Ranjang mungil itu, masih nyaman. Selimut masih tergelar rapi dipinggir ranjang. Bantal dan guling tak kalah kokoh tergeletak tak terjamah.
Ruangan yang biasa disebut kamar itu tampak sunyi.
Lampu tidur masih menyala walaupun mentari pagi sudah menyapa si empunya ruangan melewati celah tirai abu-abu di pojok ruangan. Di atas meja belajar, masih tersusun rapi buku-buku pelajaran anak SMA yang pasti tidak terjamah. Ruangannya gelap. Jendela terkunci rapat. Sedikit usang. Nampaknya jarang sekali terbuka.
Dinding kamar bercorak putih, tidak penuh pajangan foto atau hiasan lain tertempel disana. Hanya ada foto anak kecil yang dipangku seorang wanita muda. Keduanya sama-sama cantik, mungkin karena mereka ibu dan anak, sama-sama cantik dan berwajah mirip. Memiliki wajah lembut, ceria dan penuh asih. Di sebelahnya ada selembar kalender bertuliskan 3 September 2005 yang terdapat lingkaran merah mengelilinginya.
Lantai keramik putih itu, menjadi saksi tubuh kurus tinggi semampai yang terduduk di sebelah pintu menghadap jendela yang sinarnya temaram merasuk ke setiap celah ruangan. Disinilah si gadis menghabiskan waktu malam panjangnya. Tidak tidur santai di atas ranjang. Dia memilih tidur dengan posisi duduk seperti mencermati jendela dengan penuh pengharapan. Harapan yang entah dia sendiri tak begitu memahaminya.
Mata sayu dan bulu mata lentiknya masih tertutup rapat. Kulit wajah kuning langsat dengan hidung yang sedikit mancung mempertegas kecantikannya. Bibirnya masih ranum dengan pipi yang merona walaupun tidak memakai riasan. Sweater biru gelap membungkus tubuhnya. Celana legging gelap berpadu serasi dengan ruangan kamarnya. Telapak kakinya terbalut kaos kaki putih dan sandal rumah tipis berwarna abu-abu. Bibirnya sedikit merintih dengan tangan yang semakin dia kencangkan untuk mendekap tubuhnya sendiri. Entah apa yang dia rasakan.
Mungkin rasa nyeri, sakit, lelah, gelisah, kegundahan atau sebuah pilu yang ada dalam benaknya yang tidak bisa dia luapkan. Entahlah. Hanya si gadis yang tahu dan yang bisa menjawabnya.
"Tok Tok Tok"
Suara pintu ruangan itu mendadak bergetar. Suaranya terdengar berulang kali.
"Buka pintu, Nak... Sudah pagi. Ayo sarapan!"
Kata-kata itu juga terucap berulang kali.
Suara dari seorang wanita yang masih tampak muda berdiri di luar kamar, jelas sekali ingin melihat si gadis keluar dari tempat persembunyiannya.
Beberapa kali dia mengetuk pintu ruangan itu seperti berulang kali juga dia mengetuk pintu hati si gadis agar bisa menemuinya, tapi tak juga berujung balas yang membuatnya bahagia.
Gadis itu masih terpejam. Kelopak matanya tidak bisa berbohong, dia sudah bangun sedari tadi hanya saja matanya masih ingin terpejam dalam. Semakin dalam, seperti tak ingin bangun menyapa dunia yang begitu hangat hari ini. Bahkan untuk menyapa wanita yang sedari tadi sudah berusaha merayunya untuk segera bertemu.
"Ayo, Nak... Kita Sarapan!"
Masih saja menggemakan kata-kata yang sama.
Suaranya semakin lantang merasuk mencari celah ruangan si gadis. Tapi suaranya semakin berat, serak, parau dan ada sedikit rintihan pilu disana.
Memahami hati seorang remaja tidaklah mudah. Berkali-kali si wanita memohon agar dibukakan pintu, dan berkali-kali juga rasanya si wanita ingin mendobrak saja benda yang menghalangi keduanya, agar mereka dapat bertemu berbagi rasa diantara keduanya pastilah sangat menyenangkan.
"Nak..."
Kali ini jelas. Nadanya tercekat lirih. Memohon dengan penuh pengharapan agar sang pemilik kamar membuka pintu dan menyahut suaranya.
"Ayo keluar, ada yang ingin tante bicarakan sambil kita sarapan. Keluarlah, Nak..."
Nadanya sangat memelas.
Si Gadis mendesah panjang dan kuat. Dia memulai membuka mata indahnya yang sedari tadi dia sembunyikan. Sepertinya dia juga tak kuasa mendengar tantenya terus-terusan memohon kepadanya.
****
Pagi yang hangat menyapa mereka yang sudah duduk di meja makan yang sudah tersaji roti sandwich dengan isian potongan sosis, sayuran, saus dan mayonais. Sebelahnya sudah ada susu putih segar. Di depan sandwich sudah ada roti tawar yang akan dioles selai cokelat yang kokoh berdiri di samping secangkir teh panas. Belum ada percakapan berarti diantara keduanya. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ratih menatap gadis itu lekat, mengamatinya dengan seksama. Memperhatikan apakah dia baik-baik saja. Mengingat kejadian semalam yang begitu mengganggu pikirannya. Dia coba memulai obrolan dengan memilih kata-kata yang pas untuk susananya hari ini.
"Bagaimana tidurmu, Nak? Nyenyak?"
Kalimat itu terdengar basa-basi. Padahal bukan itu yang sebetulnya ingin Ratih Prameswari sampaikan kepada si gadis. Dia hanya berusaha menata kalimat agar tidak merusak suasana hatinya. Dia keluar dari ruangan saja sudah membuat Ratih lega. Bahagia bukan main rasanya.
Ratih berusaha menguasai dirinya sambil mengoles selai cokelat kesukaannya di atas roti tawar miliknya. Dia menyapa gadis yang baru saja keluar dari kamarnya. Dia sudah berganti baju dari sweater biru gelap ke blus panjang berwarna hitam yang dipadukan dengan rok lebar selutut berwana hitam berpola polkadot. Sebelum menjawab pertanyaan Ratih, gadis itu malah lebih memilih menyambar susu dan segenggam roti sandwich yang sudah tersaji untuknya. Belum ada sepatah katapun terucap darinya. Masih terlihat sayu. Walaupun terlihat segar karena sudah membersihkan diri, tapi matanya masih saja sendu.
"Tante punya berita bagus untukmu, Nak..."
Suara Ratih penuh semangat. Masih sambil mengamati si gadis yang masih sibuk mengunyah menu sarapannya. Tangan kirinya ditarik lembut oleh Ratih, tantenya. Diusapnya tangan mungil gadis itu penuh rasa. Ratih sepertinya sudah merencanakan ini sejak lama. Dia hanya berusaha mengungkapkannya di waktu yang tepat. Dan dia meyakini bahwa sekaranglah saatnya.
"Ayo kita pindah dari sini, Nak.. Tante sudah membeli sebuah rumah kecil di daerah pegunungan. Tempatnya agak jauh dari kota sayang, tapi cukup baik untuk kita memulai kehidupan baru disana. Kamu bisa pergi ke sekolah seperti teman-teman seusia mu disana. Tante akan bekerja membuka jasa jahit disana."
Ratih masih menatap lawan bicaranya dalam. Terlihat lawan bicaranya berhenti mengunyah. Tangan yang dia pegang sedikit meremas jemarinya. Ratih membalas dengan menangkap tangan kiri si gadis dengan kedua tangannya seperti memberi semangat. Berusaha meyakinkan si gadis agar mengiyakan usulnya.
"Tante, menghabiskan seluruh tabungan tante untuk membeli rumah disana?"
Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, bibir bawahnya dia gigit. Suaranya terasa sesak di hati Ratih. Tapi Ratih berusaha kuat.
"Tidak, sayang.... Tante masih punya tabungan. Cukup untuk membeli beberapa buku dan pakaian sekolahmu disana." Jawab Ratih penuh keyakinan.
Air mata gadis itu meleleh, tapi dengan sigap tangan Ratih langsung menepisnya.
"Stt... Jangan menangis cantikku.. Kita akan memulai hidup baru. Untuk apa bersedih. Ayo, saatnya kamu tersenyum dan hidup dengan bahagia. Ada tante mu disini!"
Ratih langsung berjalan menuju si gadis dan langsung mendekap hangat tubuh kurusnya penuh haru.
"Lexaaa...."
Gadis itu mulai terisak. sangat getir. Ratih tak kuasa mengalirkan air matanya lagi.
"Lexa..... Tante menyayangimu.."
Gadis hening itu, Lexa....
Ratih masih sibuk menata baju dan perkakas lain yang dia butuhkan untuk bersiap pindah ke daerah pedesaan dekat dengan pegunungan, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota yang semakin memojokkan diri dan keponakannya.
Ratih dan Lexa memang tinggal di kota besar. Dekat dengan ibu kota. Tinggal di rumah bergaya minimalis modern dengan cat bertema monokrom sangat sederhana dengan dua lantai. Di teras ada meja dan kursi rotan yang dikelilingi tanaman hias. Bunga berwarna-warni pun terlihat di halaman depan rumah itu yang beralas rerumputan hijau. Walaupun berada di tengah kota, tapi rumahnya tampak memberi kesejukan sejauh mata memandang. Tapi tidak dengan suasana pemilik rumah yang terasa gundah gulana. Seperti menyimpan banyak rahasia dan luka yang tidak ingin dibagi dengan siapapun.
Lexa masih berada di kamar. Tampaknya dia sudah berkemas. Koper sudah siap di samping ranjang putihnya. Ada juga beberapa tas tentengan kecil yang sudah diisi perlengkapan pemiliknya di atas ranjang. Meja belajar sudah rapi tak tersisa tetapi Lexa masih saja termenung di kursi dekat meja belajarnya. Menatap nanar jauh menembus kaca jendela kamarnya yang tertutup. Tirai jendela masih saja menutupi kaca-kaca yang beradu dengan sinar mentari pagi itu. Lexa memang selalu membiarkan ruangan kamarnya tertutup. Dia tak mengizinkan siapapun masuk ke ruangan yang dia sebut kamar itu, bahkan untuk Ratih sekalipun. Sinar matahari pun jadi saksi, betapa tertutupnya kamar Lexa bak belenggu.
"Tok tok tok"
Ratih mengetuk lembut pintu kamar Lexa, menyuruhnya untuk segera keluar karena kendaraan sudah menunggunya di luar.
Lexa masih saja enggan beranjak dari tempatnya. Tatapannya masih sama sendu. Tangannya terlihat mencengkram kuat kain hitam yang menutupi kaki jenjangnya. Bibirnya sedikit mengeram. Entah apa yang dia pikirkan sampai-sampai nafasnya pun tidak beraturan. Ada rasa kesal, marah yang bercampur sedih berkecamuk dalam hatinya. Sementara Ratih masih berusaha mengajak ponakannya keluar untuk segera pindah dari rumah itu. Saking tak sabarnya Ratih, atau lebih tepatnya kekhawatiran Ratih yang mulai membuncah. Dia tanpa ragu menggerakkan gagang pintu kamar Lexa agar bisa terbuka lebar. Lexa tidak mengunci pintu kamarnya kali ini sehingga Ratih dengan leluasa masuk ke kamar Lexa. Ruangannya memang selalu rapi, tapi auranya kian memudar. Tidak seceria dulu. Kamar Lexa lembab, gelap, lesu, tak ada gairah. Ratih mengambil nafas dalam sambil berjalan menuju tempat Lexa berada. Dielusnya pundak Lexa yang terlihat gontai, tampak ada remasan dari jemari Ratih di pundak Lexa. Lexa sedikit tersentak, karena sedari tadi dia tidak sadar jika Ratih sudah masuk ruangannya dan sekarang tepat di belakangnya.
"Ayo, Nak..! Mobil sudah menunggu di luar. Kita harus cepat berangkat agar tidak terlalu malam sampai disana."
Pinta Ratih penuh harap.
Lama mereka dalam diam hingga akhirnya Lexa memulai pembicaraan.
"Untuk apa kita kesana tante?
Apa yang istimewa disana? Apa yang akan berubah jika kita tinggal disana?
Apa yang akan kita lakukan disana?"
Pertanyaannya ketus bak pisau tajam.
Pertanyaan yang berbondong-bondong itu meluncur dari mulut Lexa dengan suara parau. Ratih belum sempat membalas rentetan pertanyaan Lexa, tapi dia terus saja menekannya dengan perkataan-perkataan lain yang tidak kalah membuatnya sesak.
"Apa yang akan kita cari disana, tan?
Kebahagiaan macam apa yang akan terjadi disana, tan? Apa ada harapan disana untuk hidup Lexa?"
Lexa sudah mulai terisak. Tangisnya hampir pecah. Ratih tak kuasa menjawabnya, dia hanya bisa merengkuh tubuh lusuh Lexa dari belakang mendekapnya erat ke dalam pelukannya. Sambil terus mengecup rambut keponakannya yang hitam berkilau menjuntai sampai punggungnya.
"Untuk apa kita pindah kesana tan?
Sudah tidak ada tempat untuk Lexa lagi di dunia ini. Mau kemanapun Lexa pergi, rasa sakit ini masih akan terus ada. Menempel. Ga bisa lepas. Ga bisa hilang." Perkataannya penuh penekanan.
Lexa memukul-mukul kepalanya. Sepertinya otaknya sudah sangat berpikir keras dan ingin ia paksa berhenti agar semuanya baik-baik saja. Tapi tidak. Tangis Lexa benar- benar menggema di ruangan itu.
Ratih berusaha untuk menghentikan tangan Lexa yang semakin kencang memukul kepalanya. Sampai akhirnya tangan Lexa terkulai lemas tak berdaya. Tangis keduanya melebur menjadi satu. Ratih dan Lexa benar-benar hancur. Tapi pelukan mereka semakin erat. Lexa tetap ingin meronta melepaskan Ratih dalam pelukannya.
"Lepas tante, lepas!!"
Teriak Lexa dengan tatapan tajam pada Ratih.
Ratih menggeleng cepat. Pertanda dia tidak ingin melepaskan Lexa.
"Lepas, Tante!!!!"
Suaranya meninggi diiringi tangisan yang tak kunjung mereda. Tapi Ratih masih bergeming. Semakin Lexa menangis kencang, tangan Ratih semakin kuat memeluk Lexa.
*****
Ratih dan Lexa sudah berada di sebuah mobil van berwarna hitam. Mobil yang disewa Ratih untuk mengantarnya ke tempat tujuan mereka. Terlihat sang supir masih sibuk menata barang bawaan keduanya. Sementara Lexa sudah duduk di kursi penumpang. Matanya sembab. Hidungnya kemerahan. Kepalanya tersandar lemas di sandaran mobil. Tenaganya seperti terkuras habis saat berada di dalam kamarnya tadi.
Ratih duduk di samping kursi supir, mengamati Lexa dalam-dalam. Berusaha menghibur diri sendiri untuk tetap tersenyum melihat keponakan yang dia sayangi itu. Raut wajah wanita itu terlihat lelah. Sepertinya adegan di kamar Lexa juga memompa habis tenaganya. Mata Ratih tak kalah sembab. Sesekali terlihat masih menyapu lelehan air mata yang masih tersisa di sudut-sudut matanya.
"Kita berangkat sekarang, Bu?"
Tanya si sopir yang sudah masuk ke mobil dan meminta izin kepada Ratih untuk mengemudi.
Anggukan Ratih dimaknai bahwa sang pemudi dipersilahkan untuk membawa Ratih dan Lexa ke tempat tujuan mereka.
****
Tak ada obrolan berarti dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu. Hanya sesekali Ratih mencoba melonggarkan suasana dengan mengajak sang sopir berbincang. Mata Ratih selalu melirik Lexa yang duduk santai di belakang. Matanya terpejam, mungkin karena air mata yang mengurasnya membuat Lexa lelah dan tanpa sadar dia sudah terlelap dalam tidur nyamannya di dalam mobil. Ratih tersenyum kecil melihat Lexa tidur dengan manisnya. Ada rasa haru juga terlihat di sorot mata Ratih.
****
Perjalanan cukup panjang, mereka memutuskan untuk tidak berhenti beristirahat. Hanya beberapa kali sang sopir saja yang mencari beberapa rest area untuk sekedar membeli kopi atau ke kamar kecil. Sementara Lexa hanya tetap memasang mode terlelap tidur. Dia hanya tidak ingin berbaur dengan yang lain. Dia terlalu lelah, terlalu takut, terlalu berat, dan banyak alasan terlalu lainnya yang menggeliat di pikirannya. Ratih paham betul dengan tindakan Lexa ini. Jadi Ratih juga memilih untuk tetap bersama dengan keponakannya itu di dalam mobil.
****
Sudah hampir sampai mobil itu ke tempat tujuan, Ratih menuntun sang sopir untuk memberi petunjuk jalan ke daerah dimana letak rumah yang Ratih maksud. Tangannya menunjuk sebuah belokan yang mengarah pada jalan yang memiliki gapura kokoh bertuliskan 'Perumahan Asri Blok F'. Ratih masih menuntun sang sopir untuk berhenti tepat di depan rumah barunya. Tepat di sebuah rumah yang tidak terlalu besar dengan rupa bangunan khas zaman kolonial dengan tembok putih dan memiliki jendela dengan ukuran besar serta dikelilingi beberapa tanaman hias yang menggantung cantik di rumah yang terlihat elegan itu.
"Ya, Pak. Berhenti disini."
Kata Ratih diikuti kaki sang sopir yang terlihat menginjak tuas rem.
Tanpa sadar Lexa mulai membuka matanya. Pandangannya masih tertuju pada rumah bergaya arsitektur Belanda itu dengan raut wajah yang menenangkan. Lexa sepertinya menyukai tempat baru ini. Ratih menangkap sirat kepuasan dalam raut wajah Lexa yang sedikit membuatnya merasa lega.
Hawa sejuk khas pegunungan mulai menyentuh tubuh Lexa. Gayanya begitu sederhana, dari bagian rambut yang hanya dia kuncir ke atas. Sweater panjang berwarna putih bersih menyatu dengan rok selutut yang berwarna hitam membalut tubuh semampai miliknya. Lexa mulai turun perlahan menuju rumah yang menarik perhatiannya itu. Lexa masih mengamati sekeliling, memutar ke segala arah berusaha menyatu dengan alam disini. Tak sengaja senyum kecil mengembang dari bibir mungilnya yang semakin membuatnya terlihat sungguh cantik.
Ratih dibantu sang sopir menurunkan barang bawaannya dari bagasi mobil dan memindahkannya ke teras. Setelah semua barang turun, Ratih menyerahkan sebuah amplop yang isinya pasti uang bayaran untuk sang sopir dilanjut ucapan terimakasih dan pamit undur dari kediaman Ratih. Sementara Lexa sudah menunggu di dekat pintu seperti memberi sinyal kepada Ratih untuk segera membuka pintu rumah barunya itu. Senyum tipis Lexa sedikit terlihat disana. Dan Ratih membalas dengan senyum yang tak kalah mengembang.
