"Kau baik-baik saja, Sayang?" Daphne memijat tengkuk Lexi yang baru saja memuntahkan isi perutnya untuk kesekian kalinya. Wajah gadis manis itu terlihat sangat pucat. Peluh membasahi tubuhnya yang terasa dingin. Perjalanan menuju penjara tempat Steve ditahan harus melalui kapal laut dan Lexi benar-benar mabuk laut. Baginya, ini perjalanan paling mengerikan.
Mungkin perjalanan yang mereka lalui tidak akan seburuk ini jika mereka diperkenankan menggunakan salah satu yacht milik keluarga Willson. Sayang, syarat yang harus mereka penuhi demi untuk berjumpa dengan Steve adalah dengan menggunakan kapal yang sudah disediakan. Kapal yang tidak menawarkan kenyamanan sama sekali. Lexi curiga jika pengemudinya juga tidak memiliki izin. Mereka seperti terombang ambing di atas laut. Mungkin ini disengaja agar para pengunjung berpikir berulang kali untuk datang ke penjara tersebut. Dan untuk jumlah orang yang diperkenankan berkunjung ke sana juga dipatok hanya untuk dua orang.
Pax Willson membujuk agar Lexi tidak ikut. Ia dan istrinya tidak bisa melepaskan Lexi begitu saja tanpa pengawasan. Lexi bersikeras untuk tetap ikut. Givano Percy akhirnya mengalah dan ikut membujuk Pax bahwa Daphne, istrinya, akan menjaga Lexi. Dengan berat hati, Pax akhirnya memberi izinnya. Tidak lupa ia melontarkan kalimat ancaman pada beberapa petugas yang akan mengantar Daphne dan Lexi ke tujuan. Butuh waktu satu bulan bagi mereka untuk mendapat izin dari pemerintahan untuk bisa mengunjungi Steve dan Lexi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
"Aku baik-baik saja, Ibu." Lexi memaksakan diri untuk tersenyum. Dandanannya sudah berantakan. Ia begitu semangat untuk bertemu dengan Steve. Dengan senagaja ia mengenakan pakaian terbaiknya, rambut keritingnya sengaja ia luruskan agar kepalanya tidak terlihat besar. Parfum mahal yang ia semprotkan ke seluruh tubuhnya sudah tidak tercium lagi akibat bau amis dari kapal yang mereka tumpangi. "Sebentar lagi kita akan bertemu dengan Steven. Aku sungguh tidak sabar!" Senyumnya yang indah kembali terpatri di wajahnya. Ya, kapal yang mereka tumpangi sudah mendarat.
"Untuk sampai ke penjara, kita harus berjalan kaki melewati hutan lagi, Ms. Willson." Celetuk seseorang.
Lexi dan Daphne kompak mengernyitkan dahi mereka. Sejauh mata memandang, memang yang terlihat hanyalah pepohonan dan tumbuhan liar lainnya. Kicauan burung dan suara hewan lainnya yang saling bersahutan juga baru mereka sadari.
Sesungguhnya, ada mobil khusus yang seharusnya menjemput mereka. Mobil yang biasanya digunakan untuk membantu para relawan. Tetapi kali ini, mereka dengan sengaja tidak mengeluarkannya.
"Jika kalian tidak ingin bermalam di hutan, sebaiknya kita beranjak. Jika kita bergerak cepat, kurang lebih enam puluh menit, kita akan sampai. Perhatikan jalan kalian. Bisa saja tanpa sengaja kalian menginjak ular atau hewan lainnya dan kami tidak ingin menanggung resiko hanya karena kecerobohan kalian." Ucap pria itu dan segera melangkahkan kaki masuk ke dalam hutan disusul oleh tiga temannya.
"Lexi..." Daphne terlihat khawatir. Ia tidak yakin Lexi mampu berjalan kaki melewati hutan.
Lagi dan lagi Lexi menerbitkan senyumnya. "Tidak apa-apa, Ibu. Aku dan keluargaku sering berkemah di gunung. Kami harus berjalan kaki untuk mencapai puncak gunung tersebut. Ini mungkin sama saja, jadi Ibu tidak usah khawatir." Lexi sengaja berbohong untuk menenangkan hati Ny. Percy. Sama seperti Daphne yang mengkhawatirkannya, Lexi juga merasakan demikian. Daphne akhir-akhir ini sering sakit. Lexi takut jika ibu dari pria yang ia cintai itu tiba-tiba pingsan.
Mereka saling menggenggam dan saling menguatkan. Beberapa kali Lexi tersandung, menciptakan luka di kaki mulusnya. Selain di kakinya, Lexi juga mendapatkan luka di lengan akibat tumbuhan berduri hingga menyebabkan bajunya robek. Ingin rasanya ia menangis menahan rasa perih dan haus. Tapi mengingat wajah Steve, ia mencoba menahan diri. Ia ingin memastikan pria itu baik-baik saja dan ia juga tidak ingin melihat wajah Mrs. Percy merasa bersalah.
"Lukamu harus diobati. Darahnya terus saja mengalir."
"Kita tidak memiliki obat, Ibu. Aku bisa menahannya. Ini hanya luka ringan. Oh, Ibu, aku tidak sabar ingin bertemu dengan Steve. Aku yakin dia akan terkejut melihat kedatangan kita."
"Maafkan, Ibu, Sayang." Daphne tahu jika Lexi sengaja menerbitkan wajah sumringah agar ia tidak khawatir. "Ini kebodohanku. Harusnya, Ibu tidak meminta tolong kepadamu."
"Ini bukan salahmu. Aku memang ingin bertemu dengan Steve. Ayo, sebentar lagi kita akan sampai. Aku sudah melihat bangunannya."
