Lexi tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya melihat cara Steven memperlakukannya. Steven sedang membersihkan roknya yang kotor akibat didorong oleh si badak Dean. Akibat dorongan itu juga siku tangannya tergores.
Steven mengangkat kepala setelah selesai membersihkan rok Lexi. Ditatapnya wajah Lexi yang tersenyum indah. Hanya helaan napas yang diberikan Steven sebelum beralih ke siku gadis itu.
"Ini akan sedikit perih," Ucapnya seraya menekan kapas yang sudah diberi cairan alkohol.
Percayalah, pegal di bokong dan perih di siku tidak dirasakan Lexi lagi karena sudah melambung akibat perhatian yang diberikan Steven kepadanya. Ia senang jika Steven khawatir padanya.
Selama mengobati luka di sikunya, hanya keheningan yang ada di ruang kesehatan tersebut. Lexi terlalu menikmati momen ini hingga tidak kuasa untuk berbicara.
Awal pertama kali Lexi jatuh hati kepada Steven adalah momen yang sedikit memalukan. Hari itu, Lexi tidak menyadari jika dirinya sedang datang bulan hingga gaunnya dipenuhi bercak darah. Steven yang melihat hal itu segera membuka jaketnya dan mengikatnya di pinggang Lexi. Bukan hanya itu saja, Steven juga pergi ke minimarket terdekat untuk membeli pembalut.
"Tuan putri," panggilan Stevan menyadarkannya dari lamunannya.
"Ya," Steven memang terbiasa memanggilnya dengan sebutan demikian membuat rona di wajahnya semakin bersemu.
"Berhentilah mendekatiku," ucap pemuda itu dengan nada tenang yang mendayu. "Buanglah perasaanmu terhadapku. Aku tidak akan pernah bisa membalas perasaanmu, Putri."
Senyum di wajah Lexi memudar seketika. Ia terkejut dan juga bingung dengan apa yang dikatakan Steven. Bagaimana ia bisa menghentikan perasaannya sedangkan perasaan itu datang dengan sendirinya tanpa ia undang. Kapan perasaan itu hadir, ia juga tidak menyadarinya. Yang ia tahu, ia menyukai Steven, tergila-gila pada pemuda itu sejak satu tahun terakhir ini. Dan sekarang pemuda yang ia sukai memintanya untuk berhenti. Lalu apa yang harus ia lakukan? Apakah Steven sangat terganggu dengannya?
"Ba-bagaimana caranya?" Bibirnya bergetar karena gugup. Hatinya berdenyut nyeri dan perih. Beginikah rasanya ditolak?
"Mulailah menyukai pria lain. Banyak pria yang lebih layak untukmu."
"A-aku tanya bagaimana caranya?" Matanya mulai perih. Sungguh ia tidak tahu jika ditolak rasanya sangat luar biasa.
Steven menarik napas panjang, terbersit rasa bersalah melihat manik Lexi yang mulai merah dan berkaca-kaca. Tapi bukankah memang seharusnya ia membuat semuanya jelas. Ia tidak ingin menjadi bahan ledekan Brian dan teman-temannya. Dan ia juga tidak ingin Lexi menjadi bahan gunjingan di belakang gadis itu.
"Aku tidak tahu caranya," Lexi menundukkan kepala. Jemarinya saling bertaut, jelas sekali jika ia masih gugup. "Dan sepertinya aku tidak bisa. Tapi aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi, dan kuminta kau jangan mengatakan hal demikian lagi. Membuang perasaanku begitu saja, itu di luar kuasaku, Steve."
"Putri..."
"Terima kasih sudah mengobati lukaku." Lexi segera berdiri dan tanpa menoleh kepada Steven lagi ia berlari keluar dari ruang kesehatan.
Bugh!
Hidungnya menabrak dada bidang yang aromanya sudah familiar di hidungnya. "Dia menolakku, Darren." Adunya sembari membenamkan wajah di dada saudaranya, meluapkan tangisannya. "Rasanya sangat sakit sekali."
"Dia akan menyesal." Darren mengusap kepala Lexi dengan lembut dan penuh sayang. "Dia akan menyadari kebodohannya."
Lexi menggeleng, "Dia menyukai gadis pintar seperti Olivia."
"Kau juga pintar."
"Olivia lebih pintar."
"Ya, kau benar."
Dan tangis Lexi pun semakin pecah. Steven yang menyaksikan hal itu hanya bisa menatap dengan wajah datar. Ia pun berbalik menuju ke perpustakaan. Olivia sudah menunggunya di sana.
"Apakah sebaiknya kita pulang?" Darren mengurai pelukannya, mengusap wajah cantik adiknya. "Mungkin kau membutuhkan pelukan Mom?"
Lexi menganggukkan kepala, "Ya, aku akan cuti beberapa hari."
"Terserah padamu," Darren membimbing adiknya berjalan.
____
Angan-angannya yang hendak cuti sekolah hanya omongan belaka. Esok harinya, seperti biasa, ia kembali masuk ke sekolah. Berkat bercerita dengan ibunya, perasaannya jauh lebih lega. Ibunya berkata perasaan tidak bisa dipaksakan. Ia tidak salah dan Steven juga tidak salah.
Lexi memasuki ruang kelasnya, ia belum melihat kehadiran Isla dan Lily. Ia pun memilih menunggu di kursinya. Tidak berapa lama, Steven masuk, mata keduanya bertemu dan baru saja Lexi hendak tersenyum dan melambaikan tangan, pemuda itu langsung memalingkan wajah.
Lexi menurunkan tatapannya dengan kecewa, ia menundukkan kepala menyembunyikan rasa malunya karena sepertinya Steven memang merasa terganggu dengannya.
Di waktu yang sama di ruangan yang berbeda, Olivia dikunci di dalam toilet. Isla, Lily dan beberapa lainnya menatapnya dengan seringai iblis.
"A-apa yang akan kalian lakukan kali ini?" tanya Olivia dengan wajah waspada.
"Seperti biasa, bersenang-senang." Isla mengeluarkan rokok dalam kantong celananya. Menyelipkan satu batang rokok diantara bibirnya kemudian menghisapnya lalu membuang asapnya ke wajah Olivia dengan sengaja hingga membuat gadis itu terbatuk.
Rokok berpindah alih kepada Lily, digilir ke tiga temannya yang lain. Dan semuanya melakukan hal serupa. Membuang asap dengan sengaja ke wajah Olivia. Joanna, gadis terakhir yang mengisap rokok tersebut berjalan ke arah Olivia membuat gadis itu mundur hingga pinggangnya membentur wastafel.
"Asapmu membuatku batuk," Olivia berusaha tenang meski ia tahu bahwa sebentar lagi ia akan mendapatkan siksaan.
"Aargghh," Dugaannya itu terbukti dengan segera. Puntung rokok tersebut sengaja Joanna arahkan ke kulit wajah Olivia, tepatnya di sudut bibir gadis itu.
"Katakan padaku bagaimana caramu menggoda Mr.Cony? Kenapa ia begitu peduli dan perhatian padamu? Kau menyerahkan tubuhmu?" Srek! Satu sobekan di lengan bajunya hingga mempertontonkan kulit lengannya. Joanna memang secara terang-terangan menunjukkan kekagumannya kepada guru rupawan itu.
"A-apa maksudmu?"
"Kau bertanya apa maksudku? Hei, kalian dengar itu, gadis pintar seantero Yale High School bertanya kepadaku, apa maksudnya? Yang benar saja! Kau meledekku ya?"
"Argghhh." Olivia kembali meringis tatkala rambutnya dijambak hingga ia mendongak ke atas. Harusnya siksaan seperti ini sudah biasa, tapi kenapa rasanya masih saja sakit. Olivia bingung apa sebenarnya kesalahannya? Kenapa ia selalu diganggu, dijadikan objek ejekan dan hinaan.
"Dan aku sudah muak denganmu. Kau selalu menjadi objek fantasi Vincent, Fred dan yang lain? Entah apa yang menarik di dalam dirimu. Kau memiliki ilmu sihir, heh?" Isla yang menyukai Vincent juga cemburu kepada Olivia. Meski ia tahu Vincent juga tidak sudi pacaran dengan si miskin Olivia, tetapi mengetahui Olivia jadi topik perbincangan kurang ajar para lelaki itu tetap saja membuatnya cemburu.
"Coba kau berkaca dulu. Kau itu hanya seonggok sampah, tapi kenapa tingkahmu banyak sekali!" Isla menekan wajah Olivia ke cermin yang ada di sana hingga luka bakar di sudut bibirnya semakin perih.
Dan ia pun merasakan tendangan di bokongnya. Jambakan lagi di rambutnya. Wajahnya dibenamkan ke dalam wastafel, ditarik lagi dan dibenamkan lagi. Entah berapa kali, ia pun tidak mampu menghitungnya yang lagi. Yang ia tahu, ia hampir kehabisan napas.
"Dan Steven yang tidak tahu diri itu berani menolak Lexi hanya karena dirimu. Benar-benar jalaang tidak tahu diri!" Satu tamparan mendarat di wajahnya hingga kepalanya berpaling ke samping akibat tamparan yang begitu kuat.
Ingin rasanya Olivia berteriak, tetapi ia sadar itu hanya percuma. Tidak akan ada yang mendengar suaranya. Andai ada pun yang mendengar, meraka hanya akan berpura-pura tuli dan buta. Olivia tidak memiliki teman yang akan membelanya. Satu-satunya orang yang bersedia berteman dengannya adalah Steven. Pria yang nasibnya tidak jauh beda dengannya. Apakah menjadi miskin harus diperlakukan hina seperti ini? Tidak ada yang bisa dilakukan Olivia selain menerima semua perlakuan jahat Isla dan temannya-temannya dengan banjir air mata.
Sakit? Tentu saja. Bukan hanya fisiknya yang terluka tetapi hatinya juga tercabik-cabik. Tidak ada pilihan yang diberikan semesta kepadanya selain pasrah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
nobita
ya ampun aku kok jadi miris ya...
2023-10-24
0
glanter
ini bullying tingkat international, kenapa semua diam.....
2023-07-23
0
YuWie
ngeriii ya..sekolah elitt tapi kelakuan kayak sxxlit 🤣
2023-06-06
0