Senja menyapa...
Memancarkan cahaya jingga, turun menyapa rerumputan. Menyertakan angin untuk ikut bersenang-senang, menari indah di hamparan hijau. Bunga berwarna-warni pun tak kuasa ikut bergoyang, menikmati irama angin yang terdengar merdu di udara. Semesta pun takjub.
Lexa bergelantung manja di ayunan belakang rumah. Menikmati semilir angin yang menyapanya. Berayun pelan menyibakkan rambut yang dia gerai. Menjuntai menutup punggung yang hanya dijepit manik-manik berwarna putih di samping telinganya. Lexa riang bercengkerama dengan Ratih yang duduk beralas tikar dengan teh hijau di tangannya. Mereka terlihat bahagia, berbagi hati dan perasaan. Mendengarkan cerita seru masing-masing sehingga tanpa ragu bertukar senyum dan gelak tawa sederhana.
Lexa melebarkan pandangan ke segala arah, menatap sekeliling menikmati warna-warni bunga yang ditanam di kebun belakang, matanya juga menyusuri bunga-bunga lavender milik Martha yang sangat cantik. Menengadah ke atas dan terpaku pada sosok Erick yang terlihat mengamatinya dari balkon belakang rumahnya. Dan saling berbalas senyum.
"Malah bengong."
Sahut Martha sambil menepuk pundak anak bontotnya.
Seketika Erick melepas pandangan dan senyum Lexa, melirik Ibunya yang sudah melotot. Erick membalasnya dengan sedikit terkekeh.
"Ayo, angkat jemurannya!" Perintah Martha yang ikut melongok kemana arah pandangan Erick. Dan begitu Martha tahu, dia langsung paham.
" Heeemmmmm.... Pantes ngelamun." Lirik Martha meledek Erick yang tersipu malu.
"Bu Ratih..." Teriak Martha dari tempatnya berada mencoba menyapa tetangganya.
"Asyik sekali rupanya..." Kata Martha.
"Oh ya, Bu Martha... Mari bergabung!" Balas Ratih yang juga tidak kalah teriaknya dengan Martha.
"Iya, Bu... Nanti kapan-kapan. Terimakasih..." Jawab Martha seraya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya mengangkat jemuran.
Sesekali Erick mencuri pandang ke arah Lexa, dan di setiap pandangnya selalu terlihat ada senyum mengembang dari bibir Erick.
****
Dua minggu sudah Lexa bersekolah di SMA Bhakti Bangsa. Dia sudah mulai bisa membaur dengan teman-temannya yang lain. Jauh berbeda dari Lexa dua minggu yang lalu, yang masih menutup diri dari lingkungan sekitarnya. Walaupun Lexa masih tetap saja memilah-milih dalam bergaul. Usaha jasa jahit Ratih pun juga membuahkan hasil. Dia mulai sibuk dengan banyak pesanan pelanggan dekat rumahnya. Sepertinya Martha adalah ahli marketing yang baik, karena semua pelanggannya kebanyakan mengenal sosok Martha yang memang merekomendasikan jasa jahit Ratih kepada khalayak. Mungkin karena seragam puskesmas yang dia titipkan kepada Ratih cukup memuaskan, sehingga banyak orang yang sengaja datang untuk menggunakan jasa jahit Ratih agar kain-kain mereka yang lain bisa disulap menjadi aneka ragam busana yang diinginkan.
Acara turnamen basket sudah hampir dimulai, tinggal menunggu hitungan hari saja. Persiapan demi persiapan sudah mulai mereka kerjakan. Dari mulai menempel banyak poster iklan tentang acara turnamen tersebut, membagikan selebaran, membenahi lapangan basket, dan masih banyak lagi. Semua siswa-siswi SMA Bhakti Bangsa terlihat kompak menyambut acara tahunan akbar tersebut. Begitu juga dengan kelas Lexa, mereka diberi tugas untuk memasang bendera warna-warni berornamen turnamen basket agar bisa di pasang menghiasi lapangan basket yang sudah selesai diperbaiki.
Terlihat Erick sedang memanjat sebuah tangga, dan di bawahnya sudah ada Ari yang siaga memegang tangga agat kuat menopang tubuh jangkung Erick. Tentu bukan hanya Erick dan Ari saja yang memasang bendera tersebut, tetapi teman-teman satu kelas yang lain terutama laki-laki melakukan hal yang sama. Sementara beberapa anak perempuan asyik duduk di lapangan setelah tadi ikut membantu Irma menyapu aula yang akan digunakan untuk jamuan tim-tim basket dari sekolah lain. Sedangkan sebagian yang lain mungkin di kelas atau di kantin melepas lelah.