___
"209, kau kedatangan tamu," seorang sipir membuka sel dan menyuruh Steve keluar. Para tahanan mendadak ricuh. Bagi mereka yang sudah bertahun-tahun di sana, mendapat kunjungan dari keluarga adalah hal yang mustahil. Bahkan Riston sendiri tidak bisa bertemu langsung dengan orang kepercayaannya yang memasok barang haram tersebut ke dalam penjara.
Steve menerka-nerka, siapakah gerangan yang datang? Dengan kedua tangan terbogol ia mengikuti sipir tersebut.
Sipir membawanya masuk ke dalam suatu ruangan. Steve bisa melihat ruangan tersebut dipenuhi layar yang menampilkan seluruh bangunan tersebut dari berbagai sudut. Bahkan ia bisa melihat Riston sedang menikmati narkoba. Artinya, apa yang diperbuat Riston dan rekannya disaksikan oleh para petugas. Steve memendarkan pandangannya, menatap beberapa pasang mata yang bertugas di sana. Ada yang menyeringai sinis dan ada yang melayangkan tatapan mesum. Steve benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa para manusia itu berperilaku layaknya iblis dan binatang.
"Masuk!" Ia di dorong ke dalam ruangan yang sangat kecil yang yang hanya mampu menampung dua orang. Borgolnya di lepas. "Waktumu hanya sepuluh menit." Sipir itu kemudian keluar.
"Steve..." Lirihan seseorang yang begitu sangat familiar di telinganya. Steve langsung menoleh dan hatinya seketika mencolos melihat sosok ibunya yang berderai air mata. Steve berlari dan duduk di depan kaca yang menjadi pembatas diantara mereka.
"Mom..." Steve menatap penuh kerinduan. Ia tidak menangis, tidak ingin menangis. Ia tidak ingin terlihat lemah, walau sesungguhnya ia sudah tidak kuat lagi.
"Ada apa dengan wajahmu? Apa mereka memperlakukanmu dengan sangat buruk? Oh, Sayang, kau terlihat sangat menyedihkan."
"Bagaimana kedaanmu, Mom?"
"Seperti yang kau lihat, Mom sangat merindukanmu. Oh Tuhan, apa yang mereka lakukan kepadamu? Hampir-hampir Mom tidak mengenalimu jika Lexi tidak mengatakan jika ini adalah kau."
Steve melirikkan matanya sekilas kepada gadis yang menenangkan ibunya. Melihat robekan di lengan gadis itu, juga darah yang masih mengalir. Saat mata mereka bertemu, Lexi menerbitkan senyum indah di tengah cucuran air mata yang juga membanjiri wajah anggunnya. Steve tidak membalas senyuman gadis itu. Ia mengalihkan tatapannya kembali kepada sang ibu.
"Mom, bolehkah aku meminta tolong?"
Daphne mengangguk dengan segera. "Katakan, Sayang, apa yang bisa Mom lakukan?" Walau ia tidak yakin apakah ia bisa memenuhi permintaan putranya yang malang.
"Tolong pergilah dan anggap aku sudah mati." Steve segera berdiri dan berbalik menuju pintu keluar.
"Steve, apa maksudmu?" tangisan Daphne kembali pecah. Steve bergeming, enggan menoleh kebelakang.
"Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu, Steve? Apakah menurutmu, Mom bisa melakukannya? Steve, kemarilah, Sayang. Lexi juga ingin berbicara denganmu. Butuh waktu satu bulan bagi ayahnya untuk mendapat izin agar kami bisa mengunjungimu. Lexi juga terluka, ia begitu semangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya sapa lah dia."
"Aku tidak mengharapkan kedatangannya dan aku muak dengan wajahnya."
Lexi merasakan hatinya tercabik-cabik. Lagi dan lagi Steve menolaknya. Rasa lelah yang tadi hilang kini mulai terasa akibat penolakan sinis yang dilayangkan Steve secara terang-terangan.
"Steve, kau tidak boleh berkata seperti itu." Daphne menegur putranya seraya mengusap punggung Lexi.
"Tidak apa-apa, Ibu. Steve hanya merasa tertekan. Aku bisa mengerti." Lexi menatap punggung pria itu dengan tatapan nanar. Diperhatikannya kuku tangan dan kaki yang tidak terawat. Hatinya miris melihat kondisi pria itu. Ini baru tiga bulan, Lexi tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dua puluh tahun ke depannya.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kaca matamu dan aku juga tidak tahu kenapa aku membawa kaca mata untukmu. Aku menitipkannya kepada petugas yang mengantar kami tadi. Aku harap kau mau menerimanya. Steve, apa pun yang terjadi, aku akan tetap menunggumu. Untuk itu tetaplah kuat."
Steve melanjutkan langkahnya, menarik pintu dan segera keluar. Tidak memberi jawaban atas pernyataan Lexi tersebut.
Begitu Steve tidak terlihat, tangis kedua wanita itu kembali pecah. Lexi dan Daphne saling berpelukan. Menguatkan satu sama lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
~Kaipucino°®™
Ternyata kabar bahwa ayahnya lexi yg menyuruh utk dibawa ke penjara khusus ini berhasil membuat steven menjadi benci pada pax
2022-11-21
0
🇵🇸Kᵝ⃟ᴸ
seperti di kehidupan nyata, terkadang ada oknum yg menangkap orang yang tidak bersalah, dan mungkin memang nasib orang itu harus begitu. seperti halnya steve
2022-10-06
0
✯
terkadang ketidak tahuan akan menyelamatkan kita dari rasa sakit,🙃🙃
2022-08-14
2