Lexa terpaku di balik jendela kamarnya. Dagunya dia tempel ke lipatan tangan yang diletakkan di jendela yang terbuka. Posisinya duduk dengan menggeser kursi belajarnya mendekat ke jendela. Pikirannya sedikit kalut. Menatap kosong ke arah bunga-bunga lavender yang bergoyang tertiup angin senja. Memejamkan mata, membiarkan hati dan pikirannya berkecamuk sampai Ratih datang menemuinya.
"Ada Adhit di depan." Ucap Ratih sambil mengelus punggung Lexa.
Lexa seakan enggan beranjak dari tempatnya yang membuat dia nyaman.
"Ayo, temui dia. Lesung pipinya udah nungguin kamu, Lex..." Ucap Ratih.
Lexa sedikit menggerutu, karena Ratih seakan meledeknya. Ratih hanya terkekeh melihat Lexa. Mencoba menarik dia untuk bangun dengan lembut. Tapi Lexa mengerang kesal.
Lexa menemui Adhit di teras rumahnya. Mereka berdua duduk di kursi rotan terpisah oleh meja yang juga terbuat dari rotan yang dihiasi vas dengan bunga mawar merah sebagai penghuninya.
Adhit datang membawa setoples kue kering buatan Ibunya untuk diserahkan kepada Lexa.
"Ga usah repot-repot, Dhit..." Ucap Lexa tak enak hati.
"Ga pa pa... Lagian Ibu yang menyuruhku untuk memberi ini padamu..." Ucap Adhit, seraya menyerahkan toples tersebut sudah berpindah tangan ke tangan Lexa.
Lexa terlihat cermat mendengarkan cerita Adhit, sambil sesekali membalas senyum Adhit. Tapi jauh dalam hatinya, Lexa tidak mengerti sedikit pun apa yang Adhit katakan. Karena semua organ dalam tubuhnya kini sedang tidak dalam kondisi baik akibat otak dan hati yang tidak sejalan.
Adhit menghentikan ocehannya. Ketika sosok Erick datang dan membuatnya terganggu. Lexa segera paham tentang hal yang membuat Adhit tiba-tiba menjadi tegang. Sementara Erick masih memasang muka biasa saja.
"Tante Ratih ada?" Tanya Erick kepada Lexa yang menatapnya lekat.
"Ada..." Jawab Lexa singkat.
"Oke, aku temuin tante Ratih sendiri saja." Erick pergi meninggalkan mereka berdua, masuk ke dalam rumah dan mencari Ratih.
"Jadi, Erick sering berkunjung kesini? Memanfaatkan situasi sebagai tetangga?" Tanya Adhit seperti meminta penjelasan.
Lexa hanya menjawab dengan senyum saja.
"Oke, ga masalah.. Aku kan sudah bilang sama kamu, kalau aku ga akan menyerah. Walaupun kamu bosan, tapi aku ga..." Kata Adhit dengan bangganya, yang membuat Lexa mengembangkan senyum geli melihat tingkah Adhit.
"Kamu semakin cantik, kalo senyum gitu..." Rayu Adhit.
Lexa sedikit menyeringai, tapi di balas kekehan panjang dari Adhit. Lexa menatap Adhit heran, tapi Adhit tak peduli. Dia malah lebih membanggakan dirinya. Lexa sampai tak kuasa membalas kesombongan laki-laki gigih di sebelahnya. Hal itu malah membuat mereka menertawakan diri sendiri karena berbalas kata hanya melalui ekspresi. Keduanya kini berbalas tawa, terlihat tulus.
Lexa memang kurang nyaman dengan Adhit, tapi Lexa tak menyangkal Adhit bisa membuat dia tertawa dengan sikapnya. Adhit juga penuh kejutan, bahkan Adhit juga bisa membuat Lexa merasakan suasana menjadi hangat ketika berada di dekatnya.
Erick keluar dari rumah setelah mengucapkan terimakasih kepada Ratih. Erick tidak menyapa mereka yang terlihat asyik bercanda. Dia hanya langsung berlalu dari hadapan mereka, tak menoleh sedikitpun ke arah Lexa dan Adhit. Tak peduli juga jika Lexa melihat punggungnya berlalu dari hadapannya dengan tatapan penyesalan.