Inilah awal baru yang Ratih janjikan kepada Lexa.
Kebahagiaan yang akan mereka cari disana. Begitu juga dengan harapan. Harapan yang membuat mereka saling menguatkan.
Lexa masih menyendiri di kamar, koper dan barang bawaan sudah kosong. Mata sendunya sedang mengamati sekeliling ruangan. Kamar Lexa tidak begitu besar dari rumahnya dulu. Ada ranjang small size teronggok di tengah ruangan. Di pojok kiri ranjang, ada meja kecil yang di atasnya sudah ada lampu tidur bermotif bintang yang sengaja Lexa letakkan disana. Sedangkan di sebelah kanan ranjang adalah jendela kamar Lexa yang berbatasan langsung dengan taman kecil yang penuh dengan bunga lavender milik tetangga di sebelahnya. Di dekat pintu kamarnya sudah tertata meja belajar Lexa yang tegak kokoh menyimpan buku-buku milik Lexa. Di pojok dekat pintu ada kursi santai busa, bean bag berwarna merah muda yang Ratih buat dengan tangannya sendiri beralas karpet bulu berwarna abu-abu. Suasana kamarnya sungguh nyaman. Lexa tersenyum kecil melihat sekeliling sudah sesuai dengan bayangannya. Benar, Lexa menata kamarnya sendiri. Tetapi jendela kamar Lexa masih sama, masih tertutup rapat diselimuti tirai putih bersih yang menjuntai menyentuh lantai bertema kayu. Masih sama seperti kamarnya yang dulu.
Ratih masih berbenah menata ruang tamu yang akan dia gabung dengan tempat dia bekerja yaitu menjahit pakaian. Dulu sebelum pindah ke tempat yang sekarangpun Ratih bekerja dengan menjual pakaian hasil jahitannya via online. Dan bisnisnya itu cukup untuk makan sehari-hari bersama Lexa. Kebutuhan mereka tidaklah banyak. Mereka orang yang selalu berhemat. Karena mereka hanya berpikir untuk perlu hidup untuk hari ini. Tanpa harus memikirkan besok ataupun lusa.
Kadang Ratih juga menjual hasil rancangan desain bajunya kepada para penikmat mode walaupun dengan harga yang tidak sebanding dengan kerja kerasnya. Tapi Ratih tak pernah mengeluh, asal kebutuhan sehari-hari dan keperluan Lexa terpenuhi. Ratih juga tidak khawatir karena mereka masih mendapat uang pensiun dari Ayahnya yang seorang PNS. Ayah Ratih sudah lama meninggal. Beliau hanya memiliki dua orang anak, yaitu Ratih dan Kakak laki-lakinya yang merupakan Ayah Lexa. Ibunda Ratih sudah berpulang sebelum Ayahandanya. Ratih berjuang seorang diri menghidupi Lexa keponakannya. Untungnya Ratih lulusan Tata Busana, jadi dia pintar merubah helaian kain menjadi pakaian-pakaian yang bagus untuk dikenakan. Cukup untuk menghibur diri dan mencukupi kebutuhannya. Walaupun tahun-tahun sebelum ini sangat berat bagi mereka, tapi Ratih orang yang gigih. Dia bekerja keras untuk dirinya dan untuk Lexa. Itulah mengapa Lexa selalu berusaha untuk menuruti kemauan Ratih, karena Lexa pasti berpikir bahwa Ratih adalah pengganti Ibunya. Ibu yang sudah satu tahun terakhir telah meninggalkannya.
Satu mobil truk sudah berpamitan setelah meletakkan sofa dari kayu jati di ruang tamu. Ya, mobil itu yang membawa perkakas rumah lama mereka yang datang sore ini.
Ratih masih berusaha meletakkan perkakas itu agar pas dipandang. Berkali-kali dia terlihat memutar kursi dari arah yang satu ke arah yang lainnya.
'Kreeekk'
Pintu kamar Lexa terbuka. Gadis itu melihat Ratih yang sedang kebingungan menata kursi tamu.
"Lebih baik kursi tamunya diletakkan di dekat jendela itu saja tan. Dan mesin jahit tante diletakkan disini dekat ruang tv."
Celetuk Lexa yang dibalas raut muka tak percaya dari Ratih.
Ratih agak terkejut mendengar pendapat Lexa. Karena semenjak kematian ibunya mereka memang jarang sekali berbicara santai, selain 'ayo makan', ayo istirahat', 'ayo bangun'. Kadang Ratih berbicara panjang lebar tetapi hanya dibalas anggukan atau gelengan saja oleh Lexa. Rapat sekali mulutnya jika diajak berdiskusi walaupun hanya untuk memilih menu makanan. Jadi pendapat yang dikemukakan Lexa sore itu bak sengatan listrik yang sedikit membuatnya tersentak. Rasa tak percaya tapi bercampur senang, sehingga membuat Ratih jadi salah tingkah.
"Mmmm.. oke!"
Jawab Ratih sambil mengangguk dengan raut muka yang masih menunjukkan rasa keterkejutannya.
Lexa masih berdiri disana, menatap Ratih yang tampaknya cukup puas dengan idenya. Sambil sesekali menatap Lexa dan melepas senyum. Lexa masih ragu-ragu membalas senyum Ratih, tapi terlihat jelas bahwa Lexa berusaha untuk membuka diri. Mencari dan menemukan harapan seperti yang mereka rencanakan disini.
****
Malam mulai datang. Hawa dingin langsung menyergap dua insan yang sudah selesai makan malam. Lexa terlihat membersihkan piring, gelas dan sendok yang sedari tadi dia gunakan untuk makan malam. Peralatan yang sudah dia cuci langsung dia simpan dalam mesin yang mengeluarkan uap. Mesin itu tampak seperti mesin sterilisasi. Sementara Ratih masih membersihkan sisa makanan yang ada di meja. Dengan segera Ratih langsung membersihkan semua peralatan makannya dengan sabun biasa dan menyusun di rak terpisah. Lexa masih berkeliling melihat rumah barunya. Ruang tamu yang menyatu dengan tempat Ratih bekerja disusun sesuai perintahnya. Di depan ruang televisi ada kamar Ratih, sementara kamar Lexa tepat disebelahnya. Ruang makan berada di tengah di samping dapur yang bersebelahan dengan dua kamar mandi yang menghadap ke teras belakang rumah. Teras belakang masih kosong. Hanya ada rerumputan yang cukup panjang. Sepertinya besok akan ada orang yang disewa Ratih untuk membersihkan halaman belakang. Tak jauh dari pintu belakang rumahnya, ada ayunan panjang yang sedikit lapuk. Mungkin karena sudah agak lama ditinggalkan pemilik lama, dan sepertinya Ratih juga sudah menjadwalkan akan membenahi ayunan itu. Lexa mengetahuinya karena ketika makan malam, Ratih menceritakan setiap detailnya. Dan itu yang membuat Lexa penasaran sehingga ingin berkeliling rumah.
Kini Lexa sudah berjalan menuju kamarnya. Sebelum akhirnya terhenti oleh sapaan Ratih.
" Lex, besok kita akan langsung ke sekolah. Kita harus segera mendaftarkan kamu ke sekolah agar tidak tertinggal tahun ajaran. Mumpung masih setengah semester."
Ucapan Ratih tampak jelas. Tapi tak dibalas apapun oleh Lexa. Dia hanya berlalu meninggalkan tantenya yang menghela nafas panjang.
