Hari ini, tepat 90 hari sudah Steven menjadi seorang napi. Sudah satu minggu berlalu sejak ia bertemu dengan ibunya dan juga Lexi. Sejak hari itu juga ia tidak berselara makan, bahkan saat relawan datang. Yang ia lakukan hanya duduk memandang matahari dari ventilasi ruangan hingga matahari tersebut kembali tenggelam berganti tugas dengan bulan dan bintang. Riston dan yang lain masih saja mengganggunya. Ia mengikuti perintah Riston tanpa berbicara. Sesekali air matanya jatuh. Entah karena menangisi nasibnya atau menangisi orang tuanya atau justru sedang menangisi nasib tragis yang dialami Olivia. Satu minggu terakhir ini, wajah Olivia selalu menghantuinya.
Bukan hanya wajah wanita itu, wajah-wajah para binatang seperti Brian dan teman-temannya juga terbayang-bayang di benaknya. Jika diberi kesempatan untuk bertemu dengan semuanya, ia akan memberi hukuman yang setimpal pada semuanya. Ia bersumpah akan menghabisi para keparat itu. Pertanyaannya, apakah semesta akan berpihak kepadanya?
Sebuah bintang melintas. Untuk pertama kalinya Steve menaruh kepercayaan kepada mitos tersebut. Ia menaruh harapan besar pada mitos yang mengatakan sebuah doa akan terkabul jika memintanya disaat bintang jatuh.
Steve memejamkan mata. Hati dan pikirannya menyuarakan keinginan terdalamnya hingga sebulir air mata jatuh membasahi wajahnya. Apa yang ia minta? Kekuatan untuk membalaskan dendamnya? Tidak, bukan itu. Tapi sesuatu yang membuat hatinya berdenyut nyeri.
Seakan doa yang ia ikrarkan terkabul, alarm tanda bahaya tiba-tiba berdengung. Semua tahanan panik dan heboh. Apa yang terjadi? Satu-satunya manusia yang tidak peduli dengan apa yang terjadi adalah Steven. Ia tetap mendongak menatap bulan sabit seraya mengulang-ulang doa dan harapannya.
"Api, aku melihat ada api. Kebakaran, kebakaran terjadi." Seru seorang napi. Terang saja semuanya semakin histeris. Para napi berteriak meminta agar sel mereka dibuka. Mereka tidak ingin mati konyol dilalap api. Riston, Bison, Rudolf dan yang lainnya juga dibuat kalang kabut. Mereka mengumpat dan memaki. Riston bahkan menjulurkan tangan menangkap salah satu sipir yang melewati sel mereka. Riston mencekik leher sipir tersebut sementara Biston dan Rudolf mencoba mengambil kunci.
"Hei, Nak. Bangunlah, kita semua dalam bahaya. Selamatkan dirimu." Biston menepuk pundak Steven. Tetap saja pemuda itu bergeming. Ia tidak peduli sama sekali. Baginya, mati juga bukan perkara yang buruk.
"Oh, sial! Kobarannya semakin merambat. Lakukan dengan cepat, Rudolf!" perintah Riston yang masih menahan leher sipir tersebut hingga sipir tersebut mengalami kesulitan dalam bernapas.
Duaar!!
Terdengar ledakan dari luar membuat keadaan semakin ricuh.
Beberapa sipir lainnya mulai berlari tergopoh-gopoh untuk segera membuka kunci sel untuk mengamankan para napi. Masih saja Steven duduk di tempat. Kaki dan tangannya yang diinjak tidak ia rasakan lagi. Ia benar-benar dibuat lumpuh oleh keadaan.
Duuaar!!
Ledakan kedua terjadi. Steven bisa melihat kilatan kobaran api dari ventilasi tersebut. Wajahnya bahkan panas oleh uap api tersebut.
"Tetap di tempat! Kalian semua tahu apa konsekuensinya jika mencoba melarikan diri." Seruan sipir itu tidak mempunyai arti apa-apa lagi. Siapa yang peduli dengan konsekuensi disaat marabahaya sedang di depan mata.
"Bodoh! Ambil kunci yang benar, Sialan!" Riston memaki Rudolf yang belum berhasil menemukan kunci yang pas untuk membuka jeruji mereka.
Tiba-tiba semuanya mendadak gelap. Hanya kobaran api yang terlihat. Suara semakin gaduh. Para napi berlarian tanpa arah karena tidak bisa melihat arah jalan. Semua pintu sel berhasil dibuka kecuali sel mereka.
Prang!
Akhirnya pintu mereka berhasil dibuka. Bukan Biston yang melakukannya karena pria itu sedang terjatuh di lantai akibat dorongan yang begitu kuat dari luar sel.
"Hei, Dude, saatnya kau menerima kebebasan." Sebuah lampu senter diarahkan kepada Steve. Dari suaranya, Steve tahu jika pria itu adalah Ivarez.
"Apa lagi yang kau tunggu! Ayo berdiri! Kita harus pergi sebelum kita benar-benar terbakar di sini." Ivarez menarik Steve agar pria itu berdiri.
Ivarez berlari cepat membuat Steve kewalahan. Ia merasa seperti diseret. Bagaimana bisa, Ivarez bergerak dengan lincah dan gesit saat semuanya sudah gelap gulita.
Alih-alih membawa Steve keluar dari bangunan, Ivarez sengaja membawa Steve kepada kelompok petugas yang sedang berusaha menghubungi bantuan dan menutup akses untuk para napi agar tidak bisa kabur.
"Hei, kalian mau kemana?" Sebuah lampu senter besar diarahkan ke wajah mereka. "209, apa yang kau lakukan di sana? Mencoba kabur?"
Beberapa helikopter tiba-tiba datang menawarkan bala bantuan dengan mencoba memadamkan api. Bangunan itu kembali terang benderang. Wajah Steven kini terlihat dengan jelas.
"Oke, Dude, sekarang saatnya!" Ivarez melayangkan tembakan secara brutal kepada para petugas yang juga sedang menodongkan pistol ke arah mereka. "Selamatkan dirimu!" Ivarez melemparkan sebuah pistol kepada Steve yang ditangkap pria itu dengan sempurna. Tangannya gemetar menerima senjata tersebut. Apa yang akan ia lakukan dengan senjata tersebut? Ia tidak tahu bagaimana caranya menggunakan benda itu.
"Jangan hanya berdiri, bocah! Lakukan sesuatu!" Ivarez menyadarkannya dari lamunannya. "Kau harus lebih berani, jangan kecewakan orang-orang yang berharap padamu, Buddy. Tanggalkan semua ketakutanmu. Sudah saatnya kau memberontak! Oh, Sial" Ivarez mendapat satu tembakan di lengannya. "Ck! Kau sangat payah!"
Door!!
"Oh, ya, benar! Tembakan yang bagus, Kawan!" Ivarez melayangkan pujian. Steve berhasil menumbangkan satu petugas. Menembak pria itu tepat di jidatnya. "Dan kita dalam masalah." Segerombolan petugas dalam jumlah banyak mulai menyerang ke arah mereka.
Steve masih tercengang. Ia tidak menyangka ia baru saja membunuh seseorang.
"Lari!! Jangan melayangkan tembakan lagi. Akan ada yang melindungi kita. Sepuluh menit dari sini, kita akan sampai di sebuah tebing. Berhentilah."
Ivarez menoleh ke belakang, seperti yang mereka rencanakan, beberapa petugas mengejar mereka.
"Ambil ini dan telanlah. Saat sudah di tebing, kau bisa mengarahkan senjatamu kepada para petugas itu tapi jangan pernah menarik pelatuknya, Dude." Ivarez memberikan sebutir pil. Tanpa ragu, Steve menerima obat tersebut dan menelannya. "Kau akan mati dalam lima menit." Steve terang saja terkejut mendengar penuturan pria itu. Apa sebenarnya maksud dan tujuan Ivarez?
Baru saja Steve ingin melayangkan pertanyaan, Ivarez keluar dari jalur yang ia arahkan kepada Steve. Pria itu menanggalkan pakaiannya dan juga melepaskan masker dan penutup kepalanya. Kini pria itu mengenakan seragam yang sama dengan para petugas. Semuanya terjadi begitu cepat hingga tidak ada yang menyadarinya. Ivarez bergabung dengan para petugas untuk mengejar Steve.
Sesuai perintah Ivarez, Steve berhenti dan mengarahkan senjatanya. Tangannya memegang sesuatu di dalam saku celananya. Memastikan benda itu aman di sana. Steve mulai merasakan sesuatu yang aneh di dalam tubunnya. Pandangannya mulai berkunang-kunang.
"209, letakkan senjatamu atau kami akan menembak dan melumpuhkanmu!"
Door!
Steve mendapat luka tembak di kakinya hingga ia tumbang seketika. Ivarez lah pelakunya.
"Oh, Sial! Kenapa kau melakukannya?!" seru salah seorang dari mereka.
"Aku melihat dia hendak menarik pelatuknya," sahut Ivarez dengan ringan sembari berjalan mendekati Steve. Ia berjongkok untuk memeriksa denyut nadi pria itu. "Dia sudah mati." Ya, obat yang ia berikan adalah obat pemberhenti denyut jantung yang bertahan hanya sepuluh menit. "Buang dia!" Ia memberi perintah.
"Tunggu!" Seseorang menyela. Tidak yakin jika Steve mati hanya dengan satu kali tembakan di area tubuh yang tidak terlalu berbahaya. Pria itu berjongkok di samping Ivarez, melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan pria itu. "Kau benar. Dia sudah mati." Pun pria itu berdiri memberi isyarat kepada rekannya agar melempar Steve ke dalam sungai yang mengalir deras di bawah sana. Itulah yang memang mereka lakukan jika ada napi yang meninggal. Mereka tidak ingin repot-repot menggali kuburnya.
____
Lexi berjalan dengan lunglai. Menatap tanah kuburan yang masih merah. Steven dinyatakan meninggal. Gadis itu terpukul dan terguncang. Dilihatnya Ny.Percy memeluk foto Steven dengan erat. Lexi mendekat dan duduk di sisi wanita itu. Keduanya saling berpelukan menangisi kepergian Steven.
Tidak jauh dari tempat mereka, Steven menatap pemandangan itu dengan wajah datar.
"Ingat, Son, Steven Percy sudah tiada. Kau akan hidup dengan identitas baru." Seseorang menepuk pundaknya. "Mari memulai hidupmu dengan lebih baik. Steven Dixton Ivarez." Pemuda itu pun melajukan mobil, meninggalkan pemakaman. Dan satu jam kemudian, Steven sudah berada di atas pesawat pribadi. Terbang ke Spanyol. Identitasnya sudah dibuat. Steven menerima ID Card-nya yang baru, memandanginya dengan perasaan berkecamuk. Inikah peluang baru yang diberikan semesta kepadanya? Bagaimana bisa ada mayat yang menyerupainya diantar ke rumah orang tuanya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
Riezki Arifinsyah
Eng Ing Eng saatnya pembalasan Steve
2025-01-26
0
nobita
sangat sangat apik... hebat
2023-10-24
1
Lilisdayanti
ya ampun thur 🤭🤭 koment aqu di atas,,berasa nonton pilem layar lebar yg di bintangi Roxcy,, eehhh malah beneran setven ganti identitasnya jadi Roxcy,,aqu suka 👍🏻👍🏻👍🏻
2023-06-01
0