Lexa duduk dipojokkan bangku taman yang terbuat dari semen dan campuran batu dekat dengan pohon rindang bersama dengan beberapa teman perempuannya, termasuk Ana. Mereka bercanda dan sedikit menyentil obrolan tentang lawan jenis yang membuat mereka salah tingkah, terutama obrolan tentang Erick. Lexa hanya jadi pendengar setia, sambil ikut tersenyum ketika kawan-kawannya terbahak-bahak.
"Hai...."
Sapaan itu langsung membuat Lexa dan teman-teman yang lain berpaling ke asal suara dan sedikit mengecilkan tawa mereka.
Ternyata sudah ada Adhit dengan seragam basket berwarna biru melekat di tubuhnya. Dia terlihat memakai bandana putih dan handband berwarna senada. Mengembangkan wajah yang tersenyum menampakan lesung pipinya yang membuatnya semakin manis saja.
"Lagi pada ngapain??"
Tanya Adhit basa-basi.
"Nge-rum-pi.."
Jawab Ana yang mengeja penuh penekanan di setiap katanya.
"Diih... Ngerumpi. Mending ikut ke pinggir lapangan, bentar lagi kita mau latihan."
Pinta Adhit kepada para gadis remaja itu yang langsung saling menatap dan segera menuruti kata-kata Adhit dengan berhamburan ke pinggir lapangan mencari tempat yang enak untuk menjadi penonton.
Belum sempat Lexa beranjak, tangannya sudah ditarik oleh Adhit.
"Kamu mau kemana?"
Tanya Adhit heran. Tapi Lexa lebih heran dengan pertanyaan Adhit.
"Kamu ikut aku dulu..."
Pinta Adhit halus. Dan sedikit menarik Lexa untuk mengikutinya.
Lexa berusaha melepaskan cengkraman tangan Adhit, tapi tidak bisa karena tenaga Lexa kalah kuat dengan Adhit.
Lexa digandeng mengikuti Adhit yang berpamitan kepada temannya sambil mengatakan ada urusan sebentar. Lexa masih menunjukkan muka tak enak hati. Tapi Adhit tidak peduli, dia masih saja menggandeng tangan Lexa.
"Adhit.. Maaf, tolong lepasin tangan saya!"
Pinta Lexa lirih.
Adhit berbalik dan tersenyum kepada Lexa.
"Jangan takut, aku ga mau macem-macem. Kamu susah banget aku ajakin ketemuan. Waktuku lagi ga banyak, jadi kali ini tolong ikut aku sebentar. Okey?!" Tukas Adhit dengan ekspresi wajah penuh harap.
Dan Lexa pun tak kuasa menolak.
Keduanya tiba di salah satu kantin belakang. Disana tidak terlalu ramai, hanya beberapa anak laki-laki kelas XII yang satu tingkat dengan Adhit sedang berkumpul menyantap makanan di mejanya.
Adhit mempersilahkan Lexa duduk. Tapi Lexa ragu-ragu. Namun dengan cepat Adhit bergerak mendudukkan Lexa di bangku yang Adhit pinta.
Lexa merasa tak nyaman, dia merasa pandangan semua orang tertuju padanya. Seperi menelanjangi Lexa yang tak bisa berkutik. Keringat jelas keluar melewati pelipisnya. Mukanya juga sudah memucat. Lexa sungguh merasa tersiksa.
Tak lama Adhit datang dengan membawa minuman ke hadapan Lexa, tak lupa membawa secarik kertas bertuliskan menu yang dia sodorkan kepada Lexa.
"Kamu mau makan apa?" Tanya Adhit yang akan berusaha mengikuti kemauan Lexa. Tapi Lexa menggeleng. Dia tak selera makan rupanya.
"Kenapa? Aku traktir loh, ini makanan pertanda aku mau kenal lebih dekat dengan kamu. Sebagai sahabat." Jelas Adhit pasti.
Lexa hanya melihat ekspresi Adhit. Jujur. Adhit memang tidak main-main. Lexa paham, sudah berkali-kali Adhit berusaha untuk menyapanya ketika berpapasan, menghampiri kelasnya untuk sekedar menyapa, dan bahkan menunggu Lexa hanya untuk pulang bersama naik motornya. Tapi Lexa selalu bisa menghindar. Banyak penolong Lexa rupanya, sampai dia selalu lolos berkali-kali dari Adhit. Tapi kini, dia merasakan benar-benar tidak bisa menghindari situasinya.
"Aku ga lapar, Dhit. Terimakasih."
Jawab Lexa santai.
"Kamu memang keras banget, ya... Okey, kalo kamu ga mau makan. Tapi kamu mau kan ngizinin aku untuk bisa kenal kamu?" Tanya Adhit mencecar.
Lexa terlihat ragu menjawabnya. Dia menggigit bibir bagian atasnya, dan menghela napas panjang.
