Lexa masih menyendiri di kamar, koper dan barang bawaan sudah kosong. Mata sendunya sedang mengamati sekeliling ruangan. Kamar Lexa tidak begitu besar dari rumahnya dulu. Ada ranjang small size teronggok di tengah ruangan. Di pojok kiri ranjang, ada meja kecil yang di atasnya sudah ada lampu tidur bermotif bintang yang sengaja Lexa letakkan disana. Sedangkan di sebelah kanan ranjang adalah jendela kamar Lexa yang berbatasan langsung dengan taman kecil yang penuh dengan bunga lavender milik tetangga di sebelahnya. Di dekat pintu kamarnya sudah tertata meja belajar Lexa yang tegak kokoh menyimpan buku-buku milik Lexa. Di pojok dekat pintu ada kursi santai busa, bean bag berwarna merah muda yang Ratih buat dengan tangannya sendiri beralas karpet bulu berwarna abu-abu. Suasana kamarnya sungguh nyaman. Lexa tersenyum kecil melihat sekeliling sudah sesuai dengan bayangannya. Benar, Lexa menata kamarnya sendiri. Tetapi jendela kamar Lexa masih sama, masih tertutup rapat diselimuti tirai putih bersih yang menjuntai menyentuh lantai bertema kayu. Masih sama seperti kamarnya yang dulu.
Ratih masih berbenah menata ruang tamu yang akan dia gabung dengan tempat dia bekerja yaitu menjahit pakaian. Dulu sebelum pindah ke tempat yang sekarangpun Ratih bekerja dengan menjual pakaian hasil jahitannya via online. Dan bisnisnya itu cukup untuk makan sehari-hari bersama Lexa. Kebutuhan mereka tidaklah banyak. Mereka orang yang selalu berhemat. Karena mereka hanya berpikir untuk perlu hidup untuk hari ini. Tanpa harus memikirkan besok ataupun lusa.
Kadang Ratih juga menjual hasil rancangan desain bajunya kepada para penikmat mode walaupun dengan harga yang tidak sebanding dengan kerja kerasnya. Tapi Ratih tak pernah mengeluh, asal kebutuhan sehari-hari dan keperluan Lexa terpenuhi. Ratih juga tidak khawatir karena mereka masih mendapat uang pensiun dari Ayahnya yang seorang PNS. Ayah Ratih sudah lama meninggal. Beliau hanya memiliki dua orang anak, yaitu Ratih dan Kakak laki-lakinya yang merupakan Ayah Lexa. Ibunda Ratih sudah berpulang sebelum Ayahandanya. Ratih berjuang seorang diri menghidupi Lexa keponakannya. Untungnya Ratih lulusan Tata Busana, jadi dia pintar merubah helaian kain menjadi pakaian-pakaian yang bagus untuk dikenakan. Cukup untuk menghibur diri dan mencukupi kebutuhannya. Walaupun tahun-tahun sebelum ini sangat berat bagi mereka, tapi Ratih orang yang gigih. Dia bekerja keras untuk dirinya dan untuk Lexa. Itulah mengapa Lexa selalu berusaha untuk menuruti kemauan Ratih, karena Lexa pasti berpikir bahwa Ratih adalah pengganti Ibunya. Ibu yang sudah satu tahun terakhir telah meninggalkannya.
Satu mobil truk sudah berpamitan setelah meletakkan sofa dari kayu jati di ruang tamu. Ya, mobil itu yang membawa perkakas rumah lama mereka yang datang sore ini.
Ratih masih berusaha meletakkan perkakas itu agar pas dipandang. Berkali-kali dia terlihat memutar kursi dari arah yang satu ke arah yang lainnya.
'Kreeekk'
Pintu kamar Lexa terbuka. Gadis itu melihat Ratih yang sedang kebingungan menata kursi tamu.
"Lebih baik kursi tamunya diletakkan di dekat jendela itu saja tan. Dan mesin jahit tante diletakkan disini dekat ruang tv."
Celetuk Lexa yang dibalas raut muka tak percaya dari Ratih.
Ratih agak terkejut mendengar pendapat Lexa. Karena semenjak kematian ibunya mereka memang jarang sekali berbicara santai, selain 'ayo makan', ayo istirahat', 'ayo bangun'. Kadang Ratih berbicara panjang lebar tetapi hanya dibalas anggukan atau gelengan saja oleh Lexa. Rapat sekali mulutnya jika diajak berdiskusi walaupun hanya untuk memilih menu makanan. Jadi pendapat yang dikemukakan Lexa sore itu bak sengatan listrik yang sedikit membuatnya tersentak. Rasa tak percaya tapi bercampur senang, sehingga membuat Ratih jadi salah tingkah.
"Mmmm.. oke!"
Jawab Ratih sambil mengangguk dengan raut muka yang masih menunjukkan rasa keterkejutannya.
Lexa masih berdiri disana, menatap Ratih yang tampaknya cukup puas dengan idenya. Sambil sesekali menatap Lexa dan melepas senyum. Lexa masih ragu-ragu membalas senyum Ratih, tapi terlihat jelas bahwa Lexa berusaha untuk membuka diri. Mencari dan menemukan harapan seperti yang mereka rencanakan disini.
