"Roxy Ivarez,"
Steven memperhatikan sosok penyelamatnya, yang ternyata masih muda. 38 tahun, Steve menebak usia pria itu. Perawakannya tinggi tegap, sorot matanya memicing tajam bagai elang. Rambutnya hitam pekat, berombak hingga menyentuh bahunya yang lebar. Tubuhnya ramping namun sangat kuat.
"Oh, God! Mau sampai kapan kau membiarkan tanganku menggantung di udara, Dude?"
Steve tersadar, menurunkan tatapan ke tangan kekar pria itu. Tangan yang ia yakini bisa menghajar Riston dengan sangat mudah. Ah, mendadak ia ingin seperti Roxy. Ia begitu mengagumi apa yang ada pada diri pria itu. Apakah ini yang diakatakan jatuh cinta pada pandangan pertama?
Roxy terlihat brutal dan sangat liar. Steve berani bertaruh bahwa di luar sana banyak wanita yang bersedia merangkak demi mendapat perhatian pria itu. Bukankah kebanyakan dari wanita lebih menyukai pria tangguh yang terlihat jantan. Kecuali Lexi tentunya. Steve tersentak akan pemikiran tersebut. Dengan segera ia menyambut tangan penyelamatnya itu, mengenyahkan wajah ibunya dan Lexi yang sedang menangisi entah mayat siapa.
"Steven Percy."
Roxy menggeleng sembari menggoyangkan jari telunjuknya. "Bukan Percy, tetapi Dixton Ivarez."
Ah ya, Steve melupakannya. Bagi dunia ia sudah mati. Sekarang adalah kelahiran baru baginya dengan identitas asing. Baiklah, mari mengikuti alur yang disediakan semesta. Steve berucap di dalam hatinya. Dengan tekad yang bulat, ia memutuskan akan membalas semua perlakuan yang ia terima tanpa ampun. Untuk mencapai semua itu, ia harus menjadi kuat terlebih dahulu. Memiliki kekuasaan untuk menumbangkan lawannya. Ia sadar bahwa para musuhnya adalah orang-orang munafik yang penuh dengan kekuasaan. Tidak bisa menyainginya, setidaknya Steve harus seimbang dengan mereka dan ia sadar bahwa untuk mencapai tujuannya, ia harus mengorbankan banyak hal termasuk jati dirinya.
"Kenapa kau menyelamatkanku?"
Pertanyaan Steven menghentikan gerakan tangan Roxi yang hendak menuangkan minuman ke dalam gelas. Pria bermata gelap itu mengangkat kepalanya. Dahi Roxi sedikit mengernyit dan sebelah alisnya terangkat ke atas. Untuk sesaat kedua pria beda usia itu saling mengunci tatapan masing-masing. Kemudian, Roxi menyeringai.
"Karena kau butuh diselamatkan," sahutnya ringkas sembari melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Menuangkan minuman ke dalam gelas. Pun ia mengangkat gelas tersebut dan membawanya ke dalam mulut. Menyesap minuman dengan gaya yang begitu sangat berkelas. Siapa Roxi sebenarnya?
"Katakan apa yang ingin kau lakukan setelah ini?" Roxi kembali meletakkan gelas ke atas meja. Pria itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Yoghurt. Menyodorkannya ke hadapan Steven.
Steve menatap Yoghurt tersebut dengan tatapan aneh. Membandingkannya dengan minuman bening berbuih yang ada di hadapan Roxi.
"Apakah aku terlihat seperti bocah hingga kau memberikan susu fermentasi kepadaku?" Jiwa kelakiaannya merasa tertantang. Cukup sudah ia diremehkan. Steve tidak akan membiarkan hal itu terulang lagi. Tidak mulai sekarang!
Roxi tergelak, pria itu tidak merespon pertanyaan Steve. Ia hanya mengangkat kedua bahunya yang lebar dengan gaya tidak acuh seolah ia memang sedang meremehkan Steve. Ia tahu jika Steve merasa harga dirinya sedang dibantai. Roxi ingin melihat sejauh mana tindakan Steve menghadapi situasi ini. Apakah pemuda itu akan mengikuti emosinya demi mempertahankan egonya atau justru... Ck! Steve mengikuti emosinya. Pemuda itu merebut gelas milik Roxi dan menegak minuman itu dengan satu kali tegukan. Hais, Roxi tahu bagaimana rasanya itu. Ia yakin jika saat ini Steve merasakan tenggorokannya terbakar. Dalam hitungan menit, pemuda itu akan mabuk. Astaga, ini merepotkan!
"Santai, Dude." Roxi melemparkan senyuman dengan tatapan geli. "Pahit? Terbakar? Tequila yang sedang kau teguk itu memiliki kadar alkohol tinggi. Bukan begitu cara menikmatinya." Roxi mengambil kembali gelasnya. Mengabaikan manik Steve yang mulai merah dan pandangan yang mulai berkunang-kunang. Roxi yakin jika kepala pemuda di hadapannya itu sedang menghentak-hentak tidak karuan.
Roxi menuangkan minuman kembali ke dalam gelas. Membawa gelas itu ke mulutnya. "Kau harus mencium aromanya. Mengenal rasa lapisan yang terkandung di dalamnya. Lalu menyesapnya secara perlahan. Sedikit demi sedikit. Membiarkannya di dalam lidahmu untuk sesaat. Merasakan sensasinya memanjakan lidahmu, kemudian menelannya. Membasahi tenggorokanmu, memuaskan dahagamu. Dan biarkan tetesan tersebut mulai menggerogotimu, lalu poin pentingnya adalah pertarungan. Apakah kau akan membiarkan minuman haram ini mengendalikanmu dengan mengambil kewarasanmu atau justru kau akan bersenang-senang dengannya. Dengan kenikmatan yang ia tawarkan. Begitulah konsepnya, Kawan..."
"Wuueekkk!!!" Steve mengeluarkan isi perutnya ke atas meja.
"Pikirkan apa yang kukatakan, Nak!" Roxi beranjak, meninggalkan Steven yang sedang mabuk. Ia butuh tidur sebelum pesawat mereka mendarat. Tiga bulan, selama itu ia kurang tidur hanya karena mempelajari denah penjara tempat Steve ditahan. Lebih lama dari waktu yang sudah ditentukan.
Entah sudah berapa lama Steve tidur. Tapi yang ia ingat, ini adalah tidur yang paling normal yang ia alami setelah tiga bulan tidak pernah pulas. Perlahan, ia membuka mata. Rasa pusing itu masih terasa, tapi ia berhasil mengabaikannya. Hal pertama yang ia lihat adalah Roxi yang sedang duduk di hadapannya. Sudah berganti pakaian.
"Bagus, akhirnya kau bangun. Mandilah, jemputan kita sudah datang sejak satu jam yang lalu." Roxi mengarahkan tatapannya ke tengah lapangan luas. Steven mengikuti arah pandangan pria itu. Ah, ternyata mereka sudah mendarat dengan selamat. Steve melihat ada beberapa pria berpakaian serba hitam menunggu di luar. Apakah Roxi adalah orang penting? Sungguh, Steve belum memiliki jawaban atas pertanyaannya seputar pria itu.
"Kenakan itu." Roxi menunjuk pakaian yang dilipat rapi di atas nakas. Tanpa banyak bicara, Steve beranjak. Sepertinya ia memang butuh air untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya serta menyingkirkan hal-hal menjijikkan yang menempel di tubuhnya selama menjadi napi walau pada kenyataannya ia sadar bahwa air lautan yang luas pun tidak akan berhasil menghilangkan noda tersebut. Ia sudah tercemari. Ia hina dan kotor.
"Siapa kau sebenarnya?"
Roxi menoleh, menemukan Steve sudah tampak seperti manusia normal. Kilat mata pemuda itu menyala. Menunjukkan sebuah tekad. Roxi melirik jam tangannya. 90 menit waktu yang dihabiskan Steve di dalam toilet. Cukup banyak untuk memutuskan apa yang akan dilakukan pemuda itu. Tapi meliahat tatapan menghunus pemuda itu, Roxi yakin jika pemuda itu sudah mengambil suatu keputusan yang berani. Entah itu tepat atau tidak, sesungguhnya Roxi pun tidak tahu. Keputusan yang dihadapkan pada Steve sesungguhnya seperti dua sisi mata pisau.
Roxi berdiri, Steve harus mendongak untuk menatapnya. Tapi Roxi yakin sebentar lagi tinggi mereka akan seimbang.
"Aku siapa?" Roxi mengulang pertanyaan Steve. "Apakah kita perlu berkenalan sekali lagi, Steve?"
Steve mendengus, "Abaikan pertanyaanku kalau begitu. Apa yang akan kita lakukan di sini?"
"Mencari keinginanmu dan juga mengumpulkan keberanian." Roxi mengerling sembari melangkah. "Tugas pertamamu adalah membunuh perdana menteri. Kita akan sampai di hotel Palacio dalam waktu 45 menit."
"Me-membunuh?"
"Anggap saja sebagai pemanasan," tandas Roxi dengan enteng. Hei, sejak kapan membunuh bisa dikatakan sebagai pemanasan?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
~jingGA
yaa ampun membunuh adalah pemanasan, apakabar dengan menu utama 😱😱😟😟
2023-05-31
0
Anonymous
gini niy kalo othornya pengalaman nyesep tequila..bs mendeskripsikan cara menikmatinya dg detail...
2023-03-12
0
~Kaipucino°®™
😱😱😱😱😱 Pembunuh bayaran kah?
2022-11-21
0