Halo semua. Apa kabar. Lexi dan Darren kembali hadir. Semoga cerita ini tidak kalah seru dari cerita para tetuanya. Dan semoga kalian suka. Dan omong-omong, beberapa bab awal akan sedikit membosankan karena membahas kisah di sekolah, tapi percayalah, konflik semuanya sudah ada di awal. Dan konflik kali ini sedikit berat, genk. Dan akan banyak plot twist. Semoga kalian suka. Komen, Like, Favorit, poin dan koin juga boleh (Hohohoho....) adalah penyemangat bagi kami author remahan. Tolong, bermurah hatilah. Mohon kerja samanya agar cerita ini tidak gantung atau pun pindah lapak😂🤣. HAPPY READING, GAES!!!
.
.
.
"Kau sudah datang?"
Bisikan di telinga Olivia membuat gadis itu berjengkit kaget sampai buku-buku yang ada di tangannya berjatuhan.
"Astaga, aku membuatmu terkejut lagi," Mr. Cony tertawa sembari berjongkok memungut buku-buku yang berserakan di lantai.
Olivia selalu mengisi waktu luangnya di perpustakaan. Selain ia memang gemar membaca, gadis itu juga bekerja di sana, merapikan dan membersihkan rak-rak buku. Ia akan digaji satu kali seminggu oleh pihak sekolah dan Arthur Cony lah yang bertanggung jawab untuk ruangan perpustakaan ini.
"Ma-maaf, Sir." Olivia pun turut membantu memungut buku-buku tersebut.
"Steven tidak ikut bersamamu?"
"Dia akan menyusul sebentar lagi. Dia sedang membeli air minum." Jelasnya. Ya, Steven sering membantunya merapikan perpustakaan. Tidak setiap hari, tapi lumayan sering.
Arthur mengangguk sembari menyodorkan sebuah buku kepada Olivia. "Seperti biasa, kau selalu tampak serius mengikuti materi yang kusampaikan. Kau dan Steven membuatku merasa dihargai. Ini beberapa rangkuman tentang materi yang kusampaikan tadi. Pelajarilah."
"Terima kasih, Sir." Olivia mengambil buku tersebut seraya membungkuk memberi hormat.
"Temui aku jika ada yang ingin kau tanyakan," tukas pria itu sebelum beranjak pergi dari hadapan Olivia yang direspon gadis itu dengan satu anggukan kecil.
Arthur memang salah satu guru yang sangat perhatian kepadanya dan juga Steven. Pria itu selalu membantu mereka jika ada pelajaran yang sulit untuk mengerti. Memberikan buku kepadanya, bukan baru kali ini dilakukan Arthur. Olivia bahkan sering meminjam buku-buku milik pria itu yang berhubungan dengan sejarah kuno.
Olivia memandangi buku yang ada di dalam genggamannya. Seperti buku tulis. Ya, memang, bukankah Arthur tadi mengatakan jika buku ini berisi rangkuman penting.
Olivia membuka lembar pertama buku tersebut. Sebuah nama tertulis di sana. Merry Cristina P. Dahinya mengernyit bingung kemudian mengidikkan bahu sembari memasukkan buku tersebut ke dalam tasnya. Ia akan membacanya nanti di rumah.
___
"Hei, lihatlah siapa yang datang?" Brian berdiri menghadang jalan masuk bagi Steven.
"Si anak petani," Neal ikut menghadang. "Kau yakin ingin membeli sesuatu di sini? Kau memiliki uang?" Cemoh pria itu dengan wajah congkak menyebalkan.
"Astaga, aku kehilangan beberapa dollar, apa kau yang mencurinya?" Dean, si pria tambun ikut menimpali dengan tuduhan tidak berdasar. "Ya, tidak salah lagi, tadi pagi kau sengaja menabrakku. Astaga, Percy! Kau tinggal mengemis kepadaku dan aku akan memberinya. Kami sangat murah hati, Kawan." Si tambun itu merangkul pundak Steven yang ditepis pemuda itu dengan segera.
"Ow, dia mulai bertingkah. Aku takut sekali," Dean memang pria yang sangat menyebalkan dan selalu membuat ulah. Dan tingkahnya semakin menjadi setelah ia bergabung dengan kelompok pembuat onar. Brian, Fred, Neal, dan Vincent.
Darren juga berteman dengan mereka, tetapi urusan membuat kekacauan pria itu selalu tidak ikut campur, baginya itu hanya membuang-buang waktu. Seperti saat sekarang, ia mengabaikan yang terjadi di depannya dengan sibuk bermain game di ponselnya. Tatapannya, boleh saja fokus ke layar, tapi telinga dan hidungnya tetap saja waspada. Ia harus memasang telinga untuk mendengar suara Lexi yang mungkin bisa saja datang tiba-tiba dan membela Steven. Hidungnya pun demikian, harus sensitif menangkap aroma Lexi yang memang wangi semerbak. Aroma saudarinya itu sudah tercium meski jaraknya masih beberapa meter.
"Ck! Itu penghinaan, Dean. Seorang putra walikota ditantang oleh seorang anak petani. Jika aku jadi dirimu, aku sudah menghajarnya." Sang provokator pun beraksi membuat Dean yang mudah terprovokasi segera berdiri di hadapan Steven, mendorong tubuh Steven dengan tubuhnya yang besar.
"Menyingkirlah dari hadapanku!" Steven berdesis sengit. Tubuhnya sudah terpojok di dinding. Kedua tangannya terkepal di masing-masing sisi. Hati dan logikanya berperang, haruskah ia memberi pelajaran kepada salah satu kelompok pembuat onar ini dengan melayangkan bogeman ke wajah Dean. Lantas, apa yang akan terjadi jika Steven menuruti emosinya? Beasiswanya terancam akan dicabut. Tentunya itu bukan hal yang ia inginkan. Orang tuanya sangat bangga kepadanya, terutama ibunya. Di ladang anggur milik keluarga Vincent, ibunya selalu membanggakan dirinya yang pintar dan bisa bersekolah secara gratis di Yale High School.
"Kalian dengar?" Dean lagi dan lagi bertingkah menyebalkan. "Dia berani membuka mulutnya dan mengusirku. Berikan ide, apa hukuman yang harus kuberikan padanya. Brian, kau tidak punya ide, pria culun ini selalu mengganggu gadismu. Menarik perhatian Lexi, lalu mengabaikannya dengan gaya menjijikkan!"
Darren mengangkat kepala untuk pertama kalinya, melihat Steven sekilas lalu menyorot Dean dengan tajam. "Lexi bukan milik siapa-siapa. Perhatikan ucapanmu, Dean." Datar, dingin, lambat, dan menghunus.
Dean terkesiap sesaat sebelum menyengir bodoh. "Santai, Men." kelakarnya yang hanya ditanggapi Darren dengan sorot mata tajam sebelum ia kembali fokus ke layar ponselnya.
"Gara-gara kau, Darren mengamuk, keparat." Dean meletakkan lengannya yang besar di leher Steven hingga wajah Steven merah padam dan kesulitan bernapas. Brian dan yang lain tertawa seakan terhibur dengan pertunjukkan yang ada di hadapan mereka. Wajah Steven semakin merah, matanya sampai membeliak.
Darren tiba-tiba berdiri dari kursinya dan menoleh ke belakang. Benar saja, Lexi terlihat berjalan ke arah mereka dan semakin mempercepat langkah setelah melihat apa yang menimpa pemuda idamannya itu.
"Astaga, badak yang tiada bercula! Apa yang kau lakukan kepada, Steven! Lepaskan dia!" Lexi menarik tangan besar Dean dengan kedua tangannya. "Aku bilang lepaskan! Steve, kau baik-baik saja?" Lexi terlihat sangat khawatir. "Hei, Badak! Kau mendengarku?!" Lexi melotot kesal ke arah Dean yang terlihat masih enggan untuk melepaskan lengan besarnya dari leher Steven.
"Apa kau tidak mendengar apa yang dikatakan adikku, sialan!" Darren menghampiri mereka. "Menyingkir dari sana, Lexi."
"Aku tidak mau sebelum dia melepaskan tangannya dari Steven. Dan aku marah padamu, Darren! Kenapa kau hanya diam saja melihat ini."
"Ini bukan urusanku," masih dengan santai menanggapi kekesalan adiknya kepadanya.
"Kau keterlaluan!"
"Menyingkirlah dari sana, Lexi." Darren kembali memberi peringatan. "Dan kau, Dean, lepaskan pemuda itu sebelum kita yang berakhir di lapangan."
"Ouch, Sial,..." Dean tiba-tiba mengumpat dan mengangkat tangannya dengan kuat. Lexi menggigit tangannya yang berujung gadis itu terjatuh ke lantai akibat dorongan yang tanpa sengaja dilakukan Dean.
"Bajingan!"
"Brengsek!"
"Keparat!"
Makian itu berasal dari tiga mulut pria yang berbeda. Darren, Steven, dan Brian.
Bugh!
Detik berikutnya, Dean tumbang di tanah akibat sundulan kepala seseorang yang membuat hidung Dean mengeluarkan darah segar. Kemudian wajah Dean dihajar secara membabi buta.
Darren yang tadinya hendak menghajar Dean karena sudah membuat Lexi terjatuh, baik itu disengaja atau tidak, dibuat terpaku di tempat melihat kemarahan Steven. Ya, Steven lah yang menyerang Dean.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
Reksa Nanta
Aku yakin sebenarnya Steven juga menyukai Lexi, dia bersikap acuh karena ingat posisi dirinya.
Tapi ketika perempuannya disakiti, secara refleks, Steven mengamuk.
2024-01-29
0
nobita
kekuasaan orang tua mengalahkan segalanya... kelakuan anaknya yg tidak punya etika. .
2023-10-24
0
~Kaipucino°®™
🤭🤭🤭🤭🤭
2023-03-09
0