Waktu sudah semakin sore, Adhit segera pamit setelah bersalaman dengan Ratih. Melempar senyum tanda terimakasih kepada Lexa dan berlalu membawa motor grand astra berwarna putih dari hadapan Lexa dan Ratih.
"Tadi Erick mau ngapain, tan?" Tanya Lexa yang penasaran.
Ratih menatap Lexa dengan senyum terkembang.
"Ga pa pa, dia cuma ada perlu aja sama tante.." Jawab Ratih enteng.
"Soal apa tan??" Lexa makin penasaran.
Ratih menghela napas dalam.
"Ga ada apa-apa, Nak... Dia cuma mau ngasih pesan aja sama tante, soal kerjaan." Balas Ratih yang menyibak rambut Lexa.
Jawaban Ratih tak membuat senang Lexa.
"Ga usah khawatir, Erick baik-baik saja. Dia laki-laki yang baik, koq... Ga mungkin dia kesal sama kamu kan?!" Kata-kata Ratih kali ini terdengar melegakan.
"Ayo masuk, udah malam. Tante mau buat steak daging. Tadi Ibu Martha memberikannya untuk kita." Pinta Ratih menggandeng keponakannya untuk masuk ke rumah.
****
Turnamen basket sudah mulai memasuki babak semi final. Menyisakan SMA Bhakti Bangsa di tim A, SMK Nusantara di tim B, SMA 02 Tunas Bangsa di tim C, dan SMA Budi Mulya di tim D. SMA 02 Tunas Bangsa adalah lawan sepadan untuk SMA Bhakti Bangsa. Terlihat dari cara mereka bermain di semi final pertama melawan SMA Budi Mulya. Pendukungnya sangat kompak. Membawa pasukan cheers untuk menyemangati tim sekolahnya. SMA 02 Tunas Bangsa memang SMA unggulan, banyak prestasi yang sudah digenggam baik prestasi akademik maupun non akademik. Para siswanya juga terlihat berkelas. Karena memang sekolah itu juga terkenal bonafit.
Lexa dan beberapa temannya, sedang asyik menyantap makanan yang ada di mejanya. Mereka sedang di kantin. Sepertinya tak begitu tertarik melihat pertandingan kali ini, karena yang sedang bertanding bukan tim andalannya. Jadi mereka memilih menepi. Meraka tampak lebih antusias untuk menceritakan penampilan spesial di acara puncak nanti.
"Bakalan seru pastinya kalo band sekolah kita bisa tampil di acara pembuka di final nanti." Celoteh Helen yang langsung memasukkan siomay ke dalam mulutnya.
"Bener banget. Apa lagi ada Erick disana. Pasti bakal jadi pusat perhatian deh." Timpal Lusi.
Ana melirik Lexa yang sedari tadi masih mengunyah buah mangga yang ada di bekalnya. Pasti makanannya sudah lunak, kenapa masih saja Lexa kunyah.
"Pokoknya kita harus ada di barisan depan. Udah lama banget ga liat mereka tampil sejak acara penutupan MOS waktu itu." Ucap Helen berbinar.
"Ekh kalian tahu kan, si Robi. Gitaris band kita. Dia pasti kenal dekat sama Erick kan, An?" Sambung Helen.
"Emang kenapa??" Tanya Ana curiga.
"Titip pesen ke Erick, salam buat Robi dari aku..." Kata Helen sambil tersipu.
Teman-teman yang mendengar pernyataan Helen langsung menyuraki Helen yang terlihat malu.
"Ayo dong, An.... Kan kamu deket sama Erick." Pinta Helen memelas.
"Iyaa... Dan pernah deket juga." Canda Lusi.
Lexa sedikit kaget dengan ucapan Lusi, dan sedikit melirik Ana yang sedang menghela napas panjang.
Benar juga. Ana memang terlihat sangat akrab dengan Erick lebih dari teman perempuannya yang lain. Tapi, Erick sering menggoda Ana dengan Ari. Pasti ada cerita lain tentang mereka di masa lalu. Pikir Lexa yang kini sudah menelan buah mangganya dan memilih meneguk air dalam botol minumnya.
