Halo Bestie.... Apa kabar? Hurt kembali up dan semoga bisa rutin ya, genk. Btw, ini sudah direvisi dari bab 12 ya. Silakan dibaca ulang. Happy Reading semua!!! Bab ini dikhususkan untuk salah satu readers yang sedang bertambah umur di tanggal 10 kemarin. Happy milad, Tiwi. Doa terbaik untukmu🤗🤗
.
.
Di sebuah kamar yang dipenuhi nuansa warna pink, terlihat Lexi merenung dengan pandangan kosong. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Selama dua minggu, ia dirawat di rumah sakit. Berlebihan memang mengingat sesungguhnya dokter sudah mengizinkan Lexi sudah bisa pulang setwlah tiga hari. Tidak ada luka serius yang dialaminya. Tetapi Pax dan Alena bersikeras jika Lexi harus dalam pantauan dokter. Ibu Steven, Mrs. Percy juga dirawat di rumah sakit selama satu sepuluh hari. Di rumah sakit milik keluarga Willson sehingga ayah dan ibu Steven tidak perlu mengeluarkan biaya sama sekali.
Selama dua minggu di rumah sakit, Lexi belum mendapat kabar apa pun tentang Steven. Dan sekarang, setelah dua minggu kemudian, ia pun masih mendengar kabar apa-apa. Bayang-bayang kematian Olivia juga terus menghantuinya. Ia kerap mengalami mimpi buruk, melihat Olivia menuntut keadilan kepadanya.
Lexi benar-benar takut. Baginya, malam begitu mengerikan. Ia benci malam. Ketakutannya itu, ia pendam sendiri. Karena jika ia menjelaskan kepada keluarganya, Lexi yakin jika ayah dan ibunya akan berusaha melakukan apa pun untuk menghalau mimpi buruk tersebut. Lexi tidak ingin melakukan hal tersebut, biarlah ini menjadi hukuman baginya. Ia memang memiliki salah kepada Olivia.
Namun, mengingat Steven, membuat hatinya terasa disayat-sayat. Lexi tidak bisa membayangkan penderitaan Steven di dalam penjara. Pria itu masih terlalu muda untuk menghadapi kerasnya kehidupan penjara.
Lexi sudah merengek kepada ayah dan ibunya untuk membantu Steven. Menyuarakan bahwa Steven tidak akan mungkin melakukan hal sekeji itu. Lagi pula, Steven masih di bawah umur, tidakkah usia tersebut bisa dijadikan sebagai alasan untuk keringanan hukuman yang dituduhkan kepadanya.
Lexi mengira, ayahnya bisa ia andalkan untuk membantu Steve. Nyatanya, hingga satu bulan, ayahnya tidak kunjung memberikan kabar baik, membuat hatinya semakin nelangsa. Lexi mengurung diri di kamar. Menolak berkomunikasi dengan keluarganya. Ia mogok melakukan semuanya. Mogok makan, mogok bicara. Ia tidak pernah kunjung turun dari kamar. Tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Bobot tubuhnya yang menyusut tidak ia sadari.
Deringan ponselnya sedikit membuatnya tersentak. Ia menoleh tanpa minat. Begitu melihat siapa gerangan yang menghubunginya, Lexi dengan gerakan cepat menyambar ponselnya.
"Iya, Ibu, ada apa? Kau baik-baik saja?" Mrs. Percy lah yang menghubunginya. Kesedihan yang ia tanggung tidak ada apa-apanya dibanding kesedihan yang dirasakan oleh wanita itu. Setiap hari, Mrs. Percy selalu menangis. Menangisi janinnya yang gugur dan nasib Steven yang malang.
"Lexi..." Suara serak di seberang telepon menandakan jika wanita itu juga sedang menangis.
"Ya, Ibu, aku mendengarkanmu. Kau sedang menangis?" Manik indah Lexi turut berkaca-kaca dan tidak butuh waktu lama kristal bening itu meluruh membasahi wajahnya. Untuk sesaat keduanya sama-sama menangis. Selalu begitu sejak mereka keluar dari rumah sakit.
"Ibu, aku mohon, berhentilah menangis. Katakan, apa terjadi sesuatu yang buruk denganmu, dengan ayah?"
Lexi meringis mendengar pertanyaannya sendiri. Memangnya apa lagi yang lebih buruk dari semua masalah yang sedang terjadi saat ini. Kehilangan bayi yang sudah dinanti kelahirannya, putra tersayang dituduh memperkosa dan membunuh, dan suami diberhentikan dari kebun anggur milik keluarga Vincent untuk alasan yang tidak jelas. Barang-barang pemberian Lexi juga sudah dikembalikan karena tidak bisa mereka gunakan lagi. Dengan berat hati, Lexi meminta beberapa orang mengamankan barang-barang tersebut.
"Lexi, Ibu sekarang sedang berada di luar penjara. Mereka mengatakan Steven tidak dikirim ke sana." tangisan wanita itu kembali pecah. Samar-samar terdengar suara pria yang mencoba menenangkan Ny. Percy. Lexi jelas mengenal suara tersebut, Givano Percy, ayah Steven.
"La-lalu kemana mereka mengirimnya?"
"Penjara isolasi, di pulau terpencil. Mereka mengatakan itu penjara yang sangat mengerikan. Tidak jauh berbeda dengan penjara Bang Kwang, Thailand. Ibu tidak mengerti maksudnya apa."
Bang Kwang adalah penjara yang dibangun pada 1930-an ini dikenal sebagai salah satu hotel prodeo paling padat di dunia dan sangat kumuh. Bang Kwang juga terkenal karena menjadi penjara paling buruk lantaran hukuman yang tidak adil serta pelecehan yang kerap dilakukan sipir kepada napi.