****
Malam mulai datang. Hawa dingin langsung menyergap dua insan yang sudah selesai makan malam. Lexa terlihat membersihkan piring, gelas dan sendok yang sedari tadi dia gunakan untuk makan malam. Peralatan yang sudah dia cuci langsung dia simpan dalam mesin yang mengeluarkan uap. Mesin itu tampak seperti mesin sterilisasi. Sementara Ratih masih membersihkan sisa makanan yang ada di meja. Dengan segera Ratih langsung membersihkan semua peralatan makannya dengan sabun biasa dan menyusun di rak terpisah. Lexa masih berkeliling melihat rumah barunya. Ruang tamu yang menyatu dengan tempat Ratih bekerja disusun sesuai perintahnya. Di depan ruang televisi ada kamar Ratih, sementara kamar Lexa tepat disebelahnya. Ruang makan berada di tengah di samping dapur yang bersebelahan dengan dua kamar mandi yang menghadap ke teras belakang rumah. Teras belakang masih kosong. Hanya ada rerumputan yang cukup panjang. Sepertinya besok akan ada orang yang disewa Ratih untuk membersihkan halaman belakang. Tak jauh dari pintu belakang rumahnya, ada ayunan panjang yang sedikit lapuk. Mungkin karena sudah agak lama ditinggalkan pemilik lama, dan sepertinya Ratih juga sudah menjadwalkan akan membenahi ayunan itu. Lexa mengetahuinya karena ketika makan malam, Ratih menceritakan setiap detailnya. Dan itu yang membuat Lexa penasaran sehingga ingin berkeliling rumah.
Kini Lexa sudah berjalan menuju kamarnya. Sebelum akhirnya terhenti oleh sapaan Ratih.
" Lex, besok kita akan langsung ke sekolah. Kita harus segera mendaftarkan kamu ke sekolah agar tidak tertinggal tahun ajaran. Mumpung masih setengah semester."
Ucapan Ratih tampak jelas. Tapi tak dibalas apapun oleh Lexa. Dia hanya berlalu meninggalkan tantenya yang menghela nafas panjang.
****
Lexa menatap dalam kamarnya. Dia lirik meja belajarnya kemudian mulai menghampirinya. Dia buka laci meja belajarnya, ada beberapa buku pelajaran yang masih rapi disana. Lexa hanya menatap buku-buku itu. Kemudian memejamkan matanya dalam terhanyut oleh pikirannya sendiri. Dengan susah payah dia menelan ludahnya seperti menelan beban berat yang dia paksa masuk ke dalam tenggorokannya.
Pandangannya dia alihkan ke Jendela kamarnya.
Dia langkahkan kakinya perlahan menuju jendela yang masih tertutup tirai. Jendelanya masih model rumah belanda karena sejatinya rumah yang ditempati mereka adalah bangunan kuno tapi masih berdiri kokoh karena sudah direnovasi oleh pemilik sebelumnya.
Lexa sudah beradu pandang dengan jendela. Tangannya sudah menggenggam kunci 'sentil' yang mengaitkan jendela dengan 'kusennya'. Lexa mematung cukup lama disana. Sampai akhirnya satu tarikan panjang dan dalam dia hembuskan seperti mencari tenaga untuk membuka jendela itu. Dan akhirnya....
Mata Lexa terpana melihat bunga-bunga ungu menari karena hembusan angin malam yang semilir. Mulutnya sedikit terbuka bak melihat surga kecil di luar kamarnya. Matanya sudah jelas menggambarkan kekaguman yang amat sangat. Baru kali ini Lexa berani membuka jendela kamarnya. Merasakan semilir angin menyapa wajah polosnya. Walaupun sedikit menusuk tulang, tapi Lexa seperti tidak peduli. Tangannya menutup mulutnya yang sudah semakin melebar terkagum-kagum. Bukan pada taman kecil yang ditumbuhi lavender disana, tetapi kagum pada dirinya sendiri yang berani membuka jendela kehidupan yang lama dia kunci sendiri. Lexa hampir tertawa tanpa suara. Mukanya dia tengadahkan ke atas menatap langit seolah mengucapkan terimakasih atas kekuatan yang diberikan kepadanya. Dia ulurkan kedua jemarinya ke luar jendela, untuk menyapa angin. Dia rasakan hembusannya dengan mata tertutup. Senyum kecil menghiasi wajah cantik polosnya. Sesaat dia merasa terbawa hanyut oleh suasana.
"Tok tok tok"
Suara itu masih belum menyadarkan Lexa. Dia masih saja memejamkan mata dan merasakan angin di sela jemarinya.
"Lexa....."
ckrkrkkkk
Suara gagang pintu yang berusaha dibuka oleh Ratih seketika menghentikan aktifitas Lexa. Segera dia menoleh ke belakang. Melihat Ratih sudah masuk ruangannya.
Muka Lexa merah. Tapi Ratih menunjukkan rasa haru. Sampai tak sadar jika air matanya sudah mulai meleleh di pipinya. Ratih hampir merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia hanya bisa berdiri menahan tangis. Sementara Lexa mulai melangkah menuju tantenya itu. Lexa menatap Ratih penuh kasih sayang. Ratih luluh dan merengkuh tubuh Lexa dalam pelukannya dengan erat. Sangat erat. Tangisnya pecah, walaupun masih dia tahan setengahnya. Lexa merengkuh balik tubuh Ratih ke dalam pelukannya.
"Terimakasih tante..."
Kata-kata itu sungguh tulus Lexa tujukan pada Ratih. Kata yang ringan namun punya pengaruh besar untuk orang yang mendengarnya.
Ratih sudah tak kuasa. Tangis bahagianya membuncah. Dielus rambut Lexa penuh kasih sambil terus mengecupnya tanpa henti. Ditemani angin malam yang mulai masuk ke kamar Lexa dengan anggunnya. Membuai mereka yang saling merangkul dalam kasih yang damai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments