Jeruji dibuka. Makanan para napi dibawa masuk. Diletakkan dengan kasar. Layaknya memberi makanan binatang. Ya, memangnya sebutan apa yang cocok untuk para penjahat?
"Ambil sesuai jatah," seru pengantar makanan tersebut dengan nada datar yang terkesan malas. Pintu kembali ditutup.
"Bangunkan bocah itu." Riston memberi perintah tanpa menunjuk atau pun menyebut nama.
"Hei, bocah, jika kau tidak bangun, jangan salahkan kami mengambil jatahmu lagi."
"Apakah dia pingsan?"
"Mungkin dia tidur."
"Atau mungkin dia sudah mati."
"Dia tidak akan mati semudah itu. Semesta tidak akan membiarkan kita melewati hukuman ini dengan begitu mudah. Baiklah, mari kita makan saja bagiannya."
Steve bertanya-tanya, bagaimana bisa orang-orang tersebut mampu menikmati makanan tersebut.
Sesungguhnya ia tidak tidur dan memang tidak bisa tidur walai ia ingin tidur. Selain ruangan yang sempit dan bau, perutnya juga lapar minta ampun. Tapi jika disuruh makan, ia tidak sanggup menikmati makanan tersebut. Seperti yang dikatakan tadi, menunya tidak ubahnya makanan binatang. Steve tidak peduli tentang makanan. Makanan berbau basi yang menjijikkan, berlalat dan berulat yang berasal dari sayur yang mungkin sudah tidak layak dikonsumsi dan tidak juga dicuci dengan bersih. Fakta tersebut, benar-benar membuatnya sanggup berpuasa. Ini keempat kalinya makanan para tahanan diantar. Artinya, ia sudah satu malam di sana. Dua puluh empat jam, rasanya sudah seperti tahunan. Badannya remuk semua. Selain Riston mencekik lehernya, pria itu juga meminta Steve untuk memijat tubuhnya. Steve hanya bergeming. Menjawab tidak, bergerak atau bertindak pun tidak. Dianggap sebagai pembangkang, kepalanya kembali mendapat serangan dari salah satu antek Riston. Bison, begitu mereka menyebut namanya. Apakah itu memang nama asli pria tersebut atau karena wajah dan perawakannya yang memang mirip Bison. Hei, memangnya siapa yang peduli akan hal itu!
Sampai sekarang, Steve bisa merasakan benjol di kepalanya.
"Apa kau sengaja mengosongkan perutmu? Ingin bunuh diri dengan cara mati kelaparan?" Rudolf, pria lainnya ikut menimpali. Kasus pria itu adalah membunuh istrinya lalu memakan dagingnya setelah ia memasaknya menjadi sop. Setelah puas menikmati daging istrinya, Rudolf menyerahkan diri secara cuma-cuma ke penjara, membawa serta barang bukti berupa tulang belulang istrinya. Rudolf nekat membunuh istrinya karena diduga berselingkuh dan kerap melayangkan sindiran pedas kepadanya yang saat itu sedang menganggur. "Ya, tidak masalah. Sudah lama aku tidak menguliti manusia."
Steve tetap pada posisinya. Tidak memberi reaksi sama sekali. Apakah ia tidak takut? Jawabannya, sangat takut! Percayalah, tubuhnya bahkan gemetar membayangkan tubuhnya yang kering dikuliti hidup-hidup. Ayolah, Steve baru berusia 17 tahun dan ia hanya seorang anak petani. Steve dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang. Ia tidak pernah terlibat dalam hal-hal yang melanggar norma dan moral. Pergaulannya suci, karena ia memang tidak memiliki teman. Lalu tiba-tiba, ia terbangun dan semuanya berubah. Ia berada di ruangan yang sama dengan sekumpulan orang dengan kasus yang mengerikan, kanibal, pembunuh, pemerkosa, bandar narkoba, perampok.
Remaja seusianya tidak akan memiliki kekuatan untuk melawan. Ia bukan super hero. Ia hanya seorang Steven Perce yang memiliki postur tubuh yang menyedihkan. Penampilannya sangat buruk. Tubuh kurus kering dengan kaca mata berbingkai bertengger di hidungnya yang mancung dan panjang. Ah, di mana kaca matanya? Pertanyaan apa lagi ini? Kaca mata malang itu sengaja diinjak oleh pria bernama Gambus. Kasusnya adalah membegal salah satu menteri. Pria pembantai itu salah sasaran.
