahkannya ke teras. Setelah semua barang turun, Ratih menyerahkan sebuah amplop yang isinya pasti uang bayaran untuk sang sopir dilanjut ucapan terimakasih dan pamit undur dari kediaman Ratih. Sementara Lexa sudah menunggu di dekat pintu seperti memberi sinyal kepada Ratih untuk segera membuka pintu rumah barunya itu. Senyum tipis Lexa sedikit terlihat disana. Dan Ratih membalas dengan senyum yang tak kalah mengembang.
Inilah awal baru yang Ratih janjikan kepada Lexa.
Kebahagiaan yang akan mereka cari disana. Begitu juga dengan harapan. Harapan yang membuat mereka saling menguatkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
pensi
semangat lexa
2022-04-14
1