Bang Kwang dikenal sebagai salah satu penjara paling keras di dunia, dengan kondisi menyebabkan banyak tahanan kehilangan nyawa atau kewarasan. Selama 3 bulan pertama menjalani hukuman, setiap napi dirantai dengan besi di kaki. Ini menyebabkan pukulan terhadap psikologis serta penurunan kemampuan bergerak. Kaki napi yang dijatuhi hukuman mati juga diikat dengan rantai secara permanen, sebelum mereka menemui ajal, baik oleh regu tembak atau baru-baru menggunakan metode injeksi.
Kapasitas awal penjara yang berlokasi di Provinsi Nonthaburi ini adalah 3.500 orang, namun dihuni lebih dari 8.000 napi yang menjalani masa hukuman minimal 25 tahun hingga seumur hidup. Penjara ini juga menjadi tempat bagi napi yang sedang menunggu proses banding atas vonis berat serta mereka yang menantikan hukuman mati.
Penjaga penjara sering memukuli napi menggunakan tongkat. Perlakuan itu juga dialami napi yang mengalami gangguan mental akibat kerasnya perlakuan, bahkan terhadap perempuan hamil. Karena kurangnya sanitasi di penjara, banyak napi menderita kekurangan gizi dan sakit.
"Bisakah Ibu meminta tolong, Sayang?"
"Katakan, Ibu, apa yang bisa kubantu?"
"Mr. Willson pasti memiliki kekuasaan. Ibu hanya ingin bertemu dengan Steven. Ibu harus melihat keadaan dan kondisinya, Lexi."
Lexi pun merasakan hal yang sama. Ia merindukan pria itu. Sangat merindukannya. Satu bulan berlalu, Lexi layaknya bunga yang telah layu. Gadis itu tidak memiliki semangat hidup. Makan tidak enak, tidur pun tidak nyenyak. Yang ia lakukan hanya memandangi wajah Steven yang ia ambil secara diam-diam melalui telepon selulernya.
"Ibu memohon kepadamu, Lexi."
Lexi menganggukkan kepala, "Aku akan mencoba berbicara dengan Daddy. Sekarang Ibu pulanglah dan istirahat. Aku akan meminta seseorang mengantarkan makanan dan buah untuk ayah dan ibu. Tolong jangan sakit Ibu."
"Terima kasih, Sayang. Ibu hanya bisa berharap padamu."
Sambungan telepon terputus bertepatan dengan pintu kamar yang dibuka. Ayah dan ibunya berdiri di sana. Alena, sang ibu, membawa nampan berisi makanan sehat. Wajah wanita itu tampak sedih dan Lexi tahu kesedihan yang terpatri di wajah ibunya disebabkan oleh dirinya, karena kondisinya.
"Selamat siang, Sayang," Alena masuk seraya menyunggingkan senyum hangatnya. Wanita itu meletakkan nampan di atas nakas, lalu duduk di tepi ranjang. Diberikannya kecupan hangat di pipi dan kening putri kesayangannya itu. "Ibu harap kali ini, kau tidak menolak makanan ini. Kau sudah tidak makan dua hari, Lexi."
"Dan ibumu juga sudah tidak makan dua hari." Pax menimpali. Kenyataannya memang demikian. Lexi mogok makan dan Alena pun tak selera makan. Wanita itu terlalu mengkhawatirkan kondisi putrinya sehingga tidak mementingkan kesehatannya.
Lexi terkejut mendengar hal itu. Dipandangnya wajah Alena yang tampak sedikit pucat. Terbersit rasa bersalah di benaknya. Ia merasa sudah keterlaluan. "Mom," Lexi menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan wanita itu. "Kenapa menyiksa dirimu?"
"Putriku tidak berselera makan, bagaimana Mom bisa makan, Sayang?"
"Maafkan aku, Mom. Dan sekarang, kau harus makan. Kau tidak boleh sakit. Aku salah, aku minta maaf. Aku anak manja yang egois, tolong maafkan aku." Dilepaskannya pelukanya lalu di ambilnya nampan di atas nakas. "Aku akan menyuapimu." Disendoknya makanan dan diulurkannya ke mulut ibunya. Alena menggeleng dan mengambil alih sendok tersebut.
"Kau pertama. Kau yang harus makan."
Lexi mengangguk dengan patuh. Jika ia sudah makan, ibunya pasti juga akan makan.
Tidak terasa, makanan yang dibawa ibunya habis sampai tuntas. Pax dan Alena tersenyum senang.
Pax mendekati Lexi, diusapnya dengan lembut kepala putrinya itu, "Kami sangat menyayangimu, Sayang. Melihatmu sakit, ibumu akan merasa jauh lebih sakit. Jadi berhentilah membuat kami khawatir. Kembali lah seperti Lexi yang dulu. Periang dan penghibur bagi kami."
Lexi mengangguk, "Maafkan aku, Dad." Lexi membenamkan wajahnya di perut ayahnya. Memeluk erat pinggang pria itu. Di dalam pelukan ayahnya, Lexi akan merasa aman. Tidak akan ada yang ditakutinya. "Dad..."
"Hmm?"
"Izinkan aku dan Ibu Dephne bertemu dengan Steven. Aku berjanji, hanya ini pertama dan terakhir kalinya. Kumohon."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
Reksa Nanta
Apakah 17 tahun masih masuk usia di bawah umur ?
2024-01-29
1
moemoe
Aku baca ulang bang kangeen
2023-02-09
0
~Kaipucino°®™
😱😱😱 Pax dituduh yg menjebloskan steven ke penjara itu? Kacauuuu .. emang bener² para pejabat korup ini, sdh anaknya salah dibelain dan menjadikan org lain sbg kambing hitam 🤦
2022-11-21
1