Byuur!!
Steve tersentak, ia langsung bangkit dan duduk. Sepertinya apa yang dikatakan salah satu napi tadi benar adanya. Semesta tidak akan membiarkannya mati dengan begitu mudah.
Gelak tawa terdengar melihat wajah pucatnya yang terkejut. Apa yang lucu? Apakah menindas orang lemah terlihat sangat lucu bagi mereka. Sekarang, Steve sadar, ternyata bukan hanya orang kaya saja yang menindas seperti yang ia dan Olivia dapatkan di sekolah. Di sini, ia pun ditindas oleh-oleh orang menjijikkan yang merasa dirinya kuat. Ia sadar, hidup ini bukan tentang siapa yang kaya dan yang miskin, melainkan tentang siapa yang mempunyai kekuatan. Dan beruntunglah mereka yang kaya dan juga memiliki kekuatan, seperti Darren Willson, Steve bergumam dalam hati. Lalu bagaimana dengan nurani? Untuk apa hebat da kuat jika tidak memiliki empati, nurani yang baik?
"Kukira kau sudah mati." Riston menyeringai. "Bersihkan piring-piring ini dengan menggunakan mulutmu." Tidak salah lagi, manusia-manusia yang satu ruangan dengannya memang tidak layak dikatakan manusia. Steve melirik piring-piring tersebut, tanpa sadar ia menyeringai sinis, bagiannya benar-benar dilahap abis.
"Hanya karena kalian sekumpulan binatang, bukan berarti kalian bisa memaksaku untuk menjadi salah satu dari kalian," entah mendapatkan kekuatan dari mana, kata-kata pedas itu terlontar begitu saja diiringi dengan tatapan tajam yang menghunus. Untuk sesaat, ruangan itu mendadak hening. Para napi tersebut shock dengan apa yang mereka dengar. Untuk pertama kalinya Steve berbicara dan pemuda itu dengan lantang menyebut mereka binatang.
Steve kembali berbaring. Kini bukan hanya menahan mual dan lapar, tapi ia juga kedinginan. Bajunya basah akibat perbuatan di Riston sialan!
"Apakah dia baru menyebut kita binatang? Beraninya kau...!"
"Hentikan!" Riston menyela. "Biarkan dia." Ucap pria itu kemudian yang mengundang tatapan tidak terima dari yang lainnya.
Keesokan harinya, para napi dibiarkan keluar dari jeruji. Dalam dua kali seminggu, para napi memiliki kesempatan untuk menghirup udara dan melihat matahari. Seluruh tahanan dikimpulkan dalam lapangan yang sangat luas. Steve hanya duduk, memperhatikan dengan tatapan kosong, sekumpulan orang yang sedang bermain bola.
Apakah ia akan terbiasa dengan ini semua? Tidak. Hatinya menjerit, tidak yakin dengan kekuatan yang ia miliki, tubuhnya tidak akan kuat menerima lebih banyak pukulan. Steve melihat tangannya gemetar, ia benar-benar kelaparan.
Ah, ingin rasanya ia melaungkan tangisannya. Lalu apa yang ia dapatkan jika ia menangis? Tidak ada, bukan? Selain lapar, ia juga mengalami dehirasi. Bibirnya kering dan pecah-pecah. Percayalah, rumah tahanan ini tidak ubahnya dengan kandang binatang yang dipenuhi dengan hewan perekat. Sejauh mata memandang, tidak ada celah untuk meloloskan diri. Penjara itu dikelilingi hutan dan pengawasan yang ketat.
Bugh!!
Steve merasakan pusing luar biasa. Darah bercucuran dari hidungnya. Sebuah bola mendarat di wajahnya. Apakah bola itu meleset ke arahnya? Tentu saja tidak! Ia diserang dengan sengaja. Steve mencoba untuk berdiri, tapi saat ia mencoba, ia justru kehilangan keseimbangan dan jatuh pingsan. Beberapa penjaga yang mengawasi dari tadi segera menghampiri dan membawa Steve ke ruang pengobatan. Ah, kenapa dia tidak dibiarkan saja. Ia ingin mati. Untuk apa ditolong jika kemudian kembali mendapat siksaan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
Munawir Az
woooow...
2023-05-19
0
~Kaipucino°®™
😃😃😃😃😃
2023-03-31
0
~Kaipucino°®™
🤭🤭🤭🤭🤭
2023-03-31
0