****
Lexa menatap dalam kamarnya. Dia lirik meja belajarnya kemudian mulai menghampirinya. Dia buka laci meja belajarnya, ada beberapa buku pelajaran yang masih rapi disana. Lexa hanya menatap buku-buku itu. Kemudian memejamkan matanya dalam terhanyut oleh pikirannya sendiri. Dengan susah payah dia menelan ludahnya seperti menelan beban berat yang dia paksa masuk ke dalam tenggorokannya.
Pandangannya dia alihkan ke Jendela kamarnya.
Dia langkahkan kakinya perlahan menuju jendela yang masih tertutup tirai. Jendelanya masih model rumah belanda karena sejatinya rumah yang ditempati mereka adalah bangunan kuno tapi masih berdiri kokoh karena sudah direnovasi oleh pemilik sebelumnya.
Lexa sudah beradu pandang dengan jendela. Tangannya sudah menggenggam kunci 'sentil' yang mengaitkan jendela dengan 'kusennya'. Lexa mematung cukup lama disana. Sampai akhirnya satu tarikan panjang dan dalam dia hembuskan seperti mencari tenaga untuk membuka jendela itu. Dan akhirnya....
Mata Lexa terpana melihat bunga-bunga ungu menari karena hembusan angin malam yang semilir. Mulutnya sedikit terbuka bak melihat surga kecil di luar kamarnya. Matanya sudah jelas menggambarkan kekaguman yang amat sangat. Baru kali ini Lexa berani membuka jendela kamarnya. Merasakan semilir angin menyapa wajah polosnya. Walaupun sedikit menusuk tulang, tapi Lexa seperti tidak peduli. Tangannya menutup mulutnya yang sudah semakin melebar terkagum-kagum. Bukan pada taman kecil yang ditumbuhi lavender disana, tetapi kagum pada dirinya sendiri yang berani membuka jendela kehidupan yang lama dia kunci sendiri. Lexa hampir tertawa tanpa suara. Mukanya dia tengadahkan ke atas menatap langit seolah mengucapkan terimakasih atas kekuatan yang diberikan kepadanya. Dia ulurkan kedua jemarinya ke luar jendela, untuk menyapa angin. Dia rasakan hembusannya dengan mata tertutup. Senyum kecil menghiasi wajah cantik polosnya. Sesaat dia merasa terbawa hanyut oleh suasana.
"Tok tok tok"
Suara itu masih belum menyadarkan Lexa. Dia masih saja memejamkan mata dan merasakan angin di sela jemarinya.
"Lexa....."
ckrkrkkkk
Suara gagang pintu yang berusaha dibuka oleh Ratih seketika menghentikan aktifitas Lexa. Segera dia menoleh ke belakang. Melihat Ratih sudah masuk ruangannya.
Muka Lexa merah. Tapi Ratih menunjukkan rasa haru. Sampai tak sadar jika air matanya sudah mulai meleleh di pipinya. Ratih hampir merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia hanya bisa berdiri menahan tangis. Sementara Lexa mulai melangkah menuju tantenya itu. Lexa menatap Ratih penuh kasih sayang. Ratih luluh dan merengkuh tubuh Lexa dalam pelukannya dengan erat. Sangat erat. Tangisnya pecah, walaupun masih dia tahan setengahnya. Lexa merengkuh balik tubuh Ratih ke dalam pelukannya.
"Terimakasih tante..."
Kata-kata itu sungguh tulus Lexa tujukan pada Ratih. Kata yang ringan namun punya pengaruh besar untuk orang yang mendengarnya.
Ratih sudah tak kuasa. Tangis bahagianya membuncah. Dielus rambut Lexa penuh kasih sambil terus mengecupnya tanpa henti. Ditemani angin malam yang mulai masuk ke kamar Lexa dengan anggunnya. Membuai mereka yang saling merangkul dalam kasih yang damai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!