Lama mereka bercengkerama santai dia kantin sekolah. Berbagi tawa lebar yang menandakan keakraban di antara mereka. Tak disangka, tawa mereka berhenti ketika melihat Lexa menyeka hidungnya. Ada cairan merah keluar dari hidungnya yang membuat teman-temannya sedikit panik.
"Lex, kenapa?" Tanya Ana cemas.
"Kamu mimisan, Lex..." Ucap Helen juga tak kalah cemas.
Lexa menengadahkan kepalanya seakan ingin menghentikan darah yang keluar dari hidungnya.
Lusi bergegas mengambil tisu yang ada di dekatnya dan memberikannya kepada Lexa.
Mereka sudah mengelilingi Lexa sekarang. Raut wajah mereka tampak cemas melihat kondisi Lexa yang terlihat pucat.
"Ga pa pa... Ini biasa, koq. Mungkin karena aku kelelahan. Semalam tidurku memang kurang nyenyak." Ucap Lexa membalas tatapan khawatir teman-temannya itu.
Ana mengelus punggung Lexa.
"Ga pa pa, An... Aku baik-baik aja..." Tegas Lexa.
"Ayo, lanjut lagi... Obrolan tadi seru loh, sampai dimana tadi.. Oh ya, pas pemilihan ketua OSIS. Gimana An akhirnya?" Ucap Lexa yang berusaha mengalihkan kekhawatiran teman-temannya.
****
Berempat duduk berjajar di sebuah bangku panjang yang diletakkan dekat sebuah kelas. Menonton pertandingan basket dari kejauhan, menghindari panas yang membakar kulit mereka.
Waaaaww...
Mereka bersorak melihat tim kesayangannya menang telak atas SMK Nusantara dan masuk final melawan SMA 02 Tunas Bangsa. Mereka saling berbagi peluk kecil untuk merayakan kemenangan sekolah mereka di semi final.
"Tuh kaan... Apa aku bilang, sekolah kita pasti menang. Kan ada Kak Adhit pasti kecil kalo ngelawan tim basket sekolah lain." Ucap Lusi bangga.
"Ekh... Jangan keras-keras bahas Adhit. Pamali taauu..." Sebut Helen.
"Ihh... Kenapa?"
" Tuuuh... Liat, ada pacarnya Adhit." Helen menuju ke arah Lexa. Lexa sedikit kaget dengan dakwaan Helen.
"Lex... Awas!" Pinta Helen.
Lexa masih bingung, tapi kemudian Ana memberi isyarat kepada Lexa untuk minggir.
"Tuuuh, liat! Cewek yang rambutnya ikal panjang itu. Denger-denger dia ngaku pacarnya Kak Adhit." Pungkas Helen.
"Masa sih??" Tanya Lusi sambil terus mengawasi sosok perempuan tinggi, dengan rambut ikal panjang sepunggung, terlihat cantik walaupun dipandang dari samping.
Lexa menghela napas lega. Bukan dia ternyata yang Helen maksud.
Lexa memang tidak menceritakan tentang hal apapun kepada teman-temannya itu. Apalagi soal Adhit dan Erick. Biarlah menjadi rahasia untuknya saja.
****
Lexa mengamati bintang-bintang dari jendela kamarnya. Kursi belajar yang di letakkan dekat jendela menjadi tempatnya bersandar menyelami malam. Menyibak pekatnya malam dengan tatapannya yang disambut gemuruh kecil dari langit. Menengadahkan kepala mencari jawaban atas segala keluh kesahnya. Lamunan kembali datang. Memejamkan mata lalu kembali terbuka. Masih mengawasi malam yang kini menyapa dengan kilatan-kilatan kecil.
Tubuhnya kini berdiri tegak. Mengulur tangan keluar jendela. Merasakan tetes demi tetes air segar yang mulai turun dengan syahdu. Melepas senyum menyambut butiran air suci berkah kuasa. Seperti membahasi relung hatinya yang lama kering. Begitu segar.
Melayangkan pandangan ke arah jendela kamar Erick. Dan pandangannya berbalas. Erick sudah berdiri disana. Memberikan senyuman kepada Lexa yang belum sempat dia temui hari ini. Melepas rasa bersama, diiringi rintikan air yang menjadi penghalang. Disaksikan hujan pertama yang turun di akhir September.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments