"Lexi, ya ampun kau cantik sekali!" Lily dan Isla menghampiri Lexi yang baru saja menginjakkan kaki di aula Yale High School yang super duper besar.
"Kupikir kau tidak jadi datang?"
Ya, Lexi dan Darren datang terlambat. Percayalah waktu yang digunakan Darren untuk mandi lebih lama dibandingkan waktu yang digunakan Lexi. Entah apa saja yang dibersihkan Darren di tubuhnya yang sudah indah dan wangi.
"Apakah Mr.Cony sudah menyampaikan pidatonya? Kudengar ia juga akan tampil membawakan syair kuno."
"Kau melewatkan semuanya. Yang menyampaikan pidato bukanlah Mr.Cony melainkan Adulfo Miles, sang pemilik Yale High School dan juga sebagai yang terhormat presiden AS." Jelas Lily berapi-api.
"Hai Lexi, kau cantik sekali."
Ketiga gadis itu menoleh ke arah sumber suara. Brian dengan pakaian yang super mewah berjalan mendekat ke arahnya. "Satu hari tidak melihatmu di sekolah membuatku rindu setengah hidup," pemuda itu membual. "Mau berdansa denganku?" Brian mengulurkan satu tangan menunggu Lexi menerima uluran tersebut.
"Kau harus meminta izin saudaraku jika ingin berdansa denganku, Brian." Lexi menunjuk ke arah Darren yang berdiri di sisinya, memeluk pinggangnya dengan posesif.
Brian berdecak, "Tidak bisakah kau mengambil keputusan sendiri, Lexi. Kakakmu terlalu berlebihan. Kurasa dia cemburu kepadaku."
Lexi terkikik, "Oh Tuhan, Brian, kau percaya diri sekali. Tidak ada satu pun yang bisa membuat seorang Darren Willson merasa cemburu."
"Itu katamu," Brian tidak mau kalah meski yang dikatakan Lexi benar adanya. Banyak yang merasa tersaingi dengan Darren si wajah dingin. Sikap acuh tidak acuh pria itu justru membuat banyak gadis tergila-gila kepadanya. Bahkan para gadis yang menjadi incaran Brian dan teman-temannya.
"Itu aku yang mengatakan dan dunia mengakuinya." Lexi kembali menimpali sembari bergelayut manja di lengan Darren yang dari tadi hanya diam. Irit bicara seperti biasa. Hanya keluarganya yang tahu betapa cerewetnya pria itu.
"Willson memang selalu menyebalkan," Brian berdecak kesal lalu memilih meninggalkan Lexi dan Darren.
"Omong-omong Darren, apa aku boleh berdansa dengannya?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Aku katakan tidak artinya tidak. Jangan membangkang."
"Ck! Posesif." Lexi mengerucutkan bibirnya.
"Aku iri denganmu, Lexi. Kau memiliki saudara tampan yang sangat menawan." Lily menatap kagum pada Darren yang tampak sangat memukau malam ini. Darren mengenakan jas berwarna senada dengan yang dikenakan oleh Lexi. Mereka terlihat seperti pasangan yang kompak dan serasi. Terkadang banyak yang mengira jika keduanya adalah sepasang kekasih. Tentunya anggapan itu datang dari orang-orang awam yang tidak mengenal mereka atau orang-orang yang kurang up to date. Darren juga tipikal orang yang tidak menyukai sorot media. Bukan hanya dirinya saja, tetapi juga Austin. Hanya Lexi yang akan dengan senang hati bergaya dan diwawancarai di depan media.
"Kau bisa berdansa denganku," Darren membimbing Lexi ke tengah lapangan. Darren tidak ingin repot-repot menolak ajakan para gadis yang memaksanya untuk berdansa dengannya. Kerongkongannya bisa kering jika harus menolak semua ajakan para gadis tersebut.
"Lily, Isla, aku ke lantai dansa dulu. Bye."
"Ck! Aku ingin sekali berdansa dengan Darren." Lily bergumam menatap iri kepada Lexi. Isla mengangguk membenarkan.
"Ya, aku juga tidak akan menolak keberuntungan itu. Pestanya membosankan, bagaimana jika kita mencari hiburan, Lily. Aku melihat Olivia Phyllida beberapa saat lalu bersama kumpulan orang-orang kutu buku lainnya."
"Oh, jadi dia datang? Aku penasaran seperti apa gaun yang ia kenakan." Lily tampak bersemangat. Keduanya pun melintasi aula besar tersebut mencari sosok Olivia.
Setelah mengitari aula akhirnya mereka melihat Olivia sedang berbincang dengan Mr.Cony. Tidak berapa lama si guru menawan itu pergi undur diri.
Olivia memendarkan pandangan, memilih untuk menikmati makanan daripada harus bergabung dengan yang lain. Ia menundukkan kepala menghindari tatapan yang lain.
"Hei, lihat siapa yang datang?" seru Isla menghadang langkah Olivia. Olivia mengangkat kepala, di depannya sudah berdiri Lily, Isla dan beberapa gadis lainnya.
"Si Olivia Phyllida, gadis pintar yang menyedihkan."
"Oh Olive, aku tidak melihat Popeye-mu si Percy, di mana dia?"
"Aku tidak tahu, biarkan aku lewat."
"Membiarkanmu lewat?" Lily menyorot penampilannya dari atas ke bawah. Olivia mengenakan gaun selutut berwarna putih gading dengan lengan panjang. "Omong-omong, darimana kau mencuri gaun itu? Merayu Mr.Cony?"
"Apa maksudmu? Aku membelinya dengan menggunakan uangku!"
"Oh ya, kalian percaya?" Lily bertanya kepada teman-temannya.
"Percaya? Tentu saja tidak!" Isla mencengkram lengan Olivia. "Aku akan merobek mulutmu jika kau berani berteriak." Bisik wanita itu di telinga Olivia. "Kita hanya bersenang-senang sedikit." Isla mendorong tubuh Olivia agar berjalan di barisan depan. Lily dan temannya yang lain menyusul. "Apa yang diberikan Mr.Cony kepadamu?"
"Gaji mingguanku." sahut Olivia berusaha tetap setenang mungkin.
"Gaji mingguan? Pasti ada bonusnya? Kau dan dia bersenang-senang di perpustakaan 'kan?" Lily menuding sembari mendorong tubuh Olivia masuk ke dalam toilet.
"Apa maksudmu?" tanya Olivia.
"Maksudku kau dan dia berbuat mesum di perpustakaan." Joanna mendorong tubuh Olivia hingga membentur dinding.
"Apa yang kau katakan? Mr.Cony, pria yang baik. Dia tidak akan berlaku kurang ajar pada siswinya."
"Ck! Lupakan tentang Mr.Cony. Kita di sini untuk bersenang-senang." Isla mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Alat tempur make up.
"Kau sudah mengenakan gaun indah, sebaiknya kami mendandanimu." Isla melepaskan kaca mata tebal yang bertengger di hidung gadis itu. "Ya, singkirkan kaca mata ini untuk menunjang penampilanmu." Isla memberi isyarat agar Lily dan Joanna menahan tangan Olivia.
Olivia memberontak dan menjerit dengan sigap Isla membungkam mulut Olivia dengan sapu tangan. Gadis itu juga melepaskan kepangan rambut Olivia hingga tergerai, pun dengan poninya menjuntai hampir menutupi matanya.
"Kita hanya sebentar Olivia, Sayang. Kami hanya berniat baik untuk mengubahmu agar terlihat cantik." Isla mengukir alis Olivia setebal mungkin, mengalahkan tebalnya alis Shincan. Membubuhkan eyeshadow warna warni menyerupai pelangi, menyapukan blush on, semerah mungkin sehingga Olivia terlihat seperti gadis yang baru saja mendapat tonjokan di wajahnya.
Sebelum Isla mengoles lipstik di bibirnya, Olivia menendang Isla hingga terjatuh. Lily dan Joanna sontak melepaskan pegangan mereka untuk membantu Isla.
Olivia pun berlari menyelamatkan diri.
"Olivia, astaga, apa yang terjadi denganmu?" Lexi yang melihat penampilannya segera mengeluarkan tissue basah dan membersihkan wajah Olivia. "Siapa yang melakukan ini padamu? Olivia, aku ingin meminta maaf padamu..."
"Maaf, aku harus pergi," Olivia menyingkirkan tangan Lexi dari wajahnya. "Bisa aku meminjam jepit rambutmu? Poniku menghalangi jalanku."
"Oh, tentu saja." Lexi segera melepaskan jepit kupu-kupu dari rambutnya dan memasangnya di atas kepala Olivia.
"Terima kasih," Olivia menoleh ke belakang dan berlari.
Bugh!
Tubuhnya menabrak pelayan yang sedang membawa minuman hingga isinya tumpah dan. berserakan di lantai. Pakaiannya basah hingga gaunnya yang berbahan tipis membuat tubuhnya terekspos.
Olivia gugup dan panik. Bagaimana sekarang? Ia menjadi pusat perhatian. Ia berharap Steven datang menyelamatkannya.
Tiba-tiba tangannya di tarik paksa agar berdiri. Sebuah jas dipasangkan ke tubuhnya. Ia menoleh dan terkejut melihat siapa penyelamatnya, Darren Willson.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"A-aku..." Olivia gugup, ia menoleh ke balik punggung pria itu. Isla dan teman-temanya terlihat mendekat. "Aku harus pergi." Olivia berbalik dan segera berlari. Darren mengikutinya. Sayang, Olivia menghilang di tengah kerumunan.
"Darren, kau mencari siapa?" Lexi menghentikan niat Darren yang ingin mengikuti Olivia.
Sementara Olivia terus berlari hingga keluar aula.
"Olivia?"
Panggilan seseorang membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh dan melihat sesosok pria tampan yang berdiri di belakangnya. Vincent Trey.
Vincent mendekat dan menyeringai. Tanda bahaya yang sangat jelas.
Vincent mengeluarkan ponsel, menarikan jemarinya di atas layar. Mengirim pesan kepada teman-temannya.
"Kudengar kau membuat laporan," tatapan Vincent membuatnya membatu di tempat. "Aku tidak menyangka kau sungguh mempunyai nyali." Bau alkohol menguap dari napas pria itu. Maniknya juga merah manandakan bahwa pemuda itu sudah mabuk. Ditariknya Olivia dan diseretnya masuk ke dalam salah satu ruangan kelas. Sama seperti Isla, Vincent pun mengeluarkan sapu tangan dan membungkam mulut Olivia.
"Kau sangat nikmat, kau tahu itu," Vincent membelai wajah Olivia. Gadis itu menggeleng menolak sentuhan Vincent di wajahnya. "Fred memberikan obat yang sangat hebat diminuman kami. Bersenang-senanglah dengan kami sekali lagi, Olivia." Bertepatan dengan kalimat yang meluncur dari mulutnya, pintu itu terbuka. Brian, Neal, Fred dan Dean menyerbu masuk.
"Kau berani melaporkan kami, heh? Tindakan bodoh." Srek! Kelima pria itu kembali melucuti pakaian Olivia.
.
.
.
Oke, genk, bab selanjutnya masuk ke masa kini. 13 tahun kemudian. Selamat menjalankan ibadah puasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
Reksa Nanta
Apakah Darren juga ikut memperkosa Olivia ?
2024-01-29
0
nobita
wah.. hebat sekali author ku ini... para readers diajak manyelami alur ceritanya yg super duper kereeen...
2023-10-24
0
Diii
kan udah di bilang ga usah datang...ngapain coba
2023-09-13
0