Adhit terlihat gemas dengan sikap Lexa, dan entah sengaja atau tidak langsung mengacak-acak lembut rambut Lexa.
"Kami tuh lucu, bikin aku penasaran."
Jelas Adhit yang dijawab Lexa dengan tatapan dalam.
"Baiklah, aku anggap kamu mau untuk sekedar berteman denganku." Sambung Adhit.
Lexa hanya membalas dengan senyum sekenanya saja.
****
Latihan basket sudah dimulai. Suara sorak sorai menggema di udara, diiringi teriakan histeris dari para gadis remaja sebagai tanda menyemangati tim bola basket sekolahnya.
Adhit terlihat sangat menonjol di tim. Selain tubuhnya yang gampang dikenali karena tinggi dan sedikit atletis, gerakannya dalam memainkan si bola pantul sangat lincah, tak salah jika Pak Bayu guru olahraga mereka mendapuk Adhit sebagai ketua tim.
Berdasarkan pengalaman tahun kemarin, SMA Bhakti Bangsa adalah juara bertahan. Jika diamati dari permainan basket yang mereka sajikan, tentu akan mudah mempertahankan gelar juara dan piala agar tidak terlepas dari tangan mereka.
"Pritt.... Bagus! Usahakan solid. Maki oper bolanya ke arah Adhit." Teriak Pak Bayu dari pinggir lapangan meneriaki tim yang dia latih.
Sementara di pinggir lapangan yang lain..
"An... Dimana Erick?" Tanya Lexa pelan agar tidak mengganggu yang lain.
"Oh.. Tadi dia sih pamit ke toilet." Jawab Ana sambil tak melepas pandangannya kepada lelaki berseragam biru di depannya.
Sementara Lexa masih berkeliling mencari keberadaan sosok yang dia tanyakan pada Ana dengan kedua matanya tapi hasilnya nihil.
Huuuww...
Prok.....Prok.... Prok....
Suara itu saling bersahutan ketika si kapten mencetak angka sempurna di papan skor. Adhit berselebrasi kecil dengan teman yang membantunya mencetak skor. Dan, dengan percaya diri melirik Lexa. Seperi menunjukkan bahwa dirinya adalah yang terbaik. Lexa agak geli melihatnya, tapi dia tahu bagaimana cara untuk mengendalikan dirinya. Karena dia yakin, pasti para gadis akan mengutuknya kini.
Waktu semakin terik. Tapi semangat para anggota tim basket belum kendur, begitu juga dengan para penonton. Semakin siang semakin ramai karena tim basket mereka kedatangan tim dari sekolah lain untuk sparing persiapan turnamen.
Pendukung tiap tim dari sekolah masing-masing saling bersorak menyemangati para pemain. Tak peduli terik panas matahari yang membakar, terlebih lagi karena lapangan basket SMA Bhakti Bangsa berada di luar gedung, outdoor istilahnya. Tetapi tak menyurutkan genderang perang tak bersenjata disana.
Lexa lebih memilih duduk diam di kelas sambil membaca buku novel yang kemarin Adhit berikan kepadanya, karena di luar terasa terlalu terik untuknya. Mukanya agak sedikit pucat, berkali-kali dia meneguk botol minum yang dia bawa, tubuhnya merasakan sedikit berbeda.
"Kamu lagi ngapain disini?" Tanya Erick.
Lexa hanya menoleh dan melempar senyum. Seperti mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja.
"Kami ga lihat pertandingan basket di luar?"
Ucap Erick datar.
Lexa menggeleng.
Erick nampak khawatir dengan Lexa yang sedikit murung. Dia mengamati lekat-lekat sosok dihadapannya itu. Terlihat pucat.
"Kamu sakit??" Tanya Erick dengan nada khawatir.
Lexa masih menggeleng, tapi Erick menangkap sinyal tidak baik-baik saja dari gerak tubuh Lexa.
" Badanmu panas, Lex...". Ucap Erick yang sudah mendaratkan tangannya ke kening Lexa.
Lexa tak bisa mengelak sekarang.
"Ayo, pulang! Aku izin dulu ke Bu Irma ya?!" Kata Erick yang segera bergegas menemui Irma.
Lexa sudah tidak karuan. Badannya sudah mulai menggigil. Dia ingin segera berlalu dari kelas dan menuju rumahnya. Baru sampai di depan pintu kelas, Lexa hampir ambruk. Tapi sesosok tubuh dengan sigap memapahnya. Tubuh Lexa mulai lunglai, entah dia akan sanggup berjalan atau tidak. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya benar-benar terasa berat. Hanya ada suara laki-laki menyebut namanya, dan semua yang Lexa pandang menjadi kabur dan gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments